“Hujan di Februari”

“Hujan di Februari”

ilustrasi--

Mungkin Jara adalah manusia paling beruntung, sebab dia bisa memandangi kehidupan sosial dengan dua status yang ia sudah ia rasakan, status kalangan ke atas, dan status kalangan bawah yang nyaris buat dirinya terjebak pahitnya kehidupan, untungnya ibunya masih wanita pekerja keras yang buat ia masih tinggal di rumah sederhana, sangat layak ditempati walau masih banyak kurangnya di berbagai sisi. Jara masih bersekolah, walau bukan lagi di sekolah elite dengan seragam khusus buatan penjahit dan desainer tenama. Walau bukan dengan buku – buku mahal yang rasnaya dulu terasa biasa saja, namun kini sunggu terasa mewah.

“Jara, masih bisa tinggal sama Papa, kalo Jara mau. Mama nggak akan larang.” Jara memang tergolong muda di umurnya yang enam tahun, tapi setahun lagi ia akan tergolong menjadi dewasa. Ia tahu pilihannya dan ia tahu konsekuensi keputusannya. Mungkin kasur kapuk tipis keras di kamarnya kini tak seempuk kasur busa di kamarnya dahulu, tapi Jara yakini nyamannya masih sama, masih hantarkan Jara ke tidur yang nyenyak setiap malamnya.

“Jara sama mama aja,” Jara tahu, mamanya luar biasa putus asa, tinggalkan segala hidup mewah sebab Papanya yang tawarkan keputusan gila, bilangnya ia jatuh cinta, pada wanita yang tak sengaja ia temui dan kepalang basah hingga adanya sosok mungil berjenis kelamin laki – laki dengan seragam biru khas taman kanak – kanak datang kerumah. Memanggil sosok yang Jara panggil Papa juga dengan sebutan yang sama. 

Jara masih belum mengerti, kalo dewasa itu nggak terlihat seindah yang ia bayangkan. Dewasa itu penuh bencana dan juga kecewa. Diantara Mama dan Papanya yang bersiteru melemparkan kata – kata kasar satu sama lain, Jara tahu sosok mungil berseragam biru itu tidak mengerti, membuat gumpalan bening berkaca – kaca dimatanya. Jara hanya merangkul yang tidak langsung adalah adik tirinya itu sebentar, kemudian membawa kedalam kamarnya di lantai dua, memberikan boneka beruang yang dibelikan Papa saat dinas ke luar kota.

“Mau coklat?” Jara bertanya ramah, mengusap pipi gembil yang memerah karena menangis itu. Adiknya itu mengangguk lucu dan memakan coklat pemberiannya berantakan. 

“Adiknya ya?” Batin Jara. 

Jara mengambil tisu basa di laci lemarinya, mengusap pipi dan mulut adiknya dengan lembut, tersenyum geli liat bocah berseragam biru itu menatap linglung juga ragu, “pasti kita bakal jadi adik kakak paling fenomenal kalo kita bisa hidup yang sama – sama, kakak perempuan yang cantik dan adik laki – laki yang tampan. Tapi….” Jara menggantungkan kalimatnya, matanya kosong, “Aku nggak bisa bohong, kalo aku benci sama kamu. Maaf ya, adik.” Damainya Jara malam itu, luka luar biasa yang ia dapati pertama, soal manusia yang harus mengerti arti kecewa. Hari itu hujan tiba tiba mengguyur dengan suara halilintar keras, kilatnya membuat, sosok mungil anak laki – laki itu lari ke dekapan Jara. Menangis sembari berbisik ketakutan pada kilat – kilat yang menyambar di jendela. Jara juga takut tapi bukan pada kilat dan suara halilintar itu, melainkan ia takut untuk menerima esok, ia takut untuk hari yang pasti tak akan pernah sama lagi sejak hari ini. (bersambung)


Ari Hardianah Harahap--

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: