Bagian 1: “Diantara Kita”

Bagian 1: “Diantara Kita”

Ari Hardianah Harahap--

“Namanya saja jumpa pertama, kali pertama, apa yang diharapkan tentu saja jauh dari kata luar biasa, jangan mengada – ada, yang kamu temui itu manusia, bukan yang maha sempurna”

-Kita Jadi Manusia?

>>>***<<<

-kalo kata bijak pertama memang selalu indah ya, soalnya idenya belum stuck dimana mana hehe :D


yamaha--

Ada dimana disaat kita sangat berharap harapan itu selalu saja lenyap, dan ada dimana saat harapan itu begitu tidak diingkan ia datang dengan tiba – tiba, tanpa peringatan bahkan sekedar aba – aba, terlalu mendadak juga tak terduga – duga. Diantara banyaknya manusia, Bian dan Sandi harus terjebak dalam dua hal, pertama kesamaan mereka yang tidak suka keramaian dan harus berada dalam kumpulan manusia dengan bau keringat dan ketek dimana – mana, kedua, harus bersama, Bian yang benci berpura – pura dan Sandi yang nyaris sempurna dengan senyum hampanya.

“Lo senyum dikit kek, first impression itu penting goblok, lo mau kita dibilag homo kayak dulu lagi. Gua mah ogah, gara gara lo cewe kagak ada yang mau sama gue?!” Bisik Sandi menyikut perut Bian sedikit keras, Bian itu tipe yang tidak banyak bicara, berbanding terbalik dengan sahabatnya yang ceriwisnya minta ampun, bahkan kadang lupa untuk berhenti dan diam, entah terlalu banyak bualan atau memang dasar mulutnya terlalu lancar, Bian tidak tahu. Bian mendelik kasar pada Sandi, tidak ada kata yang keluar dari rongga mulutnya, hanya melaui mata ia memperingati Sandi bahwa yang dilakukan Sandi itu menyakitkan.

“Santai dong maszehh,” Sandi tidak berteman dengan Bian hanya satu atau dua tahun, sudah ia katakan bahwa ia dan Bian itu bahkan ditakdirkan sebelum keduanya berbentuk zigot, ibaratnya saudara beda orangtua, entah apapun korelasinya, hanya Sandi dan dunianya lah yang tau. “Lo harus punya teman selain gue disini?” Suruh Sandi, sebab Sandi sangat tau karakter Bian, tidak peduli dan terlalu fokus pada dirinya sendiri, padahal Bian itu bukan orang yang juga semuanya bisa sendiri, buktinya Bian butuh Sandi, bahkan hanya sekedar mengangkat galon dari teras hingga ke dapur rumahnya. Kata Bian, bersosialiasi itu melelahkan, lelah untuk menjaga perasaan manusia lainnya, lelah untuk berpura – pura, kenapa juga harus sembunyi – sembunyi jika semuanya bisa mudah dengan menjadi nyata dan apa adanya.

“Kalo bisa,” Jawab Bian acuh, kembali fokus pada ponselnya, padahal tidak ada aplikasi apapun yang ia buka. “Lo kalo gue ngomong dengerin lah nying!” Kesal Sandi memukul paha Bian keras, Bian melotot yang artinya pukulan Sandi memang sesakit itu, “Mati lo habis ini!” Balas Bian singkat, yang bahkan tidak dalam hitungan menit, keberadaan Sandi sudah hilang begitu saja dari pandangannya.

Bian mengusap pahanya, pukulan Sandi membuat Bian mengingat hari pertama saat kaki mereka mengingjakkan sekolah sederhana ini, tidak sederhana sebenarnya, namun mau dikatan mewah juga tidak ada yang terlalu bagus dan ‘wah’ mungkin memadai hanya tidak untuk dua atau tiga tahun kedepan. Setidaknya jika tidak runtuh ya hancur, ah, membahas tentang sekolah memang tidak ada asyiknya selain kisah romansa, dan sebuah jalinan perteman yang penuh drama. Apa yang asyik dari tugas tugan serentatan rumus yang terasa sangat menyebalkan setiap harinya.

“Bi, gue udah nelpon RSJ, semoga lo baik – baik ya disana, jangan digorok anak orang, apalagi disinisin, soalnya manusia terbiasa salah, lo aja yang terlalu sensi.” Bisik Sandi dari belakang Bian, masih menjaga jarak aman, setidaknya Sandi perlu memastikan Bian untuk tidak menjadi malaikat pencabut nyawanya malam ini, dia belum siap jika harus ke alam barzah, jangankan surga mau menerimanya, ia saja ragu jika neraka mau menampungnya.

“Cappucino dan toast large size satu!” Pesan Bian, yang langsung dibalas misuh oleh Sandi.

“bangsat! Mati ajalah gue kalo gitu!” Balas Bian kesal, sebab jika ia tidak menuruti pesanan Bian, sahabatnya itu tega tega saja meninggalkannya sendirian di sekolah, mentang – mentang punya motor, ninggalian orang sembarangan, bangga lo? Banggalah, yakali punya motor kagak mau pamer, minimal kawan kanan kiri bilang wow sama irilah. Sandi dan prinsi hidup nyelenehnya,

“Jangan,” Cegah Bian terkekeh kecil, “Kalo lo mati, anak bunda yang bisa ngangkat galon nggak ada lagi!” lanjutnya kemudian tertawa terbahak – bahak bersamaan dengan wajah Sandi yang tertekuk.

Sekali lihat saja, sudah taukan mana manusia paling menyebalkan diantaranya, diantara kita. (Bersambung)

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: