>

Bagian 2: “Generasi Strawberry”

Bagian 2: “Generasi Strawberry”

Ari Hardianah Harahap--

“Kalo hari senin sampai jumat pulangnya sore, soalnya kan sekolah sekarang full day, sabtu sama minggu libur.” Balas Sara. “Emang kenapa kak?” tanyanya lagi.

Sarenja mengode Sara untuk mengamati sekitarnya, dan barulah Sara paham, bahwa mereka dikelilingi oleh berkelompok anak SMA yang tengah membolos, tengah bergosip ria dan bermain game bersama. Melihatnya Emosi Sara membludak, ia perempuan yang menjujung tinggi disiplin dan pendidikan, prinsip yang tak akan pernah berubah darinya. “disekolahin itu belajar yang bener, nggak dituntut harus rangking, yang penting jangan malu – maluin di sekolah, jangan sampe kakak dipanggil cuma kerena bolos, dan tingkah yang nggak berguna. Kalo iya, kakak yang kamu berhentiin sekolah.” Itu nasehat Sara pada Sadam setiap ada kesempatan, toh pendidikan itu jalan yang tepat untuk menuntun dunia. Tidak perlu jadi manusia yang paling cerdas, cukup dengan pendidikan membantu untuk membuat kita memandang berbagai hal dengan pemikiran yang luas. Sekarang jangankan jadi manusia cerdas, tingkah melanggar saja sudah menujukkan bibit – bibit sumber daya tidak layak tempur.

Sara menggeram kesal, “Kalo aja itu Sadam, udah gue habisin tu bocah!” Ia menusuk daging di hadapannya dengan brutal menggunkan garpu, menggambarkan ledakan emosi yang kuat didalam dirinya, membuat Sarenja meringis pelan dalam hati.

“Lo tahu nggak sih, gue itu tertekan setiap pagi di rumah. Udah disuruh bangun pagi, terus orangtua gue maksa untuk beresin kamar gue setiap harinya, dan itu buat gue capek dan nggak mood ke sekolah. Padahal gue bakal beresin tapi nggak saat itu juga, gue kesel orangtua gue nggak ngerti tentang mental healt. Gue frustasi.” Obrolan dua remaja perempuan yang duduk di belakang mereka, melipir memasuki indra pendengaran Sara dan Sarenja.

“Iya orangtua gue juga sama, gue selalu dikekang sama aturan orangtua gue yang strict banget tau nggak. Nggak boleh pulang lewat dari jam 8 lah, harus pake pakaian yang begono beginilah, padahal kan umur gua udah lebih dari cukup buat mutusin gimana hidup gua. Kalo gua bahasa tentang mental healt aja mereka pasti nggak terima, gue depresi berat tau nggak sih, gue butuh kebebasan, rumah udah berasa nggak jadi rumah buat gue.” Remaja perempuan lainnya merespon tak kalah tertekannya. 

Alarm darurat segera berbunyi keras di kepala Sarenja, bersiap menahan Sara yang sudah berang dengan wajah memerah, ia segera menarik Sara mati – matian sebelum menatar dua remaja dengan obrolan tidak masuk akal itu. Sara jadi mengingat bacaanya tentang generasi strawberry benar adanya, muda mudi jaman sekarang, dari luar saja penampilan mereka tidak ternilai harganya, indah tiada tara persis strawberry, cantik. Tetapi, digenggam sedikit saja sudah hancur melebur, Sara sudah gatal untuk menatar dua remaja perempuan itu, dunia jauh lebih keras dari itu, dan apanya yang tidak mengerti mental health issue hah?!

Sarenja menarik paksa Sara yang sudah kelewat emosi untuk keluar kafe, “Lepas kak! Itu dua orang harus dikasih pengetian dulu baru paham!” Emosi Sara memberontak.

“HOALAH JANCOK!! HEH SEBELUM KAU KOMEN TENTANG ORANGTUA KAU ITU, KAU INTROPEKSI DULU DIRI KAU. MAU JADI APA KAU DISURUH BERESIN KASURMU SENDIRI AJA BAWA BAWA MENTAL HEALTH HAH?! KAU JUGA, APA YANG SALAH MEMANG?! NANTI KALO DAPAT PELECeHAN NANGIS – NANGIS KAU, ORANGTUA KAU TU SURUH JAGA DIRI!!! APALAGI KAU PEREMPUAN, MANUSIA INI RAMBUT AJA SAMA HITAM, OTAK SAMA HATI MANA ADA YANG TAU?!”

Sara tersenyum senang, berterimakasih dalam hati pada bapak – bapak yang berani untuk mengingatkan kedua remaja itu, kumisnya naik turun, wajahnya memerah menahan marah. Sara yakin pria paruh baya itu tidak bermaksud memaki, hanya saja logat kerasnya mungkin sedikit disalapahami nanti, biar bagaimanapun Sara lega mendengarnya.

Sarenja memukul bahu Sara kuat, “Jangan lo pikir gue nggak tau ya kalo lo mau marah – marah juga tadi!” Kesal Sarenja, untung saja ia sudah membayar makanannya saat menarik Sara keluar.

“Ya jelaslah, kalo gitu mah mental health tai kucing!” Kesal Sara, “Dijagain dibilang strict parents, dibiarin dan ga dipeduliin di bilang broken. Asu! Mental health bukannya malah bikin waras yang ada masalah sepele digedein!” Sara menggebu – gebu melampiasakan emosinya.

“Belum tau sih sakitnya nggak ada orang tua! Emosi gua!”

Sarenja tidak punya pilihan lain, selain menarik Sara untuk kembali ke kantor dengan cepat, sebelum gadis muda itu me-reog dipinggir jalan hanya karena kekesalannya, “Kalo gini, gue yang malu, Sa!” Batin Sarenja nelangsa. (*)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: