Bagian 5: “Beetwen Us”

Bagian 5: “Beetwen Us”

--

“Tolong bahagia yang lama, terluka sewajarnya, kecewa seperti biasanya, biar langkahnya ringan, sebab kadangkala manusia itu bukan tak punya waktu, melainkan kehabisan waktu, bukan lupa hanya saja langkah yang ia perjuangkan berakhir sia – sia, sebab semesta bilang padanya untuk berhenti di langkah yang buat ia tak berdaya selain pergi lebih dulu”

-Arjuna, cita – citanya hidup selama mungkin.

>>>***<<<

“Je, lihat!” Arjuna tersenyum senang, menunjukkan gitar untung mentereng yang dibawanya. Bodynya mengkilat dan senarnya tampak kuat, jelas sekali, Gitar itu baru. Arjuna mendekati Jeje yang tengah merapikan ruangan Ayahnya, Jeje turut mendekati Arjuna tersenyum senang, ikut bersemangat menyambut gitar baru itu.

“Wedew…gitar baru aja, lo! Dibeliin sape nih?!” Tanya Jeje antusias, gitar itu kini ada di pangkuannya, ia petik sesaat dan suara genjrengan yang terdengar jelas, membuat suatu dalam dadanya berbuncah ria, efhoria semangat yang sedikit berlebihan tercipta diantara mereka. Arjuna tertawa senang, sebab selain pada Jeje, gitar barunya itu tidak bisa dipamerkan. Mungkin pada dokter dan perawat rumah sakit, tapi mengingat terakhir kali boneka beruang yang ia tunjukkan pada mereka ditanggapi dengan seadanya, Arjuna jelas tahu gitarnya juga akan tidak disambut layaknya Jeje menyambut gitar barunya itu dengan penuh suka cita.

“Dibeliin Bunda! Gue kostum warna magenta nih! Walau agak mentereng tapi slebew lah!” Ujar Arjuna, ia mengamit pundak Jeje. “Je, kali ini lo nggak boleh ditolak lagi apalagi dikatain jamet sama cewe yang namanya Magenta itu!” Lanjutnya, “Lo harus diterima sama dia pokoknya!” Perihal dukungan hati dan support material dalam percintaan, Arjuna memang juaranya.

“Jadi…ini lo kasih gue?!” Jeje bertanya dengan gigi menterengnya sebab senyum terlalu lebar, matanya berbinar – binary, harap – harap ekspetasinya itu benar terjadi, semoga Arjuna benar memberi kepunyaan gitar ini untuknya. Arjuna berdecih, menjitak kepala Jeje pelan, “Tuman lo mah! Minjem ege!” Respon Arjuna. Jeje berdecak sebal, wajahnya merengut dalam beberapa saat saja. Arjuna just being Arjuna, jangan lupakan jika dia itu tetap saja pelit.

“Pelit!” Ujar Jeje, Arjuna tidak tahan untuk tidak menakol kepala Jeje. “Nying itu 2,5 juta, yakali mau dikasih, Je.” Balas Arjuna geleng – geleng kepala, “Lo minta traktir Sushi mah ayok gua jabanin, ya enggak yang gue menderai air mata sampe ngancam pura – pura mati depan Bunda demi nih gitar, lo mau juga ya samson!” Lanjut Arjuna.

“Iya dah iya dah, si paling anak bunda!” Ejek Jeje, Arjuna pura – pura marah, memelintir leher Jeje setalahnya keduanya tertawa. Sebab satu sama lain tau, diantara mereka itu tidak ada yang terlalu serius, kecuali perihal hidup dan mati, sebab urusannya bukan sesama manusia lagi nanum lansung kepada Sang-Penguasa.

Jeje dan Arjuna mencoba memainkan gitar tersebut, nada yang keluar terdengar jelas, tiap petikan yang dilakukan pun terasa candu untuk diuulangi. “Widih…gitar mahal emang beda!” Jeje tak habis – habis memuji gitar milik Arjuna ini, sebab lama sudah ia ingin miliki gitar sendiri, tapi tak pernah ada kesempatan. Dan saat diberi waktu oleh Arjuna untuk menikmatinya, Jeje tidak tahu lagi harus bersyukur bagaimana, bahagia tiba – tiba tak dapat ia bendung dengan baik. Arjuna…terimakasihnya Jeje ini harus bagaimana lagi?

***

“Nyanyi Na!” Perintah Jeje, Arjuna menganggukan kepalanya, nada rendah lagu ‘Kepada Hati’ oleh Cakra Khan mulai terdengar. Lagu yang senantiasa Arjuna sandungkan kerap kali tiap bersama Jeje, berharap Jeje tahu lagu itu tak Arjuna nyanyikan dengan semata – mata untuk menghibur. Tapi akan selalu jadi hal yang diingat Jeje, dunia ini penuh lika liku, dan diantara lika – liku itu Jeje bisa temukan ia sebagai teman, saudara hingga jadikan ia tempat pulang. Agar Jeje tak lupa, sekuat – kuatnya manusia, tetap aka nada celah.

Tegarlah diri walaupun perih

Berjalanlah lagi sejauh mungkin

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: