Bagian 14: “Nyaman Itu Nggak Harus Selalu…”
Ari Hardianah Harahap--
“jangan bertanya tentang bagiamana menjadi apa adanya, sebab aku adalah kamu, yang penuh luka tertutup dengan topeng tawa nan bahagia.”
>>>***<<<
yamaha--
Bian pernah dengar, diantara riuhnya jalanan sore, dan tebalnya polusi akibat asap kendaraan, suara itu berputar dari ponsel seseorang dengan volume keras, pembahasan yang membuatnya begitu tersindir padahal kalimat – kalimat yang teruntai itu tidak diperuntukan untuknya. Katanya, ada yang namanya keluarga, terasa begitu asing dan sangat jauh, hingga dibanding merasa nyaman dan aman, kita malah lebih banyak terluka disana, lalu ada pula, padahal Cuma teman, namun rasa nyamannya melebihi orang terkasih, eratnya mengalahkan erat keluarga, kemudian ada pula, padahal dia bukan siapa – siapa, tapi rasanya cintanya pada kita melebihi luas Samudra.
Nyaman tidak harus selalu ada pada orang yang kita anggap aman, bukan berarti kita tidak mempercayai orang lain, terkadang kita hanya butuh orang yang tepat, untuk berbagi tempat, sebab yang nyaman tidak selalu memberi jaminan selain sebuah rasa kasihan.
Hari itu, untuk Bian yang begitu benci dengan orang asing dan sore hari yang begitu melelahkan, ia habiskan sebatang kikonya bersama seseorang yang tak kenal ia namanya, seseorang yang begitu penuh pertanyaan, yang sampai hari ini jawabannya tak pernah bisa Bian temukan.
“Kalo begitu, kamu nggak bersyukur dengan adanya keluarga kamu sekarang.” Ujar Bian, pembahasan itu masih mengenai orang – orang yang paling mereka cintai pada urutan teratas hidup mereka.
“Siapa bilang?!” Ujarnya kaget, matanya menyipit, bibirnya terangkat membentuk senyum tipis, “Aku mencintai mereka, bahkan sangat, walau kadang, luka paling hebat asalnya dari mereka.” Nada terakhir terasa sendu, Bian hanya menangguk.
“Artinya keluarga kamu nggak sempurna,” Ujar Bian, seseorang itu terkekeh. “Manusia nggak akan pernah punya keluarga yang sempurna, ada yang kaya, tapi dia nggak bahagia, ada yang miskin, tapi bahagianya tiada tara. Ada yang lengkap saudaranya, tapi begitu banyak kepala yang harus dipahami, ada yang tunggal, segalanya tercukupi, tapi begitu kesepian. Bukankah kamu juga luka, lalu sempurna apa yang kamu bilang?”
Bian terkekeh matanya berembun, “Lalu kenapa harus kita?” Nada bicaranya serak, entah kenapa tangis terjebak diantara mereka.
“Jadi harus bagaimana?” Bian menatap pandangan sendu tersebut yang turut berkaca, manusia itu makhluk paling sulit untuk diterka, bahkan diantara mereka entah siapa yang lukanya paling dalam, tak ada yang tahu, entah apa alasan mereka terluka, juga belum tentu sama. namun, keduanya menangis seolah mereke memahami satu sama lain, tentang dunia, dan tentang lucunya takdir mempermainkan mereka. (bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: