Banyak Kepala Daerah Ditangkap KPK, Bisakah Partai Politik Dimintai Pertanggungjawaban?

Banyak Kepala Daerah Ditangkap KPK, Bisakah Partai Politik Dimintai Pertanggungjawaban?

Mochammad Farisi, LL.M--

Apakah sudah seburuk itu kondisi partai politik kita?

Jawabannya lebih ironi lagi, “partai seolah tanpa rasa bersalah”. Hampir tidak pernah ada partai meminta maaf secara institusional, tidak ada pengakuan kegagalan kaderisasi, tidak ada refleksi publik. Bahkan, ada yang melindungi kader, ada yang menyambut kembali eks-narapidana korupsi, dan ada yang memberi jabatan strategis di partai. Ini bukan sekadar abai, ini adalah penyangkalan moral secara sadar, dalam bahasa etika politik absence of guilt is itself a moral failure.

Mengapa permintaan maaf itu penting? Karena permintaan maaf bukan simbol kosong. Ia menandakan pengakuan kegagalan, tanggung jawab moral, dan kesediaan memperbaiki. Ketika partai bahkan tidak merasa perlu meminta maaf, itu berarti mereka tidak mengakui bahwa korupsi kader adalah masalah partai. Dan di titik itu, demokrasi berubah menjadi mesin tanpa hati nurani.

 

Kebobrokan ini bukan sekadar tidak etis, tapi anti-demokratis. Dalam demokrasi modern, partai seharusnya menjadi institusi kepercayaan publik, rakyat memilih berdasarkan label partai, logo partai adalah jaminan politik. Ketika kader korup, dan partai memilih diam, tidak merasa bersalah, bahkan melindungi, maka yang rusak bukan hanya hukum, tetapi relasi kepercayaan antara rakyat dan demokrasi itu sendiri. 

Penurunan public trust itu sudah terbukti, beberapa lembaga survey merilis DPR dan partai politik menjadi lembaga yang paling tidak dipercayai oleh rakyat bahkan menjadi public enemy, sungguh ironi. Dan perlu diingat! tanpa rasa bersalah, tidak mungkin ada perbaikan.

Dari perspektif hukum: Apakah memang tidak ada dasar hukumnya partai dimintai pertanggungjawaban?

Jawaban jujur saya memang pahit, saat ini hukum Indonesia belum tegas, tapi sangat mungkin dikembangkan. UU Partai Politik hanya mengatur: pembubaran partai dan sanksi administratif terbatas, tidak ada rezim pertanggungjawaban partai atas kejahatan kader. Inilah yang disebut sebagai “normative gap dalam akuntabilitas partai politik”

BACA JUGA:Pasca Kebakaran SPBU, Kapolres Bungo Imbau Patuhi Aturan Standar Pertamina

Sebenarnya ada dasar konstitusional, tetapi belum dijadikan hukum positif yang tegas. Fondasinya ada di Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, “Kedaulatan berada di tangan rakyat…”. Dalam konteks hak politik, partai adalah perantara kedaulatan rakyat. Jika partai lalai, sembarangan, transaksional, maka kedaulatan rakyat dibajak dari hulunya. 

Kemudian lihat Pasal 22E UUD 1945, tegas dinyatakan bahwa pemilu harus berdasarkan asas “luber jurdil”, maka jika calon dihasilkan lewat mahar, terikat utang politik, dan dipaksa mengembalikan modal, maka kejujuran dan keadilan pemilu sudah runtuh sejak pencalonan. 

Dasar konstitusional hak politik juga diatur di Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28 UUD serta di terjemahkan dalam Pasal 43 UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM. Hakikatnya “hak politik bukan hak kosong”, hak politik bukan sekadar mencoblos ke TPS, tetapi hak untuk memilih pemimpin yang layak dan diproses melalui mekanisme yang bersih. Jika partai gagal melakukan itu, maka hak politik rakyat dirusak secara struktural.

Namun, meskipun belum ada normanya, sebenarnya terdapat beberapa prinsip hukum yang bisa dipakai, walau belum eksplisit. Doktrin hukum yang bisa digunakan yaitu: 

1. Vicarious Liability (Pertanggungjawaban Tidak Langsung), Dalam hukum: Korporasi bisa bertanggung jawab atas perbuatan agen, Partai = badan hukum, Kader = agen politik, jadi secara teori sangat mungkin diterapkan. 

2. Due Diligence Obligation, partai wajib melakukan kehati-hatian maksimal, termasuk: Laporan harta, rekam jejak, konflik kepentingan, dan Etika politik. Jika gagal, maka dianggap kelalaian institusional. 

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: