Bagian 26: “Finally We’re Gone”

Bagian 26: “Finally We’re Gone”

Ari Hardianah Harahap--

“Pergi bukan berarti henti, bisa saja itu langkah yang baru untuk kehidupan yang lebih layak, yang bahagianya tak lebih dulu penuh luka, yang lukanya tak lebih sakit dari kini. Bahagia selalu kamu!”

>>>***<<<

Setiap Kisah itu selalu punya akhir, tapi bukan berarti semuanya mesti berakhir, ada hal yang masih perlu kembali di perhitungkan, ada hal yang masih perlu kita perbaiki pelan – pelan, ada kenangan yang harus kita pilih untuk diingat setiap masa, dan ada kenangan yang harus kita sisihkan, agar tidak ada perlu rasa antah barantah yang perlu ditahan. Agar hanya tawa yang mampu kita ceritakan, biar lukanya jauh tersimpan, ditempat dimana hanya kita tanpa yang lain harus tau, jauh didalam sana.

“Ingat, hidup itu untuk bahagia, sewajarnya biasa saja, kamu tidak perlu jadi luar biasa untuk sebuah pengakuan yang bahkan tiada artinya, selama kamu baik dan tidak menyusahkan orang lain, kamu masih menjadi sebaik – baiknya menjadi manusia. Bukan berarti pula, menjadi sebaik – baiknya manusia kamu merasa tidak membutuhkan yang lainnya, secukupnya saja, saat kamu mampu berdiri sendiri dengan segala hal yang kamu punya berdirilah, dan saat kamu tidak lagi mampu menopang dirimu sendiri, menjulurkan tangan untuk bantuan orang sekitar tidak akan pernah salah, ingat manusia tidak pernah dituntut menjadi sempurna, sebab manusia adalah gudangnya salah.”

Ini terakhir, sebuah pesan panjang dari Bian yang dibalas kekehan kecil oleh Sandi, Jinan dan Jingan, kemudian ketiganya kompak memeragakan mual setelahnya yang dibalas Bian dengan delikan tajam dan ancaman, “Lo bertiga serius dikit ngapa, ini gue lagi sedih ya woi!” Kesal Bian, ia kepalkan tinjunya tinggi, yang malah dibalas ejekan lebih oleh Sandi, Jinan dan Jian.

“Lo kayak orang sekarat ngomong gituan,” Komentar Jinan dengan kacang atom di tangan dan mulutnya, sangat berbeda dengan Jinan yang digambarkan, Jingan bermalas – malasan dengan novel romansa yang ia beli kemaren, bersandar dan menumpukan badannya pada Sandi.

“Lo bisa geseran dikit nggak sih Nan, capek punggung gue!” Kesal Sandi mendorong Jingan, yang dibalas Jingan dengan tatapan malas, ia pindahkan tubuhnya bersender pada Jinan. “jangan lama – lama, gue banting entar lo!” Kesal Jinan yang dibalas dengan dengusan malas oleh Jingan, namun tetap bersandar. Bian menendang kaki Jingan sedikit, sebelum duduk dan membiarkan Sandi berbicara sepertinya tadi.

“Semoga ucapan Sandi lebih jelek dari gue!” Misuh Bian, “Yan, Biasanya doa yang jelek itu balik ke diri sendiri.” Balas Sandi tertawa keras alias puas.

“Mending lo cepet ngomong sebelum itu mic gue matiin!” Kali ini Jingan yang berseru, sebab dirinya sudah sangat tidak sabar untuk merebahkan dirinya sepanjang hari, cuma karena akhir, Jingan harus bertahan, setidaknya untuk teman – temannya,

“Gue nggak akan ngomong sedewasa Bian, tapi gue cuma pengen kalian jadi versi terbaik diri kalian, saat kalian merasa cukup, itu lebih baik dibanding kalian memaksakan yang berujung menghancurkan kalian pelan – pelan, makan yang banyak, jaga kesehatan, dan selalu bahagia, dari Sandi yang sayang kalian, ingat nggak ada yang sempurna karena kita tempatnya salah.” Sandi tersenyum lebar, melambaikan tangannya, matanya berkaca – kaca, bertahan sejauh ini tidak mudah, dan untuk berdiri saat ini adalah sesuatu yang pantas Sandi syukuri.

Jinan segera mendorong Sandi dari podium kemudian memposisikan dirinya berdua bersama Jingan, “Yarobunnnn!!!” Teriak Jingan yang segera disumpal oleh Jinan, “Kita di Indonesia Jainuddin!” Ingat Jinan yang dibalas Jingan dengan cengiran khas. Hingga Sandi dan Bian pun turut berlari bersama mereka.

“Siapapun kalian bahagialah, dan terimakasih untuk semuanya, ayo bersama dan sampai jumpa di semesta lain!!!”

Dan setelah sekian banyak langkah, sudah waktunya kita memberi jeda, untuk hari hari yang lebih bahagia kemudian..

The End

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: