Bagian 15: “Langkah yang Salah”

Bagian 15: “Langkah yang Salah”

Ary--

 

Agana berbaring menatap langit – langit kamarnya, buku fisikanya terbuka begitu saja di sisi kanan kepalanya. Agana merasa sangat bosan, jika tidur malam masih terlalu dini untuk tidur lagipula Agana berniat untuk menunggu Bumi pulang, sedikit mengkhawatirkan adik bengalnya itu, karena adiknya itu tidak menjawab pesan dan telponnya seharian. Agana membuka buku – buku pelajarannya, berusah membunuh waktu kosongnya dengan kegiatan yang lebih bermanfaat, namun Agana kaget sendiri dengan pilihannya untuk belajar. Karena Agana sendiri yakin belum lima menit ia membaca soal, kantuk lebih dulu menghampirinya, dan oleh karena itu Agana memutusakan untuk berhenti sebelum mencoba.

 

Pikiran Agana kembali berkelana, kepalanya begitu berisik menyuarakan seluruh masalah dan bebannya. Bahkan rasanya telinga Agana pengang, seolah suara – suara di dalam kepalanya itu nyata dan berteriak langsung di samping telinganya. Belakang kepalanya berdenyut sakit, Agana meringis pelan menahan sakit, pandangannya turut buram dan berkunang. Agana meminum air di nakas dekatnya dengan terburu, selalu saja seperti ini. Agana tidak suka sendirian, sendirian membuatnya terasa hampa, dan saat itu Agana akan merasa oksigen di sekelilingnya hilang hingga jantungnya berpacu lebih cepat.

 

Agana mengambil ponsenya, mendial nomor seseorang dengan Id Caller ‘Jaya Si Satan’, nada terhubung terdengar di ponselnya, selagi menunggu Agana memposisikan dirinya senyaman mungkin di kasurnya. Beberapa detik menunggu, suara berat Jaya menyapu indra pendengaran Agana, mengutas senyum senang.

 

“Kenapa?”

 

Seperti biasanya, Jaya yang selalu to the point, dan Agana yang senang bermain – main. “Hidup lo kaku banget sih Jay, emangnya gue harus kenapa – kenapa dulu gitu baru bisa nelpon lo.” Agana mendengar dengusan Jaya di seberang sana, “Lo buang – buang waktu berharga gue.” Balas Jaya yang mengundang kekehan pelan Agana. Harusnya Jaya bisa langsung mematikan telepon mereka, namun Jaya tetap menunggu dirinya untuk bicara. Walau delapan pulih lima persen hal yang keluar dari mulut Jaya untuk Agana adalah kata – kata buruk, namun perlakuan Jaya tidak akan pernah gagal membuat Agana tersenyum, laki – laki dingin itu peduli dan menyayangi orang sekitaranya dengan cara yang unik.

 

“Jayaaaa~~~ Gue kangen lo!” Agana yakin Jaya tengah memutar kedua bola matanya malas mendengar kalimat keju Agana. “Gue baru tahu setan bisa dirasukin setan!” Agana tertawa keras mendengar penuturan Jaya. Walau bicara dengan Jaya terasa sangat menyebalkan, namun hal itu tidak akan pernah gagal mengundang tawa Agana.

 

“Lo tadi kemana? Gue khawatir tau.” Tanya Agana membuka topik pembicaraan baru, tidak ada balasan apapun dari Jaya, Agana memeriksan ponselnya, memastikan panggilannya dengan Jaya masih tersambung, “Jaya?” Panggil Agana lagi. Terdengar helaan nafas pelan di seberang telepon. “Gue nggak kemana – mana selain dirumah.” Jawaban Jaya mengundang senyum kecut Agana. Jaya berbohong, setelah Rosa pulang, Agana segera mencari Jaya dirumahnya, dan yang ia dapati hanya Ibu Jaya yang tengah menyirami bunga, mengatakan Jaya pergi dengan temannya sejak pagi.

 

“Ya, gue percaya.” Ujar Agana, “Memangnya ada alasan lo nggak percaya sama gue?” Agana mengulas senyum tipis, pikirannya kembali berkelana, mengingat percakapan terkahirnya bersama Rosa sore tadi.”

 

“Na, kata – kata gue tadi nyakitin hati lo ya? Lo banyak diam hari ini.” Rosa bertanya seolah pertanyaan itu bukanlah hal yang dapat menganggu hubungan pertemananya dengan Agana. Agana diam sesaat sebelum mengangguk pelan, menebak – nebak isi pikiran Rosa. Rosa tertawa pelan mengusap kepala Agana.

 

“Maafin gue,” Ucap Rosa tulus, Agana tidak membalas apapun hanya diam menatap Rosa yang memandangnya dengan tatapan teduh, entahlah Agana tidak tau pandangan itu teduh atau sendu. Agana tersenyum tipis. Agana mengantarkan Rosa hingga pagar depan rumahnya, disana Rayhand sudah menunggu Rosa, penampilan Rayhand sedikit berbeda, di beberap sudut wajahnya Agana menangkap lebam biru, pakaian Rayhand juga sedikit acak – acakan.

 

“Gue pulang, Na.” Pamit Rosa, Agana menangguk singkat, Rosa memeluk Agana dan berbisik, “Jangan karena satu orang memandang lo bukan siapa – siapa bukan berarti orang lain ngeliat lo gitu juga. Lo istimewa di mata orang yang tepat, dan lo akan selalu salah dimata orang yang nggak pernah pengen liat lo baik – baik aja. Gue ngaku salah, gue minta maaf. Maaf karena nyakitin hati lo dan maaf karena ngasih pikiran yang nggak – nggak di kepala kecil lo.” Agana tidak tau kapan Rosa dan Rayhand pergi, namun dirinya masih mematung di depan pagar rumahnya. Hatinya sesak entah karena apa dan sejak kapan matanya mulai basah?

 

Agana terisak pelan, matanya kembali basah mengingat perkataan Rosa. Tidak apa – apa jika orang – orang di luar sana memandangnya dengan buruk, Agana tidak masalah. Namun, Agana tidak siapa mendengar bahwa orang – orang yang ia sayangi sepenuh kasih memandangnya dengan cara yang sama. Isakan Agana menjadi pengisi suara telepon yang masih terhubung, Jaya tidak berniat mengintrupsi tangisan Agana, ia biarkan perempuan itu lega dengan tangisnya.

 

“Jaya?” Panggil Agana serak, memastikan Jaya tetap terhubung dengan teleponnya.

 

“Hmm?”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: