>

Bagian 16: “Ruang Bicara”

Bagian 16: “Ruang Bicara”

Ary--

AGANA menahan sakit di seluruh tubuhnya mati – matian, matanya masih basah, dirinya kehabisan tenaga, Agana menyeret dirinya sendiri yang tidak bisa lagi berdiri untuk menghampiri Bumi, Adiknya kesakitan, dan satu – satunya hal yang tidak ingin pernah Agana liat adalah mata Bumi yang terpejam. Bahkan saat Bumi tidur, Agana selalu saja merasa was – was, takut suatu saat nanti netra hitam legam adiknya itu, tidak dapat ia temui lagi.


yamaha--

Bibir Agana bergetar, tangisnya masih ada, namun ia tahan mati – matian, di genggamnya tangan Bumi kuat, tangan yang seringkali menjahilinya itu dingin, “Adek, bangun” Lirih Agana yang terdengar sangat menyedihkan. Saat Bumi pingsan, Mama memaksa Agana untuk berdiri, menopang tubuh Bumi menuju kamarnya. Agana tidak masalah, dengan sisa – sisa tenaga terkahirnya ia dan Mama berhasil membaringkan Bumi di kasur. Mama menelpon dokter, Agana dapat menangkap jelas raut khwatir dan netra penyesalan Mamanya pada Bumi.

“Pergi ke kamar kamu! Dokter mau datang!” Agana tersenyum, senyum yang sirat akan rasa sakit. Menganggukan kepalanya pelan dan menyingkir dari kamar Bumi. Tetes air mata Agana jatuh konsisten dengan langkahnya, Agana bersyukur Mama menyanyagi Bumi dengan sangat, Mamanya mengusap kepala adiknya lembut, terus mengumamkan kata maaf. Padahal kondisi Agana jauh lebih menyedihkan, lalu mengapa Mama memilih buta untuk melihatnya.

Agana kehabisan tenaganya, dirinya bersenyumbi di balik dinding karena tak bisa lagi berjalan di kamarnya, hingga dokter datang dan setelahnya pergi kembali usai memeriksa Bumi. Dan kemudian, Agana dapat melihat Mama pergi, dengan telpon di telinga, jelas urusan kantor. Agana ingin egois membiarkan Bumi sendirian, namun hati dan pikirannya gagal, Agana menyeret tubuhnya untuk menemani Bumi.

“Adek, bangun!” Agana menangis, wajah Bumi pucat, bulir keringat Bumi tersampir di dahinya, menyuarakan betapa keras tubuh adiknya ini berjuang menahan rasa sakit. Agana semakin erat menggengam tangan Bumi, menciuminya beberap kali, dan menaruhnya di pipinya agar Bumi tetap merasa hangat. Agana mengusap pipi Bumi yang tadi ditampar oleh Mamanya, “Pipi adek sakit?” Tanya Agana lagi namun hanya keterdiaman Bumi yang ia dapat, “Bangung dulu, biar kakak kasih salep nanti. Biar gantengnya adek kakak nggak hilang.” Agana berusaha tertawa pelan. Dulu, Bumi pernah sakit hingga harus mengingap di rumah sakit selama beberapa hari dengan kondisi tidak sadarkan diri. Dokter yang menjaga Bumi pernah bilang padanya, walau tidak sadar, Bumi masih bisa mendengar. Dan Agana percaya itu. Agana percaya Bumi pasti mendengar suaranya, “Adek nggak lapar? Kakak lapar, tadi nggak sempat makan malam.” Agana masih asyik mengajak Bumi berceloteh. Sungguh Agana tidak ingin melihat Bumi yang tidak berdaya, satu – satunya tempat Agana bertahan dan bernaung adalah Bumi. Agana rela melakukan apa saja, asal Bumi bisa bahagia. Agana akan melakukan apa saja, asal Bumi bisa hidup dengan nyaman.

Agana kembali mengingat perkataan Bumi tadi, setelah bertahun – tahun, Agana dapat mendengar lagi Bumi memanggilnya kakak. Anak manja ini sangat senang melakukan apapun sesuka hatinya, dan saat Bumi memutuskan untuk memanggil Agana tanpa embel – embel Kakak, Agana hanya bisa mengiyakan. Alasan Bumi pun juga sangat klise, perbedaan usia mereka yang terpuat satu tahun membuat mereka tampak sepantaran.

“Adek, bangun! Kalo nggak bangun besok kakak suruh Jaya nggak pernah main sama kamu lagi! Kamu kan yang bilang kalo Role-model kamu itu Jaya. Padahal Jaya itu cowo nyebelin, kamu nggak boleh niru sifat Jaya yang jelek ya!” Agana menyuarakan pikirannya, seolah tengah memarahi Bumi. Agana mencubiti lengan Bumi pelan, asyik dengan kegiatannya yang sibuk berbicara sendiri, Agana tidak sadar bahwa Bumi sudah bangun dan tersenyum kecil mendengarnya. Bumi menikmati celotehan suara cempreng kakaknya yang seperti radio rusak itu.

Hening menggelayuti Agana sesaat, Bumi dapat mendengar hela nafas dan isak tangis kecil Agana, “Bumi, Maafin kakak karena gak bisa jaga kamu.” Agana berbisik dengan pelan, menunduk menyembunyikan wajah dan tangisnya, tubuhnya bergetar. Bumi ingin sekali memukul kepala kakaknya itu dengan kuat, lihat kondisi siapa yang lebih menyedihkan diantara mereka dan Agana malah terisak menangisinya, meminta maaf. Padahal seharusnya Agana lebih mengkhawatirkan dirinya. Bumi membalas genggaman Agana, membuat Agana tersentak dan segera menatap Bumi, Bumi ingin berbicara namun kerongkongannya kering.

“BUMI!!!” Agana memekik senang, memeluk Bumi. Bumi mengusap pelan punggung kakaknya yang kini menangis di atas tubunya, “Lo tahu nggak sih gue khawatir banget!” Bumi inging tertawa, Agana benar – benar pandai menyembunyikan lukanya. Mana kata – kata lembuk dan sentimental tadi, dimana panggilan adik untuknnya tadi.

“Berat, minggir badan lo bau!” Bumi menggerutu, Agana mencebik kesal namun tetap menyingkir. Semangatnya seolah kembali melihat Bumi bangun dan bicara, Agana seolah merasa hidup kembali. “Ck, lo!” Kesal Agana mencubit lengan Bumi sedikit kuat hingga sang empu meringis, “Eh, sakit? Mana yang sakit? Serius tadi bercanda doang!” lanjut Agana memeriksa lengan Bumi, wajahnya cemas.

Bumi menghemfaskan tangan Agana, “Lebay! Gue cowok!” Ujar Bumi mendelik tajam yang hanya dibalas putaran bola mata malas oleh Agana. “Lo bukannya bantuin gue, malah cari ribut. Tolongin ambilin minum kek, seret nih gue!” Titah Bumi yang langsung dibalas gerakan cepat oleh Agana, mengambil air minum untuk Bumi dan membantu Bumi minum.

Hati Bumi sakit, penampilan kakaknya begitu berantakan, di bahu Agana ada rambut rontok yang Bumi yakin akibat jambakan Mama, sudut bibir Agana juga berdarah, Mama pasti menampar Agana saat Bumi pinsan. Punggung tangan kakaknya lecet dengan darah yang mengiring, bekas heels mamanya masih tercetak jelas. Bumi jelas sadar, tangan Agana yang gemetar membantunya saat meminum air, bekas lebam dan biru menghiasi sepanjang lengan Agana.

Agana kembali membantu Bumi untuk berbaring, mengecup kepala adiknya pelan, berniat meninggalkan Bumi untuk istirahat. Bumi menahan pergelangan tangan Agana, Agana menaikkan sebelah alisnya, rautnya bertanya, namun Bumi hanya diam.

“Kak tidur disini! Bumi takut.”

Agana menahan tawanya melihat wajah Bumi yang memerah, belum lagi Bumi langsung menutup matany seolah tak ingin melihat respon Agana. Ah, rasanya Agana ingin membelikan Bumi figuran baru melihat adiknya ini dengan berani memanggilnya kakak bahkan bertingkah manja. Dilihat dari gelagatnya, Agana tahu Bumi malu. Jika mengingatnya lagi, Agana seolah tengah melihat Bumi yang berumur sepuluh tahun meminta ditemani tidur sehabis membaca komik horror. Agana berbaring di sebelah Bumi, memposisikan dirinya senyaman mungkin. Bumi memeluk lengan Agana lembut, menyembunyikan wajahnya di lengan Agana, Agana terkekeh pelan.

“Bumi hari ini ngapain?” Tanya Agana, senyumnya masih terpahat, Agana bahagia. Bumi tidak menjawab, hanya menempelkan pipinya di lengan Agana. “Kakak nggak marah, tapi lain kali bilang kakak ya. Kalo Bumi kenapa – napa kakak jadi tahu, jangan buat kakak cemas dan khawatir seharian.” Agana mengusap rambut Bumi lembut.

Bumi masih diam, namun Agana tahu bahwa tubuh Bumi bergetar, berusaha menahan isak tangisnya. Agana mengusap rambut Bumi lagi, “Adek kakak jangan nangis, kakak sedih.” Tangis Bumi pecah, semakin ia membenamkan wajahnya di lengan Agana. Agana tersenyum, berusaha sekuat mungkin di depan Bumi, tetapi tangis Bumi mengundang tangisnya jua. “Kalo Bumi nangis, kakak ngerasa gagal buat jaga Bumi.” Bisik Agana, kali ini air matanya turun perlahan.

“Maafin, Bumi.” Agana tertawa namun tangisnya tak juga reda, “Kakak beneren gagal ya sampe Bumi minta maaf?” Bumi memeluk Agana erat, kini tangisnya tumpah di bahu Agana, dua kakak beradik itu sama – sama menangis menumpahkan semua sakit dan luka yang setiap harinya membusuk mengerogoti tubuh mereka. Masih dengan suara pecah, Agana mengumamkan melodi, melodi tidur yang dulu ia gumamkan untuk Bumi saat kecil, adiknya itu akan memeluknya sepanjang malam, sesekali Bumi akan merintih tubuhnya panas dan sakit, dan Agana hanya bisa memberi usapan, berusaha meringankan sakit adiknya.

“Kakak, sakit.” Bumi mengadu seperti dulu, Agana tahu dua tahun terakhir Bumi berjuang sendiria, tidak ada keluhan, tidak ada rengekan lagi dari adik manjanya, dan malam ini Bumi menumpahkan segalanya, ia lelah berpura – pura bisa segalnya. Agana memejamkan matanya, meredam tangisnya, suaranya parau masih melantukan melodi pengatar tidur itu.

Perlahan Agana tidak lagi mendengar tangis Bumi, terganti dengan suara dengkuran halus. Bumi bergumam tidak jelas, sebuah kebiasaan tidur yang tidak pernah berubah. Agana tersenyum lembut, matanya kembali berkaca – kaca melihat wajah adiknya, “Kakak nggak pernah gagal jadi kakaknya Bumi.” Gumam Bumi tidak jelas yang masih dapat didenger Agana, “Bumi sayang kak Ana,” Agana membekap mulutnya, menahan tangisnya yang pecah, kini Agana tahu, Bumi adiknya itu mau sedewasa apapun dia, di depan Agana ia masih anak belia yang terus mengadu dan mengeluh.

Agana mulai merasa matanya memberat, “Adek kakak sekarang udah gede ya, dulu nangisnya keras supaya semua orang tahu, sekarang nangisnya diam – diam biar nggak ada yang tahu,” Agana terkekeh, sebelum gelap benar – benar merebut kesadarannya, Agana berucap pelan, “Kakak sayang Bumi.” (bersambung)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: