>

Bagian 1: “Standar Dunia Perihal Pengakuan”

Bagian 1: “Standar Dunia Perihal Pengakuan”

ilustrasi--

Harusnya Arsena tahu, jika manusia itu dalam piramida egois adalah makhluk dengan posisi pertama, sebab harga diri adalah harga mati bagi mereka. Arsena tertawa pelan, banyak mata yang menghakimi bahkan di minggu pertamanya ia disuguhkan dengan kejadian seburuk ini. Tubuhnya tidak apa sakit sebab bertubrukan dengan besi pegangan bus, atau bajunya yang kotor sebab terjatuh di lantai bus. Kedunya masih bisa ia tangani dengan meminum obat atau mencuci ulang. Tapi, stetoskop di dalam tasnya, diinjak depan matanya, barang yang ia jaga bahkan lebih dari hidupnya hancur dengan sia – sia oleh orang lain.

Arsena berdiri, “Harusnya lo tahu kalo manusia memiliki sifat dasar dan naluriah buat membunuh.” Arsena tertawa pelan, selain dirinya semuanya terasa sunyi, “Dave Grossman, On Killing: The Psychological Cost of Learning to Kill in War and Society” Bisik Arsena, “Mayoritas para kera tidak ingin membunuh spesiesnya sendiri kecuali muncul sesuatu hal yang mengganggu.” Arsena memang bukan tokoh utama termasuk dalam kehidupannya sendiri, tapi ia juga bukan tokoh yang bisa dipermainkan dengan semena – mena, ia akan hidup bebas sesuai kemauannya, ia akan hidup semampu kakinya berjalan tanpa harus direndahkan. Arsena akan bertahan dengan caranya sendiri, “Dan lo adalah manusia menjijikkan yang menggangu!” Pekik Arsena kesal.

Bugh!

“ARGH!!”

“Mati lo sialan!” Kesal Arsena, puas melihat wanita itu jatuh dengan hidung yang berdarah berismpuh di depannya, Arsena mengambil tas dan sisa stetoskopnya yang hancur, “Lo tau berapa banyak cewe cantik yang harus rusak image-nya karena lo yang minim attitude itu!” Arsena menginjak tangan perempuan itu kuat, “Lain kali jadi manusia lebih berguna, selain nyampah jadi polutan!” Komentar Arsena sebelum turun dan meninggalkan Bus tersebut.


Ari Hardianah Harahap--

Standarisasi dunia itu terlalu menyakitkan hanya untuk sebuah validasi, pengakuan yang kadang Arsena pikir, apa karena itu tidak ada manusia tidak bisa melanjutkan hidup. Arsena tidak ingin munafik, tapi ia iri. Mengapa hanya yang rupawan yang diakui keberadaanya, dibela keadilannya. Mengapa hanya yang pintar yang mendapat teman, yang diagungkan oleh banyak orang. Mengapa hanya yang kaya yang diarak hanya karena pengabdian yang bahkan tak ia lakukan. Arsena…juga ingin mendapat peran, dimana ia diperhatikan dengan layak, diberi atensi untuk didengar, diberi kesempatan untuk mempertimbangkan tanpa ada paksaan. Kalo sudah begini…sebenarnya yang namanya adil itu yang bagaimana? Jika validasi saja hanya boleh didapat oleh ia yang pantas bukan ia yang layak. (Bersambung)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: