Anak Anak Nipah

Selasa 28-10-2025,12:15 WIB
Editor : Fauzi Yosi Esiska

Tidak ada buku iqra'. Sistem mengeja yang dipakai. Untuk tahap awal, aku dan anak murid Fuang yang lainnya memakai Alqur'an kecil, maksudnya Juz Amma. Sambil bersila menghadap Fuang yang sedang menenun dengan alat Tennung Walida, alat menenun kain yang terbuat dari kayu.

 

"Alefu' diase'na A, makkeda A" Aku mencoba mengikuti cara ejaan Bugis yang dipakai. Maksudnya adalah Alif berbaris atas berbunyi A.

 

Suaraku mengeja ikut tertenun diantara benang warna warni yang didorong keras oleh tekanan kayu berat dan licin sepanjang semeter setengah, menciptakan bunyi taktek taktek. Fuang sedang membuat Lipa' Sabbe, sebutan untuk kain sarung sutera bagi masyarakat Bugis.

 

"Ba diawana, makkeda Bi" Maksudnya Ba berbaris bawah bunyinya Bi, aku melanjutkan mengeja huruf huruf-huruf hijaiyah.

 

Fuang adalah seorang Qoriah di masa mudanya, sekaligus sebagai relawan yang menyiapkan makanan untuk para tentara yang bergerilya ke dalam hutan, melawan penjajah Nippon saat itu. Bahkan Ia fasih bercakap-cakap dalam bahasa penjajah, sesekali menyanyikan lagu dalam bahasa Negeri Sakura, dengan mimik yang ceria, meski aku sama sakekali tidak faham artinya.

 

"Tak tek... Tak tek... Takteekkk... " bunyi kayu walida terakhir sore itu. Fuang berhenti karena sudah menjelang waktu shalat ashar. Selembar kain sutera berwarna ungu dengan motif bunga emas dan daun berserta tangkai kecil terlihat anggun. Kainnya belum selesai, baru separuh. Ia berdiri dari duduk silanya, menyingsingkan lengan baju, menuju derum hitam penampung air hujan di sebelah kanan rumah panggung yang terbuat dari kayu.

 

 

“Idi' ga, Malluru? " Seutas suara serak dan lembut menepuk pundak ku dari belakang, suara Pak Imam. Dia sangat hafal jalan pergi dari rumahnya ke Masjid Al Ikhlas, mesjid kami. Tongkat kayu dari pohon jambu biji, selalu setia di tangan kanan, membantu nya berjalan di jalan desa, jalan cor dengan bebatuan koral putih sebesar kepalan orang dewasa. Lebar jalannya hanya satu meter. Selebihnya tanah di kanan dan kiri.

 

”Iyyek, Fuang" Aku menjawab pertanyaan Pak Imam. Iyyek adalah bahasa halus dalam bahasa Bugis yang berarti iya. Bahasa pasarannya adalah Iyyo, biasa dipakai jika lawan berbicara sepantaran.

Kategori :