KECIL DI ATAS KERTAS, BESAR DI LAPANGAN: TUKS AUR KENALI DAN ANCAMAN SUNYI TERHADAP RUANG HIDUP
Ir. Martayadi Tajuddin, MM-Ist-
Bahwa proyek TUKS telah memiliki AMDAL, PKKPR, dan izin OSS bukan berarti ia telah mendapatkan mandat ekologis dan sosial. Banyak riset menunjukkan bahwa proses penyusunan AMDAL kerap menjadi formalitas, tanpa partisipasi berarti dari warga terdampak (Eko Teguh Paripurno, 2020).
Lebih jauh, menurut teori “Procedural Environmental Justice” (Schlosberg, 2007), proyek yang tidak melibatkan warga secara transparan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan bukan hanya cacat prosedural, tapi juga menciptakan ketimpangan struktural dalam distribusi risiko lingkungan.
Kasus PLTU Teluk Sepang di Bengkulu mendapat AMDAL, namun akhirnya dihentikan karena penolakan massif warga, terbukti AMDAL disusun tanpa melibatkan masyarakat pesisir yang terdampak langsung (LBH Bengkulu, 2021).
*Infrastruktur Energi atau Relokasi Masalah?*
Narasi bahwa TUKS akan menyelesaikan masalah lalu lintas angkutan batu bara hanyalah bentuk relokasi beban konflik. Debu batu bara, suara bising, limbah kimia, serta gangguan air dan udara akan tetap muncul—hanya berpindah dari jalan raya ke permukiman padat dan kawasan yang seharusnya menjadi paru-paru kota.
Teori “Urban Metabolism” (Kennedy et al., 2007) mengajarkan bahwa kota adalah sistem terbuka. Bila satu subsistem, seperti zona resapan, terganggu oleh aktivitas industrialisasi ekstraktif, maka efek domino akan menghantam sektor lain seperti kesehatan, air bersih, dan pangan lokal.
Di Muara Enim, Sumsel, warga sekitar stockpile batu bara mengalami peningkatan ISPA sebesar 41% dalam dua tahun setelah stockpile beroperasi (Yayasan PELANGI, 2020).
*Sinergi Pangan-Energi Bukan Zero-Sum Game*
Integrasi antara sektor energi dan ketahanan pangan memang penting. Namun, integrasi tidak boleh dimaknai sebagai kompetisi. Sinergi sejati hanya mungkin terwujud jika dibangun dalam kerangka keberlanjutan dan partisipasi, bukan dalam semangat saling mendahului dan saling mengorbankan.
Prinsip One Health dari WHO dan FAO menekankan bahwa kesehatan manusia, lingkungan, dan sistem pangan adalah satu kesatuan. Bila salah satunya terganggu, seluruh sistem menjadi rapuh.
*Ruang Adalah Nafas Kehidupan*
Pembangunan sejati bukan sekadar menumpuk beton dan logistik, tetapi menata masa depan dengan nurani. Setiap proyek yang menyentuh ruang hidup masyarakat harus menjawab satu pertanyaan mendasar: Apakah ia memperkuat keadilan ekologis, atau justru memperlebar jurang ketimpangan dan kerusakan?
TUKS di Aur Kenali, sekilas mungkin tampak remeh dalam angka dan hektar, namun ia mencerminkan krisis tata kelola ruang yang semakin menjauh dari prinsip keberlanjutan dan partisipasi publik. Ruang hidup bukanlah halaman kosong untuk investasi, melainkan simpul kehidupan—tempat ekosistem, identitas lokal, dan hak generasi mendatang bertaut erat.
Kita membutuhkan keberanian kolektif; untuk meninjau ulang kebijakan ruang yang eksploitatif, memperkuat transparansi dalam setiap izin, serta mengarusutamakan partisipasi warga dalam perencanaan pembangunan. Karena ruang adalah nafas kehidupan. Menjaga ruang, sejatinya adalah menjaga hak untuk hidup secara bermartabat—hari ini, esok, dan untuk selamanya. (*)
*)Pengamat Kebijakan Pembangunan Daerah , Infrastruktur, Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:


