>

Bagian 21: “Abang Adek-an Nggak tuh?”

Bagian 21: “Abang Adek-an Nggak tuh?”

Ary--

To be young and in love in New York City

To not know who I am but still know that I'm good long as you're here with me

To be drunk and in love in New York City

Midnight into morning coffee

Burning through the hours talking

Damn, I like me better when I'm with you

I like me better when I'm with you

I knew from the first time, I'd stay for a long time 'cause

I like me better when

I like me better when I'm with you

-Lauv, I Iike Me Better

֍♠♠♠♠֍

Aji itu tipe cowo yang slow tapi pasti, nggak usah banyak bacot yang penting aksi!”

-Jingga, manusia baper pacarnya siapaaaa??? Ya, Ajilah. Siapa lagi coba?

>>>***<<<

Aji kembali melihat tutorial video Youtube di ponselnya, sejak dari dua jam lalu ia mempeloti layar ponselnya. Video dengan judul ‘Trik and Tips jadi Cowo Keren ke Cewe Ala Shandixx’ itu menjadi referensinya yang kencannya yang kesekian hari ini. Sebenarnya, sudah banyak video yang Aji tonton namun hanya video ini yang sekiranya dapat ia terima, simpel, tidak repot dan hemat biaya. Ini bukan berarti Aji pelit ya Mbak dan Mas sekalian, Aji itu masih kuliah, duit nebeng sama Mama dan Mas Arya, masa gayaan mau beliin Hermes buat si Jingga, kalo Aji udah punya duit sendiri mah, selow wae. Jangankan Hermes, noh Aji buatin nama Jingga di Mars kalo memang bisa, Amin-in dulu. Belum lagi, UKT dia itu walau nggak mahal cukup menguras dompet Mama, sebagai anak yang berbakti dan calon penghuni surga, ada baiknya Aji tau diri.

“Lo ngapain anjir nonton gituan?” Tanya Mas Arya dengan wajah suram, menatap Aji seolah ingin menenggelamkan adiknya itu ke lautan paling dasar yang ada di semesta. Aji mengerjapkan matanya berulang kali, menatap Mas Arya bingung, celengukan ke kiri dan ke kanan. “Lo nanya gue Mas?” Tanya Aji dengan wajah polos, sungguh jika membunuh bukanlah dosa yang beresiko membuatnya masuk neraka, rasanya Mas Arya ingin mengambil pisau di dapur Mama dan menikam Aji menit ini juga.

“NGGAK NANYA ANJING TETANGGA NOH!” Kesal Mas Arya, Aji segera berdiri dari tempatnya, menatap ke luar rumah, mengamati lingkungan sekitar rumahnya dengan seksama, kemudian mengkerut heran sebelum kembali duduk di tempatnya semula, disamping Mas Arya.

“Nggak ada tetangga baru Mas, siapa tetangga kita yang punya anjing? Perasaan semua kiri kanan depan belakang nggak ada tuh” Ujar Aji, siram Mas Arya dengan es batu sekarang juga, sungguh emosinya benar – benar mendidih menghadapi Aji. Mas Arya melempar bantal sofa yang ada didekatnya tepat persis mendarat di wajah Aji.

“Lo kalo punya otak dipake! Jangan dianggurin. Yakali, gue ngomong sama anjing tetangga, yang jelas – jelas disini cuma ada lo, ya jelas gue ngomong sama lo lah!” Gerutu Mas Arya, Aji mengedikkan bahunya, “Ya mana gue tau, kan wajar dong gue ngira gitu. Soalnya anjing sesama anjing yang ngomong.” Balas Aji santai.

“Durhaka lo bocah!” Kesal Mas Arya menjitak kepala Aji kuat, sedang yang dijitak meringis sakit, mengusap kepalanya, “Ish….Diriki li bicih” Tiru Aji dengan nada mengejek. Mas Arya hanya memutar bola matanya malas, meladeni Aji hingga kiamat tiba pun tidak akan pernah usai, otak kecil Aji itu selain menyimpan jurus seribu satu kejahilan dan cara ngegebet Jingga, laki – laki itu akan memiliki ribuan kalimat untuk membalas kalimat orang lain. Ibaratnya, kita baru ngomong satu kata, si Aji udah siap beribu kalimat balasnya. Mana pedesnya nggak ngalahin pedesnya emak – emak yang lagi nawar sayur, udah capek mulut berbuih, gocap aja kagak turun yang akhirnya misuh – misuh.

“Ngapain lo nonton gituan?” Tanya Mas Arya kembali, Aji menghela nafas menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa.

“Menurut lo?” Tanya Aji.

“Buat si Jingga?” Aji mengangguk merespon perkataan Mas Arya dengan lesu. Arya mengernyit heran, “Tumben. Berantem lu?” Tanya Mas Arya lagi, Aji menggeleng.

“Nggak. Kemaren gua nggak sengaja ngeliar artikel yang dibaca Jingga di handphonenya. Isinya cara mengatasi rasa bosan terhadap pasangan, jingga bosan ya sama gue Mas?”

“Gini aja baru lo pake Mas, tadi apaan lo-gue lo-guean sama gue!”

“Lah Mas yang mulai!” Bantah Aji, “Lagian ini gue serius, perasaan gue nggak sebercanda itu ya mas!” Kesal Aji.

Mas Arya mengangkat bahunya acuh tak acuh, “Ji hubungan itu dibangun sama dua orang, kalo lo overthingking disini, si Jingga nggak nyaman disana. Memangnya masalah kalian selesai begitu aja diam – diaman gini. Tu anak juga bingung pasti kenapa tiba – tiba lo berubah, syukur kalo dia khawatir, lah kalo dia seneng dan nyari yang lain. Lo yang rugi.”

“Jangan ngomong sembarangan dong Mas!”

“Siapa yang ngomong sembarangan coba? Yang gue bilang itu bener Ji. Intinya kalian tu kudu komunikasi doang aja, ya kalo si Jingga bosan, diskusiin sama – sama apa yang harus diupgrade dari hubungan kalian berdua. Lo juga bisa bilang perasaan lo langsung ke si Jingga, kalo lo nggak nyaman dengan dia yang diam aja sama perasaannya. Tapi gue tekanin sekali lagi ya Ji, yang namanya ngejalin cinta itu berdua, kalo salah satunya bahagia, satunya nggak itu namanya bukan cinta tapi penyakit. Iya, penyakit egois sama gede gengsi doang. Jadi, kalo udah masanya nggak bisa apa – apa dan nggak bisa ngeperjuangin apa – apa lagi, ya udah. Ngelepas bukan berarti cinta lo nggak setia, Cuma ada beberapa waktu yang katanya bersama tu buat sia – sia kalo nyatanya pisah menjadi bahagia untuk kita. Paham kan Ji?”

Aji mengangguk mendengar wejangan Mas Arya, ia bangkit berdiri dan menyalami mas Arya. “Doain gue mas, demi Jingga!” Ujar Aji dengan semangat membara.

“Lo zina minta doa! Tobat sana!” Kekeh Mas Arya menggeplak kepala Aji. Aji misuh – misuh.

“Yang katanya cuma temen tapi sampe cium – ciuman di jalan mah diam aja. Bukan Zina lagi itu, tapi emang fix penghuni neraka!”

Tolong tahan Mas Arya sekarang untuk tidak menanam Aji hingga ke kerak bumi paling panas!

***

Jingga menatap Aji heran, pasalnya Aji tidak banyak bicara seperti biasanya, dan juga tingkah kekasihnya itu cukup aneh malam ini. Jingga dapat menangkap jelas raut gugup dan tidak nyaman dari gestur Aji saat ini, hanya saja Jingga tidak tau alasan mengapa Aji harus seperti ini. Sebenarnya sebuah pernyataan dibalik sikap Aji terbesit di benaknya, namun ia harus berpikir ulang untuk mengatakannya. Karena bisa saja hanya dengan satu kalimat itu bisa menjadi petaka untuk hubungannya dan Aji. Namun, hanya itu yang terus terpintas di benak Jingga sekarang.

“Aji kamu nggak selingkuh kan?” Tanya Jingga yang dibalas Aji dengan raut wajah pias tak percaya, menatap Jingga dengan tatapan seolah, ‘Nggak lo nggak percaya sama gue?’ Benar atau tidaknya Jingga tidak tau.

Aji menggeleng dengan cepat, tangannya juga ia silangkan berkali – kali di depan tubuhnya, “Sembarangan aja kalo ngomong, omongan tuh doa Ngga, yakali aku selingkuh!”

“Ya mana tau, soalnya lo aneh banget malam ini, sumpah!” Jawab Jingga jujur, Aji menggaruk rambutnya yang tidak gatal, dan mengusap tengkuknya canggung. “Aneh ya?” Tanya Aji, Jingga mengangguk cepat.

“Kenapa? Ada masalah? Mau cerita nggak?” Tawar Jingga, Aji berpikir sesaat, menghela nafas kemudian mengangguk.

“Ada,” Jawab Aji.

“Apa?” Tanya Jingga.

“Masalahnya kamu.” Jingga mengernyit heran mendengar jawaban Aji, tapi sedetik kemudian wajahnya berubah sendu, “Ji, lo nggak berniat buat mutusin aku kan?” Cicit Jingga pelan, Aji dilanda panik, “Sumpah Ngga, nggak! Ngapain gue putusin, kalo dapat lonya aja susahnya minta ampun.” Jelas Aji cepat.

Jingga menghela nafasnya lega, “Hufft…terus kenapa akunya?” Tanya Jingga menatap serius Aji. Aji memperhatikan wajah Jingga lamat – lamat, merekam jejak ayu nan manis wajah kekasihnya itu.

“Kamu bosan sama aku?” Tanya Aji pelan. Jingga mematung sesaat, “Kenapa nanya gitu?” Tanya Jingga balik.

“Soalnya aku nggak sengaja liat kamu baca artikel kemaren, cara mengatasi bosan pada pasangan?” Ujar Aji, Jingga sentak tertawa mendengarnya.

“Kamu percaya?” Tanya Jingga, Aji mengangguk serius.

“Itu bukan aku,” Jawab Jingga jujur.

“Terus siapa?”

“Ya siapa lagilah kalo bukan Rena, yang minjem hape aku kan cuma dia doang!”

Mata Aji berkaca – kaca, “Bajingan, gue udah overthingking dua hari cuma gara – gara itu!”

Jingga menggoda Aji, “Cie..yang takut kehilangan. Ulu ulu co cwitt deh kiw kiw”

Aji turut tersenyum geli, entah mengapa video yang dia tonton. “Nih kan kita gini gini aja nggak sih, kenapa nggak coba hal baru aja.” Saran Aji.

“Apa contohnya?” Tanya Jingga.

“Panggilan sayang?” Ujar Aji, Jingga menatap Aji sesaat, menangguk ragu – ragu.

“Kalo sayang gimana?” Tanya Aji mempertimbangkan pendapat Jingga.

“Pasaran,” Jawab Jingga.

“Bebeb”

“Alay banget”

“Mama papa”

“Lo kata kita anak baru gede! Memangnya siapa yang punya anak! Dark sumpah!”

Sebenarnya Aji ada satu panggilan lagi yang tak belum ia sebutkan, hanya saja tidak pernah ada perempuan yang memanggilnya dengan sebutan itu, bahkan saudara sepupunya. Dan yang hanya ia panggil dengan sebutan itu cuma Enza, Aji berani bersumpah hanya Enza.

“Abang Adek?” Cicit Aji dengan wajah memerah. Jingga yang mendengarnya sontak tertawa, bersama Aji tu memang Nano – Nano, Jingga malu namun juga bahagia, rasanya geli tapi candu untuk diulangi. Melihat respon Jingga, sungguh Aji tau bahwa itu akan menjadi bahan olokan untuk keduanya.

“Bang, habis ini mau kemana? Adek rinduuuu banget sama abang!” Ejek Jingga. Benar saja, belum genap semenit Aji memprediksinya, Jingga benar – benar melakukannya. Wajah Aji yang sudah memerah, kini kian memerah.

“Apaan sih, udahlah nggak jadi!” Ujar Aji cepat, Jingga masih tertawa, Aji berjalan cepat meninggalkannya di belakang. Mau tak mau Jingga harus sedikit berlari mengejer Aji, dan mengamit lengan kekasihnya itu.

“Udahlah…yang paling bener itu nama aja, udah bagus kok.” Ujar Jingga. “Supaya yang namanya Setiaji Archandra selalu ingat, kalo yang dia cinta itu cuma Jingga Sastirana.” Lanjut Jingga berbisik pelan di telinga Aji. mendengarnya Aji tersenyum kecil, menatap Jingga kemudia terkekeh kecil.

“Iya, biar langit juga tau. Kalo yang namanya Jingga Sastirana nggak ada duanya buat Setiaji Archandra” (Bersambung)

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: