”Woy..!!! Ciya ko nonnok !!! " Suara seorang tua tua dari kejauhan berjalan ke arah kami sambil menenteng pelepah kelapa. Ungkapan dalam bahasa Bugis yang berarti, segera turun kalo tidak mau nanti kena hukum.
“gawat, Mal, yang punya kebun marah" Ucap ridwan mulai panik
Aku melompat dari dahan ke tiga, dan buru-buru membantu ridwan memungut buah jambu sebisa yang dapat. Sepatu karet tapi terlihat seperti sepatu bola tak sempat lagi aku pasang, ransel merk alpina warna hitam ku raih dengan tangan kanan dan mengambil langkah seribu berdua Ridwan.
Kami tidak berhenti berlari, hinga tal sadar aku lewati rumahku sendiri, bahkan melewati gudang dan pabrik penggilingan padi, melewati rumah jembatan yang mana ada Pak Leman menunggu untuk disetorkan satu tembang dangdut, sampai di depan rumah Pak Siga, baru lah kami berhenti dengan baju seragam merah putih yang kuyup, ngos-ngosan, memegang lutut yang gemetaran.
”Mampir dulu minum, sini" Tangan Pak Siga melambai menawarkan air putih. Tak pikir lama lami pun menaiki tangga kayu rumah Pak Siga. Dua gelas air ku teguk habis. Tuan rumah kembali ke dalam mengambil sesuatu, kami saling pandang.
“Makan di sini saja jambunya" Pak siga tersenyum menggoda seraya memberikan piring plastik hijau kecil berisi kecap manis dicampur garam kasar dan potongan-potongan cabe rawit. Sepertinya dia tahu isi tas kami. Memang, ransel tidak sempurna tertutup, karena panik. Dan mungkin ada yang tercecer di jalan.
Ridwan membuka tas, mengeluarkan 6 jambu bol merah. Mencuci dan membelah jadi empat bagian untuk setiap buahnya. Tidak ada suara yang terucap, kami menikmati potongan jambu bol merah dicocol kecap campur garam dan rawit. Aku memandangi ridwan sambil tertawa, ”hampir saja tadi kena sebat dahan kelapo“. Dia tertawa sambil mengunyah, sebagian gigi tertutup jambu.
"Itu buku apa, Pak? " Tanya ku kepada Pak Siga. ”oh, itu buku catatan saja. Mau lihat? " Dia menawarkan "Bolehlah Pak" jawabku.