Ketika Bencana Melanda:Merenungkan Kembali Peradaban Melalui Lensa Transintegratif Melampaui Kesenjangan Agama
Prof. Dr. Suaidi Asyari, MA., PhD (Guru Besar Pemikiran Politik Islam UIN STS Jambi) --
Ketika komunitas agama mengabaikan penyelidikan empiris dan ketika komunitas sekuler mengabaikan tanggung jawab etis, peradaban menjadi terpecah-pecah. Konsekuensinya meliputi:
1. Kerentanan Berulang – Kurangnya pemahaman yang komprehensif menyebabkan masyarakat tidak siap menghadapi bencana di masa depan.
2. Sistem Pengetahuan yang Terfragmentasi – Perpecahan antara “makna spiritual” dan “penjelasan ilmiah” mengikis kesatuan pemahaman manusia.
3. Ketidakkoherenan Kebijakan – Upaya bantuan terjadi tanpa perencanaan jangka panjang, refleksi etis, atau akuntabilitas ekologis.
4. Menurunnya Kepercayaan Publik – Narasi yang saling bertentangan menciptakan kebingungan, polarisasi, dan sinisme.
Peradaban berkembang pesat ketika pengetahuan terpadu. Peradaban merosot ketika pengetahuan terfragmentasi.
Di sinilah Paradigma Transintegrasi menjadi kebutuhan peradaban.
Respons Transintegratif: Menyatukan Kembali Wahyu, Nalar, dan Realitas
Paradigma Transintegrasi menegaskan bahwa kebenaran tidak memiliki geografi—ia bukan "religius" atau "sekuler", melainkan holistik. Wahyu, nalar, dan pengalaman empiris beroperasi dalam kesatuan triadik, yang masing-masing membimbing dan mengoreksi satu sama lain.
Respons bencana transintegratif membutuhkan tiga komponen:
1. Orientasi Spiritual-Moral (Wahyu)
Agama memberikan makna: welas asih, kerendahan hati, pertobatan, solidaritas, akuntabilitas, dan pengendalian diri etis.
Namun, transintegrasi menegaskan bahwa wawasan moral harus menginformasikan, bukan menggantikan, penyelidikan ilmiah.
2. Pemahaman Ilmiah (Nalar + Studi Empiris)
Sains mengkaji tektonik, sistem iklim, pola curah hujan, ekosistem mangrove, perilaku vulkanik, epidemiologi, dan kerentanan perkotaan.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:



