Oneshoot: Pasang Selokan

Oneshoot: Pasang Selokan

Ari Hardianah Harahap--

Lasri adalah sosok yang ditakuti seluruh orang kampung, walau perempuan tak ayal kuasanya jauh lebih dipertimbangkan dibanding preman pasar yang terekenal hingga seantero kelurahan. Bela dirinya jangan dipertanyakan, anak – anak remaja dengan mendali emas dirumah mereka adalah anak – anak hasil didikannya di sanggar leluhur yang kini resmi menjadi miliknya, sanggar yang sudah sangat lama berdiri, tahun 1999.

“Lasri….mau kemana?” Pagi ini masih dengan kaos oblong dan rok dasarnya, Lastri menjalajahi setapak jalanan bebatuan desa, biasanya akan ia kenakan sepeda ontel miliknya, namun berhubung sepeda itu sudah melawati mas tuanya, sudah layaklah ia dikaramkan di Gudang bawah rumahnya. Dan hari inilah terpaksa Lasri gunakan tenaganya dua kali lipat dibanding hari – hari sebelumnya.

“Iya nih bu mau kepasar,” Ujar Lasri ramah, ia tampilkan senyum terbaiknya, jago berkelahi tidak membuat Lasri untuk merasa seperti orang yang tertandingi, biar bagaimanapun desanya hanya desa kecil, diluar sana pasti banyak orang yang lebih dari dirinya, hanya saja tuhan belum memberi Lasri kesempatan untuk bertemu dan menyapa, semoga suatu saat nanti, mimpi Lasri tercapai, ia dapat melihat dan melampui orang – orang luar biasa di luar sana.

Desanya Asri, pohon – pohon menjulang tinggi, ada rasa bangga dan senyum puas di dalam hati Lasri bahwasanya ia mampu menjaga desanya menjadi lebih baik dan nyaman setiap tahunnya, selain bersukarela menjadi penjaga keamanan di kampungnya, Lasri juga menjadi salah satu pemuda dan pemudi desa yang ketat dalam menjaga kebersihan mereka, sebab Lasri diajarkan bahwa kebersihan itu adalah bagian dari iman, dan memastikan lingkungan bersih merupakan kewajiban. Pantang bagi Lasri untuk membuang sampah sembarangan sebab tetua mereka dulu pernah bilang, bila – bila penjaga tempat ini marah, akan ia datangkan musibah, akan ditenggalamkannya seluruh manusia, Lasri mencintai desanya hingga titik darah penghabisan, dan ia tak pernah ingin desa tempat ia lahir dan besar itu menjadi tempat yang sia – sia.

Lastri lama tidak berinfeksi dari satu lapangan ke lapangan lainnya, dan hari itu ia temukan satu lapangan saat menuju pasar, dimana sampah dimana – mana, tak ada celah bahkan untuk tanah, hanya sampah, sampah, dan sampah. Lasri marah, takut, bagaimana jika si penjaga marah, Lasri berlari, ia kumpulkan sampah – sampah itu ditangannya, walau terasa sia – sia, Lasri gunakan seluruh tenaganya. Setidaknya agar desanya selamat dari amukan. Naasnya, bahkan baru dua langkah kaki Lasri bergerak, Lasri rasakan tanah dibawahnya bergerak tidak karuan, langit menggelap, dan saat ia lihat ke atas, Lasri tau sang penjaga marah, sebab pada tahun itu, 1999, Lasri dan desana porak – poranda, oleh air yang siap melululantahkan segalanya. (bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: