Bagian 6: “Kasih yang Memberi Luka”
--
MALAM terasa pekat bagi Agana, padahal jam di dinding kamarnya masih menunjukkan pukul Sembilan, belum terlalu larut untuk remaja seusianya yang terbiasa begadang hingga tengah malam atau parahnya sampai Agana mendengar suara adzan subuh, tentu tanpa sepengatahuan kedua orangtua Agana. Agana menggengam erat tangannya, keringat dingin mengaliri di pelipisnya, bahkan jantung Agana berdetak lebih cepat dari biasanya.
“Inhale, Exhale,” Gumam Agana melakukannya berulang kali, katanya steatment pernafasan yang lancet dapat memberikan ketengah, hampir dari setengah jam lalu Agana melakukannya, bukannya semakin tenang, Agana malah semakin panik. Agana mencebik, ia berjanji akan memberi komentar tentang bagaimana acara kesehatan di televisi yang ia tonton itu harus berbenah, sebab memberikan saran yang tidak berguna. Oke, entah benar atau tidak, namun itulah yang dirasakan Agana.
Agana mendengar suara deru motor dari kamarnya, tepat pukul setengah sepuluh, akhirnya mamanya pulang. Agana sedikit merapikan rambut dan pakainnya, menyimpan surat yang sedari tadi membuatnya tidak tenang dengan rapi di saku roknya. Agana berlari menuju pintu, mengulas senyum paling cerah menemui Mamanya.
“MAMA!” Teriak Agana senang, wanita yang dimaksud Agana tersenyum lembut mengusap sayang rambut Agana.
“Udah makan?” Tanya Diandara—Mama Agana. Agana menanggukan kepalanya.
Agana menunggu Diandra meletakkan seluruh barang bawaannya, seolah paham ada hal yang ingin Agana ceritakan, Diandra menatap Agana lemebut, “Mama mandi dulu ya, nanti kita cerita.”
“Oke!” Jawab Agana dengan kedua jempolnya. Selagi menunggu Diandra membersihkan dirinya, Agana menyiapkan teh untuk mamanya, biasanya Diandra membuatnya sendiri sebelum tidur, namun untuk malam ini Agana melakukannya, padahal biasanya tidak, disuruhpun Agana akan membuat seribu satu alasan yang membuat Diandra menyerah menyuruhnya.
Agana melakukan hal yang tidak biasa ia lakukan sedari pagi, membersihkan rumah hingga ke sudut – sudut terpencil, merawat tanaman mama, bahkan membersihkan kamar adik laki – lakinya yang Agana bersumpah jika bukan karena keselamatan hidup dan matinya, Agana tidak akan pernah menginjakkan kakinya lagi di kamar yang tidak ada bedanya dengan kandang kuda tersebut, bahkan baunya melebihi bau kandang kambing.
Agana mengulas senyum lembut penuh maksud kepada Diandara yang turun dari tangga, tampak lebih fresh dan nyaman dengan dress rumah selututnya. Agana memperhatikan Mama-nya memperhatikan sekeliling rumahnya, dalam hatinya Agana berdoa agar Mama-nya menyadari bahwa ia berjuang mati – matian untuk membuat rumah tampak lebih bersih, bahkan Agana rela memindahkan beberapa perabot dan menatanya ulang agar rumhanya sedap di pandang, memberikan sentuhan home sweet home yang nyaman dan hangat.
“Jadi?” Agana berdiri mematung mendengar pertanyaan Diandara. Agana merasakan perlahan kakinya mulai terasa seperti Jelly dan seluruh tubuhnya gemetar, manik matanya juga menyiratkan kegugupan yang sangat terlihat jelas.
“Eng, itu mama nggak mau minum dulu?” Tanya Agana melirik teh yang sudah ia sajikan di depan meja. Diandra meminum tehnya, “Kamu nggak pakai uang jajan yang mama kasih buat judi? Sampe kamu ngutang ketemen kamu?”
Agana melototkan matanya, menatap Mamanya dengan raut terkejut dan tidak percaya, “Mama, jangan sembarangan dong! Nuduhnya jahat banget!”
“Terus kamu bolos? Merokok? Narkoba? Atau—” Agana menangkap raut Mamanya lebih serius dan berdiri dari tempatnya tiba – tiba, meremat bahu Agana lumayan kuat, “Agana kamu hamil diluar nikah?!”
Agana langsung melotot dan mencubit Mamanya pelan, “Mama tuh kalo ngomong sama kakak filter dikit kek, jelek banget perasaan Agana di mata mama. Seudzon banget jadi orang!” Kesal Agana menghentakkan kakinya.
“Ya gimana mama nggak seudzon coba sama kamu, kamu tiba – tiba kerasukan gini jadi rajin,” Diandra berucapa dengan nada bicara yang tidak kalah sewot, Agana mencebikkan bibirnya kesal, serba salah memang jadi anak, malas di omelin, rajin pun Agana tetap diomelin bahkan sampe dituduh kerasukan.
Agana menyampirkan anak rambutnya ke belakang telinga, tersenyum anggun dan mulai mengelurkan surat ‘keramat’ dari saku roknya, masih dengan senyum yang menampilkan seluruh giginya. Diandra mengambil surat yang diberikan Agana, melihat logo sekolah dan formalnya surat yang Agana berikan, Diandra langsung tahu bahwa itu surat panggilan.
“Kenapa?” nada dingin Mamanya membuat Agana ludahnya kasar. Agana jadi ragu apakah ia akan selamat malam ini dari tangan Mamanya, bahkan Agana bisa mengatkan kalau aura membunuh Mama0nya terasa sangat jelas.
“Berantem sama temen,” Jawab Agana pelan, menunduk. Hening sesaat menunggu respon Mama-nya.
“Alasannya?”
Agana hanya diam, menerawang jauh haruskah ia memberikan alasan yang sebenarnya atau tidak. Suara Mamanya sedikit melukan, membuat Agana bernafas lega walau sediikit. Agana ragu untuk mengatakan alasan sebenarnya, keterdimaannya membuat Mamanya menatapnya dengan tajam, menuntut jawaban yang sejujur – jujurnya. Agana diam, tak sedikitpun memberi jawaban.
“AGANA!” Suara teriakan Mamanya melengking, Agana gematar namun masih dalam keterdimannya.
“JAWAB AGANA!” tidak ada satupun suara yang menyahuti kecuali detik jam di dinding yang terus berjalan. Agana tahum keterdiamannya memancing amarah yang lebih besar dari Mamanya yang sudah menahan diri sedari tadi.
PLAK!
Satu tamparan kuat lolos di pipi Agana, Agana merasa nyeri dan panas di pipinya, namun nyeri di hatinya juga tak kalah sakit. Sudut bibirnya mengeluarkan sedikit darah, Agana yakin setelah ini pipinya akan membiru dan bengkak.
“Maafin kakak, Ma.” Ujar Agana melirih, tidak ada apapun jawaban dari Mamanya.
“Terserah!”
Agana mendapat lemparan surat panggilan itu dari Mamanya, meninggalkan Agana berdiri mematung di ruang tengah sendirian. Agana menunduk lama, hingga isak tangis akhirnya terdengar dari dua belah bibirnya.
“Gapapa, mama cuma marah sebentar, gapapa,iya kan?” Batin Agana.
***
Sosok itu memperhatikan pertengkaran yang terjadi antara Kakak dan Mamanya, padahal baru dua hari ia tinggalkan Kakaknya untuk menginap di rumah Papanya, sekedar melepas rindu dan menghabiskan waktu bermain lebih banyak dengan Syahada—Adik tirinya.
Disana Agana—kakaknya berdiri dengan bahu bergetar, menunduk sedalam – dalamnya. Dirinya tidak berniat untuk menghampiri kakaknya saat ini, memberikan waktu untuk Kakaknya. Dalam diam dibalik pintu, dirinya dapat mendengar suara isak tangis Agana.
“Akhirnya,” Ujarnya lega. Dari dalam tasnya, ia mengeluarkan pack dingin, hal wajib yang harus selalu ada ditasnya, padahal tidak terlalu berguna untuknya. Namun, entah mengapa dirinya merasa wajib membawa itu setiap saat dimanapun dirinya.
Sosok tersebut mendekati Agana, hingga langkahnya persis di depan Agana yang masih menunduk dan menangis. Diangkatnya wajah kakaknya yang sudah mulai membiru, pack dingin tadi ia tempelkan di wajah Agana, “Sakit?” Tanyanya, namun hanya isak tangis yang ia dengar sebagai jawaban.
“Kak,” Sosok itu memanggil dengan sendu, matanya berkaca – kaca, “Kapan berhenti?” Tanyanya dengan hela nafas pelan, “Bumi bosan, Bumi capek, Bumi nggak kuat,” lihat Kakak yang selalu dijadiin pelampiasan sama mama, Bumi pengen kakak bahagia. Sampai kapanpun, Bumi tidak akan sanggup mengatakan itu pada Agana, bukan karena gengsi ataupun dirinya yang terlalu menjujung tinggi harga dirinya. Jika demi Agana, Bumi harus merelakan kebahagiannya, Bumi akan melakukannya, hanya demi kakaknya. Namun semakin Bumi berusaha mengorbankan segala yang ia miliki untuk Agana, Bumi hanya akan melihat Agana yang semakin sakit setiap harinya, tidak tentang raganya, melainkan hati dan jiwanya.
Untuk kesekian harinya, Bumi kembali terluka, luka sebelumnya saja belum sembuh, dan kini Bumi kembali membuat luka – lukanya semakin parah, sebelum akhirnya membusuk dan menggerogotinya. Bumi menarik Agana ke dalam pelukannya, Bumi menangis dalam diam dengan Agana yang terisak di bahunya, “Mi, kakak sayang mama.”
Bumi memeluk Agana erat, membiarkan isakan Kakaknya semakin kuat. Ada gurat perih dalam hatinya yang tak bisa Bumi jelaskan. Matanya memanas seiring parau dan lirihnya suara tangis Agana. Mengapa Agana begitu egois pada dirinya, sedikit saja, Agana harus mengalahkan egonya, tentang menjadi segalnya, tentang menjadi yang paling sempurna. Bumi ingin melihat Agana apa adanya, tertawa dengan bahagia tanpa ada lagi luka. Sebelum Agana menyayangi orang lain melebih dirinya, setidaknya biarkan dirinya lebih dulu merasakan cinta yang lebih besar dari itu, jika Agana tidak dapat memberikan untuk dirinya sendiri, biarkan Bumi sebagai adiknya. Bukan dengamn terus memberik luka tanpa jeda. Namun lagi – lagi, Bumi kembali sadar, beberapa manusia terlalu kerasa kepala untuk dikasihani, dan terlalu angkuh mengenai empati dari manusia yang lain, dan Agana menjadi salah satunya. (bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: