>

Bagian 1: “Standar Dunia Perihal Pengakuan”

Bagian 1: “Standar Dunia Perihal Pengakuan”

ilustrasi--

“Karena sebuah harga diri yang dianggap harga mati, kadang – kadang perlakuan luar biasa binasa juga jadi hal yang biasa saja”

>>>***<<<

Arsena itu bukan tipe wanita yang akan menjadi tokoh utama penuh pesona dengan ribuan konflik yang akan selesai dengan sangat mudah seandainya ia adalah sebuah tokoh yang ditulis dalam sebuah cerita. Bahkan, dikehidupannya ini, saat ia merasa benar – benar menjadi manusia, Arsena tidak begitu yakin jika ia akan menjadi tokoh utama dalam kisahnya sendiri.

“Wah, lo pada tau Juandra nggak sih? Keren banget gila”

“Ares Juandra itu? Anak kedokteran kan, tajir bener anjir”

“Tapi percuma tajir, tampan, temen – temannya pada penjilat.”

“Hahahaha…tapi siapa yang nggak akan menjilat kalo punya temen kayak dia, kita nggak hidup kalo cuma ngandelin ‘temen’.”

Bahkan dalam Bus yang AC-nya menyala kencang saja, Arsena masih merasa sangat panas sebab mulut orang – orang yang kadang terasa lebih menyengat dari lebah, lebih pedas dari cabai, dan lebih panas dari matahari. Arsena menghembuskan nafasnya malas, jika saja hari ini para tukang angkot tidak demo dan mogok berkendara, Arsena akan lebih memilih menaik angkutan kota itu, walau kecil, sempit dan bau, setidaknya itu lebih baik dibanding terjebak diantara manusia dengan gaya stedy tapi berprilaku lebih busuk dari sampah. Setidaknya gosipan dan keluhan yang Arsena dengar hanya tentang harga bahan baku yang terus naik dan keluhan untuk berbagai janji pejabat serta proker pemerintah.

“Minggir!” Arsena yang sibuk dengan pikirannya terintrupsi dengan suara tinggi yang tiba – tiba menyapanya. Ia mengangkat alisnya bingung dengan raut bertanya. Arsena melihat sekitarnya dan kembali melihat dirinya.

“Lo ngomong sama gue?” Arsena bertanya dengan nada datar, perempuan dengan rambut pendek, rok mini dan baju crop sudah cukup menjelaskan semuanya di kepala Arsena. Perempuan ini perundung sejati. Pantas Indonesia susah maju, bahkan yang mudanya saja lebih tergila – gila mendapat pengakuan dengan cara culas dibanding pejabat – pejabat negara ini sendiri.

“Lo pikir ada orang lain?”

Dan lebih menyedihkan mengatahui fakta, saat peristiwa ini terjadi, Arsena sendirian, sekitarnya ramai tapi memilih untuk tak peduli, membiarkan salah satu manusia menjijikkan seperti ini merasa paling berkuasa. Andai Arsena punya lebih banyak waktu, mungkin akan menyenangkan meladeni spesies manusia cabe – cabean yang berdiri hanya karena geng sampahnya itu.

Arsena berdiri bersamaan dengan bus yang berhenti, tersenyum smirk, “Ambil kursi lo, gue sibuk buat orang…” Arsena menahan perkataanya, ia mendekatkan tubuhnya ke telinga wanita itu, “Sampah kayak lo.” Bisik Arsena, menabrakan dirinya kasar kepada wanita bermake-up tebal itu.

BRAKK

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: