Bagian 2: “Generasi Strawberry”

Bagian 2: “Generasi Strawberry”

Ari Hardianah Harahap--

“generasi muda itu butuh edukasi, jadi perbanyak baca buku sesuai materi, nggak usah wara wiri, kalo ilmu masih secetek kali, dimohon tau diri dan sadar lebih dini”

-Sara, Manusia Sensi Gampang Emosi

>>>***<<<

Sara menyanggul rambutnya asal, apapun bentuknya asal tidak membuatnya gerah maka tidak masalah. Tampilan klimisnya tadi pagi tidak bertahan lama, siangnya ia sudah berhantam dengan realita, dimana penampilan bukan segalanya. Sara meregangkan otot pinggangnya, melakukan stretching berulang kali setelah seharian duduk dan berhadapan dengan komputer yang membuat matanya panas. Ia menguap, perutnya keroncongan, wajar saja mengingat ia jarang sarapan setiap pagi, lagipula sudah waktunya makan siang. Sara bekerja sebagai editor di divisi Redaksi, seharian ini ia harus memaksakan otaknya menyunting artikel tentang mental healt issue yang menjadi trending topik akhir – akhir ini. Sara mengamati sekitarnya, masing – masing tim redaksi masih sibuk dengan pekerjaan mereka, tak jauh dari kubikel kerjanya, teman sejawatnya melambaikan tangan riang, menenteng uang pecahan seratus ribu dua lembar, membuat mata Sara bercahaya penuh bintang. Sara segera melipir dengan cepat menuju pintu keluar.

“Widiw…tumben nih kakak kita?” tanya Sara menyenggol lengan Sarenja, perempuan beranak satu yang menjadi supervisor tim marketing divisi pemasaran. Keduanya dekat sebab kebetulan yang unik, Sarenja kehilangan anaknya saat bermain di taman, yang tidak sengaja di temukan dan dijaga oleh Sadam seharian sebelum Sarenja berhasil menemukan anaknya.

“Gua baru ketemu duda, tampan gila, udah kayak So Jong Ki. Oppa – oppa korea versi lokal.” Sarenja bercerita dengan semangat layaknya anak muda, umurnya boleh tua, tapi jangan tanya tentang jiwanya, anak muda saat ini saja kalah jika dibandingkan.

“Widih, hilal nikah tahun ini kak,” Balas Sara semangat, sebab Sara turut menjadi saksi lika liku drama percintaan Sarenja. “Ya nggaklah!” Balas Sarenja. Sara mengernyitkan dahinya bingung.

“terus kenapa semangat kak?!” tanya Sara dengan kebingungannya yang dibalas Sarenja dengan senyum ceria. “Soalnya dia keburu nggak mau sama gue, tenang akhirnya hidup gua!” Ujar Sarenja dengan senyum ceria, aura penuh dengan semangat empat lima yang dibalas gelengan kepala oleh Sara. Keduanya berbagi cerita sembari berjalan, menuju kafe yang tak jauh dari kantor mereka.

“Gue mau melakukan perayaan, gue bebas dari tuh duda.” Ucap Sarenja.

“Gimana sih kak? Di deketin ngejauh mulu, nggak dideketin lo mencari kak, heran gua lama – lama.” Sara masih tak habis pikir dengan jalan wanita yang tua beberapa tahun darinya ini, tiap kali ada kesempatan mengeluh, pasti keluhannya tak jauh – jauh dari segera ingin menemukan pasangan hidup. Namun, tiap kali didekati oleh orang – orang, Sarenja terus saja memberi lampu merah dan mendorong mereka semua untuk menjauh dari kehidupannya. Wanita selalu rumit untuk dipahami.

Keduanya duduk di kafe bernuansa ala anak muda dengan pesanan makanan masing – masing, masih lanjut bercerita, Sarenja tersenyum mendengar tanggapan Sara. “Gua bukannya jual mahal apa gimana Sa. Gue single parent, cinta mereka nggak boleh cuma buat gue. gue emang butuh suami, tapi Ayana lebih butuh ayah.”

“Kalo laki – laki mah banyak yang mau nerima gue, gue juga nggak masalah apapun statusnya. Tapi, Ayana itu putri gue satu – satunya, lukanya dia itu lukanya gue, bahagianya dia itu bahagianya gue. Buat apa cinta, kalo Ayana nggak bisa diterima. Lo tau, luka Ayana udah parah, kita ditolak sama dunia, jangan lagi buat dia nerima luka dari orang lain yang pura – pura bisa jadi sosok ayah” Sarenja menjelaskan dengan tenang, masih sempat tersenyum lebar dan lahap menikmati makanannya. Namun, Sara tahu, ada nada getir yang disembunyikan rekan kerjanya itu. Ah, Sara harusnya bisa lebih bijaksana, dunia tidak selalu bisa bekerja dengan cara ia berpikir, logika dunianya itu luas, sebab yang tinggal di dalamnya manusia dan berbagai problematikanya.

“Gue…nggak kepikiran sampai kesana, maaf ya kak.” Sara tidak bersimpati, ia kagum, manusia yang ditempat dengan semesta dan keadaan adalah bentuk nyata dimana tuhan tidak melimpahkan kesusahan pada orang yang salah, itu bentuk syukur yang akan selalu Sara ingat dalam hidupnya, terjebak dalam cobaan artinya Sara hanya perlu berpikir, tuhan mempercayainya untuk melampaui semuanya.

“Ah elah…lu mah siang bolong gini ngajakin galau mulu, gue udah tekor dua ratus ribu juga buat senang – senang masih aja mellow!” Protes Sarenja, Sara hanya tertawa meresponnya. Keduanya hanyut dalam hening sebelum Sarenja kembali berbisik, “Adek lo SMA kan? Biasanya pulang jam berapa?” Tanya Sarenja, Sara mengernyit sesaat sebelum menjawabnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: