DISWAY BARU

Ketika Bencana Melanda:Merenungkan Kembali Peradaban Melalui Lensa Transintegratif Melampaui Kesenjangan Agama

Ketika Bencana Melanda:Merenungkan Kembali Peradaban Melalui Lensa Transintegratif Melampaui Kesenjangan Agama

Prof. Dr. Suaidi Asyari, MA., PhD (Guru Besar Pemikiran Politik Islam UIN STS Jambi) --

JAMBI, JAMBIEKSPRES.CO.ID - Setiap bencana alam besar—baik gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir dan bencana turunannya, atau pandemi—cenderung memunculkan benturan yang lazim antara narasi keagamaan dan sekuler. Sekilas, ketegangan ini mungkin tampak spontan, muncul dari naluri budaya, retorika politik, atau predisposisi akademis. Namun, di balik permukaan, penjelasan-penjelasan yang saling bertentangan ini lebih dari sekadar membentuk persepsi publik; penjelasan-penjelasan ini memengaruhi lintasan peradaban, membentuk bagaimana masyarakat memahami realitas, membangun kebijakan, dan mempersiapkan diri menghadapi krisis di masa depan.

BACA JUGA:Terima Apresiasi PAI 2025, Al Haris Komitmen Penguatan Pendidikan Agama Islam di Jambi

Paradigma Transintegrasi, yang menekankan kesatuan tak terpisahkan antara wahyu, akal budi, dan pengalaman empiris, menawarkan lensa kritis untuk mengkaji benturan ini. Paradigma ini menantang fatalisme keagamaan yang simplistis maupun naturalisme sekuler yang sempit, mendesak kerangka interpretatif holistik yang berlandaskan spiritual, berwawasan ilmiah, dan berorientasi etis.

BACA JUGA:OJK Kembali Gelar Apresiasi Media Massa 2025

Di era bencana iklim yang semakin meningkat dan risiko global, bergerak melampaui oposisi biner "agama versus sekularisme" bukan hanya diinginkan—melainkan juga merupakan keharusan bagi peradaban. 

Respons Religius: Wawasan Moral Tanpa Kedalaman Metodologis

Di banyak masyarakat, reaksi religius awal terhadap bencana adalah membacanya sebagai sinyal moral. Masyarakat mungkin menafsirkan bencana sebagai peringatan ilahi, konsekuensi dari kemerosotan moral, atau pengingat akan kerapuhan manusia. Pandangan ini memiliki kedalaman historis: dalam Islam, Al-Qur'an menceritakan komunitas yang hancur karena ketidakadilan, penindasan, dan korupsi; dalam Kristen dan Yahudi, banjir dan wabah membawa makna teologis; dalam tradisi Hindu dan Buddha, kausalitas karma membentuk alam semesta moral.

Meskipun refleksi moral penting, respons religius dapat menjadi reduksionistis ketika mereka menyalahkan individu atau kelompok, atau ketika mereka memperlakukan bencana semata-mata sebagai masalah spiritual yang terpisah dari penyebab fisik. Hal ini dapat menciptakan beberapa distorsi:

1. Personalisasi Moral yang Berlebihan – Memperlakukan bencana sebagai hukuman atas dosa-dosa tertentu mendorong kambing hitam, alih-alih evaluasi sistemik. 

2. Korektif Perilaku Tanpa Penyelidikan Ilmiah – Masyarakat mungkin mencoba “memperbaiki perilaku” tetapi gagal menyelidiki faktor geofisika, lingkungan, atau iklim.

3. Titik Buta Epistemik – Jika mekanisme alami bencana dianggap tidak relevan, mitigasi risiko yang berarti menjadi mustahil.

4. Fatalisme Religius – Keyakinan bahwa “semuanya telah ditentukan” dapat menghambat kesiapsiagaan, inovasi teknologi, atau infrastruktur preventif.

Dalam kerangka ini, agama memberikan makna tetapi tidak memiliki metode, membuat masyarakat terhibur secara spiritual tetapi rentan secara material.

Respons Sekuler: Ketepatan Metodologis Tanpa Kompas Moral

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: