Banyak Kepala Daerah Ditangkap KPK, Bisakah Partai Politik Dimintai Pertanggungjawaban?
Mochammad Farisi, LL.M--
Kedua, rekonstruksi UU Partai Politik (legal engineering), kunci yang perlu diperjuangkan: Pasal kewajiban kaderisasi berintegritas; Pasal pertanggungjawaban atas kegagalan seleksi; Pasal sanksi elektoral dan keuangan; Larangan mahar politik yang enforceable; dan Audit dana kampanye & rekrutmen.
Ketiga, Integrasikan aturan tersebut dengan rezim UU Pemilu, UU Pilkada, UU Tipikor, dan Peran KPU, Bawaslu dan PPATK. Memposisikan korupsi kepala daerah sebagai indikator kegagalan partai, bukan hanya kejahatan personal.
Jadi, “jika partai politik diberi hak menentukan siapa yang berkuasa dan dibiayai oleh uang negara, maka partai tidak boleh bebas dari pertanggungjawaban ketika kekuasaan itu disalahgunakan untuk korupsi.”
Berhubung saat ini pemerintah sedang menggodok revisi UU pemilu dan parpol, maka saya mengusulkan rumusan pasal sebagai berikut “Partai Politik bertanggung jawab secara institusional atas proses rekrutmen, seleksi, dan pencalonan kader yang diusung dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah.”
Dan “Dalam hal kader Partai Politik yang terpilih melalui proses pencalonan terbukti secara sah dan berkekuatan hukum tetap melakukan tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan jabatannya, Partai Politik dapat dikenai sanksi administratif dan electoral.” Kuncinya: sanksi “institusional” dan “administratif–elektoral”, bukan pidana.
Dalam Revisi UU Pemilu, Pilkada, dan Partai Politik harus berhenti memperlakukan partai sebagai entitas tanpa tanggung jawab. Jika partai memonopoli pencalonan dan dibiayai oleh uang negara, maka partai harus ikut bertanggung jawab secara institusional ketika kader hasil seleksinya terbukti korup dan merugikan keuangan publik.
Pertanyaan terakhir, apakah negara boleh diam atas kegagalan partai?
Dalam kerangka hak asasi manusia, menurut saya, kegagalan partai politik bukan hanya urusan internal organisasi, melainkan memicu kewajiban negara. Negara tidak boleh bersikap netral atau diam, karena dalam hukum HAM internasional, negara memiliki state obligations: to protect dan to fulfil yang jelas dan mengikat.
Negara tidak cukup hanya menjamin hak politik secara formal—misalnya dengan menyelenggarakan pemilu rutin. Negara wajib memastikan hak itu bermakna dan tidak dirusak oleh aktor non-negara, termasuk partai politik.
Dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang sudah diratifikasi oleh Indonesia: General Comment No. 25 paragraf 26 menegaskan bahwa: “Negara harus mengambil langkah-langkah efektif untuk menjamin bahwa pemilu diselenggarakan secara jujur dan adil, termasuk mengatur dan mengawasi partai politik agar pelaksanaan hak pilih tidak dirusak oleh praktik yang koruptif atau tidak adil.
Sedangkan dalam General Comment No. 31 paragraf 8 menyatakan secara eksplisit bahwa: “Kewajiban negara tidak terbatas pada pelanggaran oleh aparat negara, tetapi juga mencakup kewajiban mencegah, menyelidiki, menghukum, dan memberikan pemulihan atas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aktor non-negara.” Dengan kata lain, ketika partai politik menjadi sumber kerusakan hak politik rakyat, negara wajib hadir dan bertindak.
Selain itu dalam hukum HAM internasional juga berkembang konsep Horizontal Application of Human Rights, hak asasi manusia tidak lagi dipahami semata-mata sebagai relasi vertikal negara–warga. Dalam perkembangannya partai politik dapat dianggap sebagai aktor non-negara yang: menguasai akses kekuasaan, menentukan siapa yang dapat dipilih rakyat, memengaruhi langsung pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan politik.
Oleh karena itu, pelanggaran hak politik oleh partai merupakan bagian dari horizontal application, di mana negara wajib: mengatur, mengawasi, dan memberi sanksi. Diamnya Negara sama dengan Pelanggaran HAM Struktural.
Jika negara terus membiarkan partai politik bebas dari pertanggungjawaban, membiayai pemilu dengan APBN/APBD, tetapi menutup mata terhadap kerusakan yang ditimbulkan, maka negara telah gagal memenuhi kewajiban to protect dan to fulfil hak politik rakyat.
Jadi Kesimpulannya, Dengan Banyaknya Kepala Daerah yang Ditangkap KPK, Bisakah Partai Politik Dimintai Pertanggungjawaban?
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:


