Hati-hati! Ini 11 Alasan Kenapa Demo Bisa Ricuh
Mochammad Farisi, LL.M--
Oleh: Mochammad Farisi, LL.M
Demonstrasi adalah bagian dari kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi. Ia merupakan "ventilasi demokrasi" ketika suara rakyat tidak didengar melalui mekanisme formal. Namun, seringkali demo di Indonesia berubah wajah: dari yang seharusnya damai dan bermartabat, menjadi ricuh bahkan anarkis. Padahal, sejatinya demo adalah mekanisme koreksi sosial, bukan panggung kekerasan.
Kenapa hal ini terus berulang? Berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya, setidaknya ada sebelas sebab utama.
BACA JUGA:NasDem Nonaktifkan Sahroni -Nafa Urbach Sebagai Anggota DPR RI
Pertama, memang ada demo yang disengaja untuk menciptakan anarki. Tidak semua aksi massa murni datang dari keresahan rakyat. Ada pula yang sejak awal memang dirancang untuk membuat kekacauan.
Pola ini biasanya bisa dilihat dari provokasi terstruktur, adanya kelompok yang memicu benturan dengan aparat, hingga upaya merusak fasilitas publik agar pesan chaos lebih menonjol ketimbang substansi tuntutan.
BACA JUGA:Harga Baru BBM Malam Ini Diumumkan, Tepat Akhir Agustus 2025 BBM Turun, Ini Daftar Harganya
Kedua, ditunggangi kelompok tertentu. Ada demonstrasi yang awalnya damai, tapi kemudian ditunggangi kelompok yang punya agenda tersembunyi. Mereka tidak benar-benar memperjuangkan substansi isu, melainkan memanfaatkan momentum untuk kepentingan politik, ekonomi, bahkan kriminal. Akibatnya, wajah demokrasi jadi ternodai oleh perilaku destruktif segelintir pihak.
Ketiga, manajemen aksi yang buruk. Demo yang baik perlu manajemen massa yang tertib: penanggung jawab jelas, jalur komunikasi dengan aparat terbuka, serta ada kontrol internal. Banyak aksi ricuh karena panitia tidak mampu mengendalikan arus emosi ribuan orang. Tanpa komando yang tegas, kerumunan bisa berubah menjadi kerusuhan.
BACA JUGA:Bupati H M Syukur Merangin Peringati Global Tiger Day 2025
Keempat, fenomena FOMO dan budaya konten. Generasi digital kerap hadir bukan karena benar-benar memahami substansi tuntutan, melainkan sekadar fear of missing out (FOMO). Ada yang ikut karena "ingin viral" atau sekadar mencari konten. Ironisnya, mereka sering kali menjadi yang paling emosional dan mudah terpancing provokasi. Demonstrasi pun kehilangan esensi, berubah jadi arena tontonan.
Kelima, media sosial turut memperburuk situasi. Algoritma media sosial lebih sering mempromosikan emosi daripada data. Konten provokatif, narasi benci, dan video bentrokan lebih cepat viral dibandingkan pernyataan substansial.
BACA JUGA:Ciptakan Suasana Kondusif, Polisi dan TNI Berjaga di Rumah Eko Patrio
Keenam, lemahnya literasi demokrasi. Banyak orang memahami demo sebatas "turun ke jalan," padahal substansinya adalah menyampaikan aspirasi dengan cara bermartabat. Ketika literasi demokrasi rendah, aspirasi justru diekspresikan dengan amarah, bukan argumentasi.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:


