>

Bagian 7: “Disayang Sama Anggara Rakandra”

Bagian 7: “Disayang Sama Anggara Rakandra”

ilustrasi--

“Sekali – kali kita butuh fase jadi manusia serampangan yang bicara soal isi hati kelewat jujur, perihal suka yang bilang suka, perihal benci yang bilang benci, biar kita nggak kecewa cuma karena kata – kata yang nggak pernah tersampaikan dengan baik. Hidup kita ini kelewat sia – sia terjerumus penyesalan perihal bertahan ungkap isi hati sebab terjebak norma dan sopan”

-Raka, nasehat diatas berlaku sesekali bukan berkali – kali.

>>>***<<<

“Raka…” Ditengah keduanya yang berkutat dengan game masing – masing, Arsena mengintrupsi dengan wajah linglung, berkali – kali ia kulum bibirnya, ragu antara harus bertanya atau menyimpan rapat – rapat pertanyaannya ini sendirian. Raka melirik sedikit, jari – jarinya masih sibuk menekan tuts – tuts di komputernya, mematikan musuh yang tampak menyebalkan di layar komputernya.

“Ini harus gue tanya apa nggak ya?” Batin Arsena. Perihal ujian yang bawa tentang gelar sarjananya saja, Arsena tidak pernah sepusing dan segalau ini. Sebab, ia yang terbiasa serempangan dan terang – terangan soal isi hatinya, kalo tidak suka ya tidak suka, kalo suka ya suka, terutama bersama Raka yang rasa – rasanya pasti sudah hafal tabiatnya luar kepala. Raka mem-pause gamenya sejenak, memperhatikan Arsena yang menumpu kepalanya dengan satu tangan, tatapan kosong yang sudah lama tak Raka jumpai. Terkahir kali Raka temui Arsena yang seperti ini, Arsena yang harus mengikhlaskan kematian ikan cupangnya yang baru ia rawat tiga hari.

“Ka, gue jahat banget pasti jadi manusia… masa dia baru tiga hari gue bawa rumah, udah mati aja. Ini dia yang terlalu lemah nggak biasa hidup di akuarium mewah apa gue yang salah?” Raka masih ingat bagaimana wajah nelangsa itu saat ia dengan randomnya mengubur ikan cupang itu di jam setengah dua belas malam. Arsena yang biasa ia temui dengan banyaknya masalah yang tigaperempatnya diselesaikan dengan baku hantam, malam itu menangis sebab seekor ikan cupang lima ribu yang ia beli di SPBU. Lucunya lagi, ditengah duka kehilangan ikan itu, Arsena masih sempat bela diri bilang ikannya yang lemah tak bisa hidup dalam akurium mewah, padahal Arsena sendiri hanya beri baskom plastik hijau yang berisi kerikil dan beri daun – daun yang ia cabut di halaman rumah orang. Dari segimananya akuarium itu mewah, bahkan standar akuarium saja tidak dapat dikatakan bahwa yang Arsena beri itu akuarium.

Raka menggelangkan kepalanya kuat, akhir – akhir ini isi pikirannya tidak sehat, perihal Arsena saja benaknya sudah berkelana ke mana – mana. “Ini muka ngenes banget elah, gaya lo kayak udah pasangan yang ditinggal mati aja,” Ujar Raka meraup wajah Arsena dalam telapak tangannya.

“Raka rese lu mah! Tangan bau terasi juga!” Arsena menghempaskan tangan Raka dari wajahnya, menatap Raka dengan delikan sebal. Sedang sang empu yang dituju ditengah mengendusi telapak tangannya.

“Mana yang bau terasi, wangi ini bau downy! Gue baru selesai nyuci juga!” Protes Raka, Arsena tidak lagi menaggapi, ia hanya mencebik. Benar sih, tangan Raka wangi, hanya saja Arsena gengsi mengakui sebab sudah lebih dulu mengatai. Arsena kembali dala mode galaunya setelah berdebat sedikit dengan Raka, “Ka…” Panggil Arsena tanpa menatap Raka.

“Hmm…” Jawab Raka.

“Raka…” Panggil Arsena lagi.

“Iya?”

“Raka…”

“Apa Arsenaku sayang, cintaku?” Tanya Raka sebal menyahuti Arsena. Arsena terduduk lemas di hadapan raka, bahunya melorot letih, matanya sangat nelangsa dengan raut wajah muram. Raka yang melihatnya, seandainya ia tidak mengenal Arsena, mungkin sudah mengira Arsena itu tengah banyak pikiran sebab dikejar hutang. Lihat saja rambutnya yang compang – camping, bekas keringat mengering di wajahnya dan pakaian yang jauh dari kata layak, kumal dan sangat berantakan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: