Batanghari yang Kembali Fitri
Jhoni Imron-Foto: Istimewa-
Oleh: Jhoni Imron
Air Sungai Batanghari lebih jernih. Info yang tersiar di minggu pertama lebaran itu cukup membuat beberapa orang takjub—kalau bukan kaget.
Menyaksikan air sungai yang lebih bening dari biasanya, adalah pemandangan langka bagi sementara kita yang tinggal dekat dengan sungai kebanggaan Provinsi Jambi tersebut.
Meski menjadi sesuatu yang langka dan jarang terjadi, tak sedikit yang merespon dan memandang fenomena ini sebagai hal biasa saja: itu memang lumrah terjadi setiap hari raya.
Fakta air sungai Batanghari yang jernih ini juga menjadi bahasan di media sosial (medsos). Misalnya, diposting akun official media terkemuka seperti @jambieksprestv dan @jambiekspres, juga diinfokan akun @infodharmasraya_.
Informasi dari tiga akun IG tersebut, setidaknya mewakili point of view dari dua provinsi bertetangga dekat: Jambi dan Sumatera Barat. Provinsi pertama merupakan wilayah yang paling banyak dilewati Sungai Batanghari, dan yang disebutkan terakhir adalah salah satu daerah huluan yang mengairi sungai sepanjang kurang lebih 800 km tersebut.
Informasi yang berasal dari kedua wilayah menyebutkan bahwa air sungai Batanghari yang sebelumnya coklat pekat, tetiba menjadi lebih jernih per tanggal 1 April 2025, atau paling tidak dalam rentang waktu satu sampai dua hari selama hari raya Idul Fitri tahun ini (1446 H).
Kondisi air yang lebih bening di daerah Kota Jambi sebagai wilayah hilir, merupakan cerminan bersihnya air di daerah hulu seperti di Dharmasraya, Sumatera Barat.
Fenomena serupa juga terjadi di beberapa sungai besar yang merupakan anak Sungai Batanghari seperti Batang Tabir, Batang Merangin dan Batang Asai, yang dalam amatan penulis, airnya cukup jernih di momen lebaran. Anak-anak sungai tersebut cukup berkontribusi pada tingkat pencemaran dan kekeruhan air Sungai Batanghari.
Dulu Jernih, Sekarang Tak Layak Konsumsi
Dari cerita orang-orang tua dulu yang hidupnya sangat dekat dengan sungai, air Sungai Batanghari cukup jernih hingga era 70–80-an. Bahkan, ada yang mengatakan, waktu itu air sungai Batanghari bisa langsung diminum.
Selain airnya yang layak konsumsi, apalagi untuk mandi dan mencuci, di masa-masa itu biota air dan jenis ikan yang sekarang langka seperti Ikan Baung dan Belida, masih tersedia banyak dan cukup mudah didapatkan.
Air diperkirakan mulai keruh sejak 1990-an. Penyebab utamanya adalah aktivitas manusia yang mulai tidak terkendali dan tidak bijak dalam hubungannya dengan sungai dan anak-anak sungai yang bermuara ke Batanghari.
Aktivitas ekonomi yang cenderung merusak menimbulkan tekanan terhadap sungai, melampaui daya dukung dan daya tampungnya, terjadi di daerah hulu, tengah, maupun hilir. Mulai dari Kabupaten Solok Selatan, Solok dan Dharmasraya di Sumatera Barat, juga daerah huluan seperti Kabupaten Kerinci, Kabupaten Merangin dan Sarolangun, Kabupaten Bungo, Tebo, sampai Kabupaten Batanghari, Muaro Jambi, Kota Jambi, dan Tanjung Jabung Timur di Provinsi Jambi.
Kekeruhan air sungai Batanghari disinyalir terjadi akibat banyak faktor, seperti alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan monokultur.
Tekanan akibat kegiatan pertambangan dan aktivitas industri yang melepas limbahnya tanpa pengolahan yang memadai masuk ke sungai-sungai yang bermuara di Batanghari.
Pencemaran akibat residu bahan kimia pertanian dan limbah domestik yang masuk ke sungai. Selain itu, makin maraknya aktivitas penambangan emas tanpa izin/ilegal (PETI) dan galian C, yang mencemari sungai dan menyebabkan terjadinya sedimentasi parah, serta merusak dan mengubah topografi sungai.
Mari kita lihat status kualitas air sungai yang diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Bahwa sejak 2007 hingga 2016 air Sungai Batanghari tidak pernah naik kelas secara kualitas.
Batanghari disebut tercemar sedang hingga berat (Kelas II). Kemudian, data Indeks Kualitas Air (IKA) yang dipublikasi oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Jambi, juga mengetengahkan fakta yang cukup membuat miris.
Dari data yang bisa diakses daring, sejak 2018 hingga 2024 air Sungai Batanghari juga semakin “tidak berkualitas”, tergambar pada skor IKA yang mengalami tren penurunan. Demikian keruhnya kondisi sungai Batanghari.
Padahal, sungai yang dulu jadi kebanggaan warganya itu sudah banyak memberikan jasa lingkungan, dan tentu saja memiliki potensi ekowisata yang berprospek bagus jika dikelola dengan baik.
Jasa Lingkungan, Jaga Lingkungan
Sungai Batanghari telah banyak berkontribusi positif bagi masyarakat Jambi (dan sebagian Sumatera Barat), sejak dulu. Betapa banyak jasa lingkungan dari Sungai Batanghari yang kita nikmati, dan tidak pernah kita hitung berapa keuntungan yang kita dapat.
Air yang kita minum dan gunakan untuk berbagai keperluan, berbagai jenis ikan yang kita konsumsi dan sumber daya di dalamnya yang kita manfaatkan, semua adalah jasa lingkungan yang disediakan Sungai Batanghari secara cuma-cuma.
Dan masih banyak lagi. Namun, yang kita lakukan, tidak sedikit sumber daya yang kita ambil diikuti dengan tindakan dan perlakuan tidak bijak yang membuat kerugian dan berdampak negatif pada keberlanjutan sungai. Padahal, kelestarian sungai Batanghari pada akhirnya justru akan kembali dalam bentuk manfaat positif bagi manusia.
Mungkin memang kita perlu banyak belajar pada bagaimana nenek moyang kita dahulu memperlakukan Sungai Batanghari. Bagaimana kedekatan hubungan para orang tua dulu dengan sungai bisa terlihat dalam seloko adat, seperti berikut:
“Negeri aman padi menjadi, Air jernih ikannyo jinak, Rumput mudo kerbaunyo gemuk, Turun ke sungai cenetik keno, Naik ke darat perangkap berisi.”
Seloko tersebut menggambarkan harapan dan doa agar diberikan kebahagiaan dan keselamatan negeri. “Air jernih ikannyo jinak” mengacu kondisi sungai dan alam yang terjaga, sebagai cerminan keselamatan dan kebahagiaan bagi masyarakatnya. Seloko ini mengandung nasihat, petuah, dan pesan yang memiliki nilai moral dan etika lingkungan, agar kita senantiasa bisa menjaga keserasian hidup dengan alam.
Namun, dari pengalaman bagaimana cara berinteraksi dan memperlakukan sungai Batanghari saat ini, tampaknya kita tidak benar-benar berniat membangun hubungan yang baik dan positif. Makanya, kita harus segera sadar akan kekeliruan itu.
Berbagai aktivitas merusak dan eksploitasi sungai yang hanya mementingkan keuntungan ekonomi segelintir orang tanpa mempertimbangkan keberlanjutan, sudah selayaknya dikaji ulang. Kita berharap kesadaran itu muncul sebelum semua kerusakan terlanjur parah. Kita tentu tidak ingin ada penyesalan di akhir, seperti pepatah bijak yang dikutip dari Eric Weiner. Kita tidak harus menunggu "Ketika pohon terakhir ditebang, Ketika sungai terakhir dikosongkan, ketika ikan terakhir ditangkap”, baru menyadari bahwa manusia tidak bisa memakan uang.
Refleksi di Penghujung Syawal
Fenomena air sungai yang lebih jernih saat lebaran telah menunjukkan bukti nyata, bahwa kita tidak harus menghabiskan waktu berpuluh-puluh tahun untuk melakukan rehabilitasi. Tidak mesti dilakukan melalui proyek-proyek berdana besar dengan skenario yang rumit—yang tak jarang melahirkan masalah baru lainnya.
Lebaran tahun ini, kita belajar banyak dari begitu mudahnya Batanghari kembali ”fitri” (bersih). Air Batanghari bisa lebih jernih, sungai dengan mudahnya kembali pulih, hanya dengan mengurangi atau menghentikan tekanan berbagai aktivitas yang membebani melebihi daya tampung dan daya dukungnya.
Momen lebaran kali ini bisa menjadi refleksi bersama bagi kita, untuk semakin bijak memperlakukan alam dan menjaga lingkungan. Termasuk membangun hubungan positif dengan sungai Batanghari, berikut sejumlah anak sungainya. Di penghujung bulan Syawal ini, semoga masih tersisa kesempatan untuk semua kembali fitri.
Memulai kembali hubungan baik antara sesama manusia, dan antara kita dengan alam. Mari sudahi saja membuat Batanghari lebih jernih hanya satu dua hari di momen lebaran, lalu membuat tekanan, beban dan kerusakan pada 360-an hari lainnya.
Akhirnya, bersediakah kita membuat (baca: membiarkan) Sungai Batanghari kembali ”fitri”? Mari kita tanyakan dengan jernih ke dalam hati. Barangkali kita punya jawaban yang sama. (*)
Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Lingkungan Universitas Jambi. Lebih lanjut tentang penulis lihat www.catatanjhoni.com.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:


