>

Bagian 14: “Postpone Reality”

Bagian 14: “Postpone Reality”

Ari Hardianah Harahap--

“Jadi seseorang itu memang harus begitu, kadang – kadang harus susah dahulu, amburadul dahulu, baru tau dan paham artinya bersyukur.”

 

>>>***<<<

 

Biasanya quarter life crisis itu dirasakan saat masa masa remaja, dimana mencari jati diri itu begitu susah, ada saja yang membuat kita merasa sebagai seorang manusia hidup kita terlalu hampa dan begitu begitu saja, oranglain dengan kesuksesan dan pencapaian mereka, membuat kita terus bertanya tanya mengapa aku selalu di tempat yang sama, padahal langkah dan jalan yang ditempuh tidak ada bedanya. Arisa selalu terjebak dengan kusutnya pemikirannya itu, terus menyalahkan dirinya sebab jadi manusia yang tak terlalu berguna, dan Sundra datang, tiba tiba saja, menawarkan ia sebuah keajaiban, tentang dewasa itu tidak selalu yang 'begitu' tidak harus selalu yang 'begini'.

 

"Sa, bahagianya manusia itu beda - beda. Kalo terus ngukur bahagianya kita kita sama bahagia orang lain, nggak akan ada selesainya itu. Yang ada lu cuma ngumpatin diri sendiri, kenapa gua nggak bisa kayak dia?! Kenapa harus gua yang susah?! Kok dia bisa? Itu namanya penyakit hati, hidup lo tu enak, berwarna. Cuma lu aja milih pura pura buta sama yang ada"

 

Arisa ingin marah, kesannya hari itu Sundra seolah mengatai dirinya sebagai manusia yang paling tidak bersyukur di bumi tentang kehidupannya, Arisa bersyukur, sangat. Hanya saja, beberapa hal sudut kehidupannya, ia sesali dengan sangat pula.

 

"Maksud lo apaan sih, Ndra?! Jangan bertele tele deh"

 

Sundra mengehela nafas, Arisa itu perempuan keras kepala. Jika dilawan dengan kata dan pendapat yang sama kerasnya, hingga lima tahun kedepanpun Sundra yakin Arisa tak akan pernah mau mengalah, tabiat pujaan hatinya itu sudah sangat Sundra pahami. Sundra tarik lengan Arisa, ia peluk dan usap perempuan kepala batu itu. Arisa itu masih wanita, women just being women, afeksi yang mereka kenali dengan sangat itu cinta, sebab cuma cinta yang tulusnya mereka yakini dari hati. Sundra ingin Arisa paham, hidupnya itu berharga dan bahkan jauh lebih bahagia dari orang - orang di sekelilingnya, lalu apa yang perempuan itu terus pikirkan dalam kepala mungilnya hingga ia terus merasa hampa dan tiap harinya merasa menjadi manusia tak berguna.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: