Banyak Kepala Daerah Ditangkap KPK, Bisakah Partai Politik Dimintai Pertanggungjawaban?
Mochammad Farisi, LL.M--
Ya, hasil penyelidikan KPK mengatakan bahwa korupsi kepala daerah bersifat struktural, akar masalahnya ada pada: utang politik, biaya kampanye, dan sistem pencalonan partai. Artinya: korupsi bukan deviasi, tetapi konsekuensi logis dari sistem. Kalau sebabnya struktural, maka pertanggungjawabannya juga harus struktural, bukan individual semata.
Dari pernyataan KPK tersebut maka utang dan mahar politik bisa menjadi titik masuk tanggung jawab partai politik. Sekarang, mari kita jujur: tidak ada calon kepala daerah tanpa partai, tidak ada tiket pencalonan tanpa persetujuan elite partai, dan banyak pencalonan mensyaratkan “modal politik”, baik formal atau informal.
BACA JUGA:Dramatis, Timnas Futsal Putri Indonesia Tembus Final SEA Games 2025
Maka, jika kandidat harus: “mengembalikan modal”, membiayai kampanye mahal, dana kampanye tidak akuntabel, dan mahar politik dinormalisasi, maka korupsi pasca-terpilih bukan kegagalan moral individu, melainkan mekanisme pengembalian investasi politik. Dan partai berada di hulu mekanisme itu.
KPK dalam releasenya juga mengatakan, partai gagal melakukan kaderisasi, rekrutmen partai politik tidak berbasis integritas, tidak berbasis kapasitas kepemimpinan, tidak berbasis rekam jejak pelayanan publik. Tetapi berdasarkan: popularitas, “isi tas”, kemampuan membiayai mesin partai. Maka, wajar jika setelah terpilih Jabatan diperlakukan sebagai aset ekonomi dan APBD menjadi instrumen pengembalian modal.
BACA JUGA:Februari 2026 Batik Air Layani Rute Penerbangan Bandara Muara Bungo
Kalau partai dengan sadar melakukan seleksi seperti itu, lalu kadernya korup, di mana logikanya membebaskan partai dari tanggung jawab?
Untuk Apa Negara Membiayai Pemilu Jika Partai Justru Memproduksi Koruptor?
Menurut saya ini yang paling menyakitkan, faktanya triliunan rupiah APBN/APBD digelontorkan untuk menyelenggarakan pemilu, pilkada, dan memberikan bantuan keuangan partai. Tujuannya tentu ingin melahirkan pemerintahan yang bersih dan memastikan hak politik rakyat bermakna.
Namun yang terjadi, kepala daerah hasil pemilu korup, APBD dijarah, pelayanan publik rusak, hak ekonomi dan sosial rakyat dilanggar. Ini bukan sekadar pemborosan anggaran, tetapi kegagalan konstitusional penggunaan uang publik. Di titik ini, klaim “partai tidak bertanggung jawab” menjadi absurd.
Kalau kita rangkai logikanya: partai memonopoli pencalonan - partai menentukan siapa yang boleh dipilih rakyat - partai menerima dana negara - partai diuntungkan dari kemenangan elektoral - korupsi terjadi karena: utang kampanye, mahar politik, dan sistem rekrutmen partai. Tapi saat kadernya korupsi, partai berkata: “Itu urusan pribadi”. Secara hukum mungkin masih lolos, tetapi secara rasional, etis, demokratis, dan konstitusional, itu tidak bisa diterima.
Maka, gagasan besarnya adalah korupsi kepala daerah sama dengan kegagalan institusional partai politik, bukan sekadar kejahatan individual pejabat. Implikasinya, partai tidak boleh lagi kebal, harus ada rezim pertanggungjawaban politik dan administrative, tanpa itu demokrasi hanya jadi mesin daur ulang koruptor.
Menurut hemat saya “Jika korupsi kepala daerah disebabkan oleh utang politik dan mahar pencalonan, maka partai politik adalah bagian dari sebab, bukan korban keadaan.”
Jika “Negara telah menghabiskan triliunan rupiah untuk pemilu/pilkada, tetapi partai justru memproduksi pemimpin yang menggerogoti APBD, maka ini bukan kegagalan individu, melainkan kegagalan sistem kepartaian.”
Dan “Dalam sistem seperti ini, membebaskan partai dari tanggung jawab sama artinya melegalkan korupsi sejak tahap pencalonan.”
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:


