Bagian 4: “Kita Remaja Menuju Dewasa”
Ari Hardianah Harahap--
“Jadi yang biasa aja, yang kecilnya banyak cita cita, remajanya pusing sama tugas sekolah, biar dewasa punya porsinya, nggak sekarang tapi nanti. Sekarang puas – pausing dulu masa mudahnya, jatuh cintanya, biar air matanya seminimimal mungkin porsinya.”
-Kita Jadi Manusia
yamaha--
>>>***<<<
Bian selalu menjadi manusia yang cukup beruntung, ingat cukup beruntung karena ia bukan manusia yang selalu beruntung. Bian dilahirkan dari keluarga yang sempurna, ada Ayah, ada Bunda, walau tidak ada saudara, Sandi memberikannya banyak pengalaman dan rasa tentang bagaimana menjadi seorang adik dan juga seorang kakak maupun abang. Kelurganya bahagia, selayaknya keluarga kecil biasanya, walau tidak dapat Bian katakan bahwa seumur hidupnya ia tak pernah melihat kedua orangtuanya bertengkar, namun Bian dapat menjamin kedua orangtunya tidak akan bertengkar hingga menggugat perceraian, kilah dan celah dalam rumah tangga itu ibarat cuka dalam masakan, rasanya kurang sedap saja jika tidak ada. Bian lahir ditengah keluarga yang serba cukup, setidaknya ia tidak susah susah memikirkan apakah ia masih bisa makan besok atau tidak? Atau jika ia harus berhemat menyisakan uangnya untuk esok hari. Ia masih berjajan sesukanya, dan bermain tanpa harus memikirkan apapun tentang kehidupannya dan belajar secukupnya, berusaha menjadi remaja yang biasanya, umumnya proses manusia menjadi dewasa, labil dan rendah diri.
“Kali ini, otak kecil lo itu mikir apaan lagi sih Yan, masih pagi juga itu muka udah kek setingkat stress professor aja.” Kadang Bian bertanya – tanya, darimana Sandi bisa menerkanya dengan baik, kadang kala ia merasa ditelanjangi oleh Sandi habis – habisan, sebab sepersekian detik saja, Sandi selalu tepat sasaran mengupas dirinya hingga hanya menyisakan harga dirinya yang sudah dibabat habis – habisan. Mungkin jika ada yang mengenali dirinya lebih baik dari dirinya sendiri, maka dapat dipastikan Sandilah orangnya.
“Menurut lo, transisi menjadi dewasa itu sulit?” Tanya Bian, kali ini jatahnya membonceng Sandi ke sekolah, setiap harinya mereka bergantian siapa yang membonceng siapa setiap berangkat sekolah. Sandi mendengus, “Lo beneren pengen masuk rumah sakit jiwa ya Yan, pake bahas dewasa – dewasa, ngebet banget bang mau jadi dewasanya.” Sandi kenakan helmnya asal, lalu ia golerkan kepalanya pada Pundak sahabat sejak zigotnya, dan menepuk bahu Bian, tanda mereka harus berangkat sekarang juga, jika tidak ingin membersihkan lapangan sekolah di terik siang matahari yang rasanya sudah simulasi siksa neraka.
“Jawab dong, San!” Teriak Bian, menyuruh Sandi menjawab pertanyaanya. Sandi itu boleh jadi manusia paling tengil, paling menyebalkan juga. Namun, wawasan Sandi dan pandangan Sandi terhadap kehidupan selalu menjadi sisi yang sungguh menyegarkan juga luar biasa, pemikirannya luas, ia sentuh ranah – ranah sensitif setiap sisi manusia. Seolah, siapapun orangnya, lima menit saja bersama Sandi, maka orang itu ada dalam genggaman Sandi sepenuhnya.
“Gue tanya lo sengebet itu jadi dewasa kenapa deh?!” Sewot Sandi, sebab ini masih pagi, sarapan tukang bubur langgananya saja belum buka, namun Bian sudah mengajaknya berbicara dengan bobot dua belas ton di kepalanya.
“Supaya kita punya proses yang sempurna jadi manusia.” Sandi mendengus, tidak salah jika dalam hampir Sembilan tahun kehidupan sekolah, Bian hanya mendapat dua hadiah dengan embel embel prestasi di belakang namanya, sebab menurut Sandi otak dan pemikiran sahabatnya ini terlalu terbelakang sebagai seorang generas muda di era zaman secanggih ini.
“Kalo lo cuma mau jadi manusia, lo udah jadi manusia, seutuh dan sebaik – baiknya manusia Yan, makhluk yang 70 persennya terdiri dari air.” Jawab Sandi malas, menguap lebar yang dibalas delikan sebal oleh Bian dari spion.
“Owasu!” Umpat Bian, “males banget gua!” Kesal Bian sebab ia tidak mendapat jawaban yang ia ingin dengar dari Sandi, walau tidak tahu seperti apa jawabannya, Bian hanya merasa, Sandi adalah orang paling tepat untuk ia tanyai.
Sandi memutar bola matanya malas, “Nggak ada manusia yang sempurna Yan, lo muluk banget deh minta ke tuhan buat jadi manusia yang sempurna. Kenapa lo nggak minta jadi manusia yang biasa aja, yang kayak sekarang, jadi anak – anak kayak biasanya, remaja pada umumnya, dan dewasa saat tiba waktunya. Lo nggak perlu menunjukkan sesuatu yang luar biasa untuk diingat, karena mau seluar biasa apapun lo, suatu saat nanti ekstensi keberedaan kita juga bakal lenyap, cukup beberapa jangan semuanya, karena nggak semua itu bagus dan layak, sebab yang namanya sempurna itu nggak ada, tapi yang namanya cacat senantiasa, dimana saja, kapan saja, pasti ada.”
Bian tersenyum, “Kalo lo nanti mau jadi manusia yang gimana?” Tanya Bian iseng, mengunyah serentetan deeptalk bersama Sandi menjadi sebuah cirikhas untuk Bian, rasanya asing namun menyegarkan kepalanya, memberi sensasi puas juga lega. Sandi yang pecicilan tanpa pamor sana sini saja sudah luar biasa, bagiaman jika Sandi memilih untuk menjadi ia yang harus dikenal oleh satu dunia, masihkan akan ada tukar pikiran mereka seperti pagi ini.
“Yang umumnya aja. Waktu kecil, jadi anak anak yang punya banyak cita – cita, jadi remaja yang pusing dengan serentatan tugas sekolah, jadi remaja yang dimabuk asrama, kemudian jadi orang dewasa, yang lebih paham bijaksana itu bukan karena kamu baik, tapi kamu sebaik – baiknya yang bisa, karena udah dewasa, gitu aja, simpel gua mah nggak kayak lo, ribet anjing kesana kesono mulu hidup lo!!”
Bian tertawa, “Kalo besok gue jatuh cinta, tolong ingatin gue dari mabuknya dawai asrama, kalo cinta itu benar bahagia, tapi cinta itu juga luka.” Suruh Bian yang langsung dibalas pelototan oleh Sandi.
“Sama siapa? Kok gue nggak tahu?” Tanya Sandi bersemangat, bahkan motor yang dibonceng Bian hampir jatuh.
“Sama perempuan, yang kalo kita liat matanya, kita tau kita sekurang – kurangnya manusia, ternyata masih bisa dihargai apa adanya, tanpa harus jadi luar biasa. Ayo jadi remaja yang biasanya, yang pusing sama tugas sekolah, yang labil kisah cinta dan asmaranya, lalu jadi orang dewasa yang katanya cari uang buat bahagia!” Jawab Bian melantur, namun tak sepenuh berbohong, sebab hatinya seringan kapas, hanya meningat raut merah dan tatapan teduh di indomaret simpang empat dekat rumahnya.
“Gilaa…gue dipepet!” balas Sandi senang memeluk Bian. “Traktirannya jangan lupa sahabat” Ingat Sandi yang diangguki oleh Bian.
“Tunggu ampe jadian, soalnya gue nanya kosong delapan berapa di jawabnya delapan delapan kapan – kapan saya kasih tau haha.” (bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: