“mari kita ke Masjid, sebentar lagi maghrib, kita shalat bersama" Ujar Pak Maje sambil tersenyum. Senyuman ikhlas seorang lelaki yang usianya telah termakan lebih dari setengah abad.
Masjid Al Ikhas sebenarnya lebih tepat disebut Musholla atau Langgar karena selain ukurannya yang kecil, juga tidak dipakai sebagai tempat shalat jum'at. Bangunannya keseluruhan kayu, dinding papan berwarna biru laut sengaja dipasang berjarak satu inchi. Terpal biru pun dipasang di bawah atap seng untuk mengurangi hawa panas pada siang hari. Empat kayu balok ukuran 12 cm x 12 cm menjadi tiang penyangga tengah.
”Allahuakbar Allahuakbar, Laa ilaaha illAllah" sahutku mengumandangkan adzan. Khidmat tiada tara mencium bumi namun melangitkan doa.
Sekolah dasar ku berjarak lebih kurang 30 menit berjalan kaki. Aku dan teman-teman terbiasa berjalan tanpa alasan kaki, entah kenapa. Jika menjumpai jalan yang menampung air hujan bercampur lumpur, dengan sengaja aku lewati dan membuat bunyi seperti dayung membelah air dengan cepat.
Jalanan yang dilalui sebenarnya adalah kebun kelapa hybrida yang beberapa 1 meter lebih lebarnya di waqaf kan untuk akses jalan antar dusun. Pemandangan yang tidak pernah absen sepanjang jalan tentu pepohonan kelapa yang sesekali diselingi beberapa pohon pisang batu, pohon pinang, atau pun jambu biji dan jambu bol yang berwarna merah berair manis.
“Malluru, kau saja yang panjat, aku takut digigit Gerenggo! ” Ridwan berkata sambil menjaga jarak dari pohon jambu bol milik Salah seorang warga yang ditanam dan berbuah rimbun tidak jauh dari jalan desa. Ridwan takut dikeroyok semut merah yang memang suka di pohon ini karenadedaunannya yang lebar, sangat bagus dibuat sarang semut merah.
Tanpa banyak bantah, aku pun memanjat dahan demi dahan untuk menggapai buah-buah yang ranum berwarna merah tua. Aku mulai merasakan cubitan cubitan kecil di betis dan lengan. Semakin lama semakin ramai hingga sampai ke pundak dan tengkuk. Dahan yang ramai dengan warna merah melambai-lambai, membuatku menahan perih gigitan semut merah. Ku petik sebanyak yang ku bisa. Cubitan semakin nakal sampai menjelajah jauh ke dalam celana. “Dag tahan lagi aku, Cukuplah itu ya, pungutlah" Teriak ku dari atas sambil menggosok betis dan lengan yang penuh dengan Gerenggo. Bau khas semut merah mencucuk hidung ketika lima ekor ku pijit di tangan.