Bagian 15: “Langkah yang Salah”

Bagian 15: “Langkah yang Salah”

Ary--

 

“Siapa gue untuk lo?” Nada suara Agana bergetar, jantungnya berdetak cepat menunggu jawaban Jaya. Namun, setelah dua menit berlalu, Jaya masih dengan keterdiamannya. Dan Agana yang sudah berkaca – kaca, siap menumpahkan kembali air yang tergenang di pelupuknya.

 

“Ternyata gue bukan siapa – siapa,” Batin Agana sakit. Agana tertawa pelan mengusap kedua mata dan pipinya yang terus saja basah, berusaha mengusir kecanggungan yang terjadi, “Gue ngelantur malam ini keknya, gue matiin ya telponnya.” Nada suara Agana bergetar menahan tangis. Namun detik sesaat sebelum suara panggilan terputus itu terdengar, Agana dapat mendengar jelas jawaban Jaya.

 

“Lo pernah dengar ini, Na? seseorang yang tersenyum dan bahagia lalu mengingat orang lain dipikirannya, berarti ia mencintai orang itu. Dan seseorang yang bersedih lalu mengingat orang lain dipikirannya, berarti ia dicintai oleh orang itu.” Agana mematung mendengar penuturan Jaya, “Na, dimana posisi gue seharusnya?” Nada tut panjang terdengar setelahnya, mengakhiri panggilan kedunya. Malam itu, tidak ada satupun pertanyaan yang terjawab, keduanya memilih bungkam, mencari pembenaran tindakan mereka. Nyatanya, pikiran dua manusia itu tetap sama bingungnya, hingga malam dan kantuk menjemput mereka, akhirnya melupakan adalah jalan yang mereka pilih. Lupa tidak akan membuat esok menjadi hari yang berbeda bukan?

 

***

 

Agana terbangun mendengar suara deru mobil dan pintu rumah yang terbuka kuat, dirinya sedikit kelimpungan saat bangun, terkahir kali yang dia ingat sebelum tertidur adalah panggilannya dan Jaya yang berakhir. Agana menatap jam di nakasnya, pukul dua belas malam. Agana mengingat bumi dan segera membuka ponselnya, pesannya masih belum dibaca oleh Bumi. Agana bergegas turun, suara pintu dan deru mobil tadi mungkin Mamanya yang biasanya memang pulang larut malam. Agana menuruni tangga kamarnya, ada dua sosok dibawah, Mama dan Bumi? Apa Bumi juga baru pulang?

 

PLAKK    

 

Mata Agana membelalak terkejut, Bumi ditampar sangat kuat oleh Mama. Raut wajah Mama memerah dengan urat – urat yang menonjol jelas, amarah Mamanya benar – benar mendidih. “Mama?” Agana berlari menghampiri Bumi, menatap Mamanya dengan raut bertanya dan bingung. Agana meneliti wajah Bumi, tamparan Mama meninggalkan jejak kemerahan yang jelas di pipi Bumi.

 

Agana mengusap pipi Bumi, meneliti wajah adiknya lebih jelas, di sudut pelipis Bumi Agana dapat melihat darah, adiknya terluka, membuat Agana cemas bukan main. “Lo kenapa, Mi?” Tanya Agana khawatir. Agana tersentak, saat rambutnya ditarik sangat kuat oleh Mamanya.

 

“Kamu ngapain seharian Hah?!” Tanya Mama marah pada Agana, “MAMA CUMA MINTA KAMU JAGA ADIK KAMU, TAPI KAMU BENEREN NGGAK BISA DIANDELIN!” Teriak Mama tepat di depan wajah Agana. Agana meringis sakit, kepalanya perih dan panas karena tarikan Mamanya, fisiknya sakit karena Mama namun hatinya jauh lebih sakit, membuat air matanya kembali merembes di wajahnya.

 

Mama melepas tarikan rambutnya pada Agana, namun tidak lama Agana dapat melihat Mama yang mengambil rotan hiasan yang ada di ruang tamu. Memukul kaki dan lengan Agana kuat, “Mama… s- sa—sakit” rintih Agana, namun seolah gelap mata, Mama meneruskan perbuatannya pada Agana.

 

“Ma! Berhenti! Kakak kesakitan!” Bumi menahan lengan Mamanya dari belakang, berusaha menghentikan Mama yang terus memukuli Agana. Bumi terhempas saat Mamanya mendorong dengan kuat, Bumi terjatuh dengan tangan yang lebih dulu menopang tubuhnya, lengannya terasa sangat sakit sebab posisinya.

 

“Ini gara – gara kamu Agana! Harusnya kamu bisa jaga adik kamu! Bukannya biarin adik kamu jadi berandalan nggak bener di luar sana!” Agana menangis keras, punggung tangannya terus diinjak kuat dengan heels mamanya, namun kepalanya lebih mengkhawatirkan Bumi yang turut meringis dan menangis di belakang Mamanya.

 

“MAMA! BUMI YANG SALAH BUKAN KAKAK!” Bumi berteriak, menarik kaki mamanya dari punggung tangan Agana yang sudah lecet dan berdarah. “KALO KAMU TAHU ITU SALAH KENAPA TETAP KAMU LAKUIN!” Bentak Mama. Tubuh Bumi bergetar, tangisnya ia tahan sebisa mungkin, Bumi berlutut di bawah Mamanya.

 

“M-ma-maafin Bumi, Ma. Bumi yang salah, pukul Bumi, jangan kakak.” Bumi mengiba dengan kedua tangan yang memohon di depan dadanya, tangisnya pecah melihat kakaknya Agana dipukuli dengan tidak manusiawinya oleh Mama, “Bumi salah, pukul Bumi, jangan kakak.” Bumi mengulangi kalimatnya, nada suaranya bergetar hebat, bahkan kedua tangannya bergetar dengan jelas. Mendengar perkataan Bumi bukan membuat amarah mamanya redam, malah semakin menjadi.

 

Mama kembali mengambil rotan yang ia buang tadi, kembali memukul Agana, “Mama, tolong sakit.” Agana menangis menyeret tubuhnya menghindar dari pukulan Mamanya. “Kalo kakak kamu bisa jaga kamu dengan baik, kamu nggak akan berani ngelawan mama kayak gini Bumi! Mama harus ngajarin kakak kamu, buat ngejaga kamu lebih baik!” Desis Mamanya, Netra Bumi bergetar melihat Agana menangis dan meraung kesakitan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: