“Hujan di Februari”
ilustrasi--
“Jadi manusia selayaknya, biar semesta beri hidup sepantasnya. Yang dukanya ada, tapi bahagianya juga nggak kerasa sia – sia.”
-Jara
>>>***<<<
Dalam hidup itu nggak ada yang namanya gratis, jadi Jara tidak pernah meminta sesuatu yang muluk – muluk terjadi pada hidupnya, sebab ia tahu ia tidak akan mampu membayar harganya. Dulu, enam tahun lalu, Jara masih remaja, yang masa mudanya harusnya penuh dengan coba – coba, mencoba apapun yang dapat menuntaskan rasa penasarannya. Bagi remaja perempuan sepertinya, ia akan berusaha membuat dirinya tampil secantik mungkin dan mencuri seluruh perhatian teman kelasnya, atau menggilai penyanyi – penyanyi tanah air dan model – model tampan di televisi. Jara tidak lugu, hanya saja waktu yang ia miliki terlalu pas – pasan, antara mempertahankan hidup dan meconca jadi remaja biasanya.
“Gayaan banget si Dara, kelakuan buruk kok yo bangga di post di sosmed.” Andin—sahabatnya tidak akan habis mengomentari perihal apa saja yang lewat di instagramnya itu. Jara yang mendengarkannya hanya bisa geleng – geleng kepala, berkali – kali ia ingatkan Andin bahwa mengurusi hidup orang lain itu tidak berguna, dan berpeluang menjadi penyakit hati, Jara hanya mendapati anggukan yang kemudian diabaikan.
Jara melempar pakaian laundry yang harus digosok itu tepat di wajah Andin, “Gosok tuh, jangan sibuk liat hape-mu aja, itu nggak terbeli kuotanya kalo kamu diam aja!”
Andin memutar bola matanya, mendengus, kemudian bangkit menghampiri Jara yang sibuk dengan keranjang pakaian dan setrika panasnya, akhir – akhir insetitas hujan cenderung sering, tidak heran sebab sudah memasuki bulan februari. Jadi pakaian yang harus mereka kerjakan kali ini juga luar biasa bertempuk dan banyak. “Kapan ya kita jadi orang kaya?” Tanya Andin, rautnya sedih dengan wajah nelangsa sembari memilah milih pakaian di tangannya.
“Kapan – kapan.” Jawab Jara seadanya, “Lagian kapan mau kaya? Kalo baru kerja dikit aja, ngeluh capek, terus scroll sosmed sampai lupa waktu!” sekaligus menyindir Andin yang kadang – kadang sifat keras kepalanya itu jadi terasa menjengkalkan bagi Jara.
“Tapi tuh Ra, dimana – mana juga mana ada remaja kayak kita kerja begini. Kita tuh harusnya belajar dengan baik, bisa beli ini itu, nggak harus yang mahal – mahal, nggak harus yang branded, yang biasa – biasa aja. Tapi tuh kenapa rasanya susah sekali, beli kuota hape aja capeknya minta ampun harus setrika ini baju – baju nggak habis – habis setiap minggunya.”
Jara membiarkan tawanya lepas mendengarkan keluhan sahabatnya itu. “Hidup ini berjalan sesuai harga yang mampu kita bayar, Din. Makanya tuh ada isitilah nggak ada yang gratis di dunia ini. Sekarang mampu bayarnya, ya cuma yang begini, tapi ini luar biasa beruntung kok, Din. Masih ada hape yang bisa dimainin, masih bisa sekolah dengan layak. Yang nggak bisa sekolah, bahkan yang sampai nggak makan itu gimana?”
Andin terdiam, mencebik sebab tak dapat lagi membalas perkataan Jara, “Ya, Ya, Ya terserah lo, gue mah tetap mau jadi kaya raya!”
Keduanya kembali sibuk dengan keranjang pakaian masing – masing, aroma pengharum pakaian menguar di setiap sisi ruang, aroma mawar yang seringkali ia cium dulu, nyaris tidak ada perbedaan dari dua wangi di pikirannya dan yang ia aromai kini. Aroma yang terasa menyenangkan kala ia berlari menjumpai plastik – plastik pakaian yang dibawa oleh ibunya, kadang kala aroma itu tercampur dengan aroma makanan yang tertenteng di sisi lain lengan ibunya, Jara masih ingat betul bagaimana ia berjalan dengan gaun ala princess dan sepatu kulit lembut hadiah ulang tahunnya. Hidup yang diimpikan oleh Andin, yang dicaci maki mati – matian oleh Jara.
“Din, hidup kaya juga nggak menjamin bahagia.” Bisik Jara, sangat pelan, dengan titik air mati yang ia sembunyikan.
***
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: