Bagian 9: “Buku Nada”

Bagian 9: “Buku Nada”

ilustrasi--

“Kita itu pada dasarnya pengecut, sampai kita sadar takut bukan satu – satunya pilihan”

>>>***<<<

Cipta melirik Magenta dan Jeje curiga, sebab keduanya bertingkah aneh dan canggung. “Lo berdua nggak habis gabung sama sindikat narkoba atau alkohol kan?” Tanya Cipta, keduanya kompak menggeleng. Cipta menggaruk hidungnya yang tidak gatal, ia penasaran. Namun, juga bingung ingin bertanya mulai dari mana sebab ia tak tahu apa yang terjadi pada kedunya.

“Nggak!” Jawab Jeje, ia dan Magenta kompak memandang satu sama lain dan setelahnya membuang wajah, seolah bertatap sedetik lagi satu sama lain mampu membuat tubuh mereka berdua hancur. Magenta memalingkan wajahnya dengan pipi memerah, sedang Jeje meggaruk rambutnya yang tidak gatal, tatapan keduanya tidak fokus.

“Lo berdua nggak habis nyimeng kan?!” Cipta makin bertanya absurd pada kedunya, Magenta memutar bola matanya malas sedang Jeje sudah melayangkan pukulan ke kepala Cipta. 

“Gue tau lo bego, tapi nggak sebego ini juga please!” Ujar Jeje kewalahan sebab sifat Cipta satu ini, polos menyerempet bodoh, entah Cipta itu benar – benar polos atau benar – benar bodoh.

“Nice Shoot!” diam-diam Magenta tersenyum puas pada tindakan Jeje, sebab sedari tadi tangannya gatal untuk melayangkan tinju pada Cipta. Namun, harus ia tahan mengingat ia sudah siap dengan posisi biola di bahunya. Selagi kedunya masih asyik beradu mulut, Magenta mengambil buku nada yang ada di tas Jeje. Sebenarnya, terkesan lancing. Namun, mengingat hari ini Jeje yang memilih lagu tentu lagu itu pasti ada di buku nada milik Jeje. Magenta juga yakin, dengan Jeje yang sulit menghafal not gitarnya, mau tak mau ia pasti akan membuka buku Nada. Magenta fokus dengan kegiatannya, buku nada kali ini terlihat berbeda dari buku nada Jeje yang biasanya.

“Ungu pastel?” Batin Magenta bertanya, seingatnya Jeje itu menggilai warna Jingga dan hitam, itu mengapa Jeje sangat suka ke pantai dan menatap Sunset. Ia kembali melihat Jeje dan Cipta yang kini naik satu tingkat saling memaki dan menindih satu sama lain. Wajah Magenta datar, pemandangan seperti ini bukan pertama kali untuknya, mengingat mereka bertiga tumbuh dan dewasa bersama.

Magenta kembali fokus pada buku ditangannya, halaman pertama ia buka, disana ada fotonya, Cipta dan Jeje saat sekolah sadar. Magenta tersenyum lucu, Cipta dengan eskrim yang belepotan di bibirnya, Magenta yang menahan roknya sebab terbawa angina dan Jeje yang merangkul keduanya sembari tersenyum cerah, senyum itu tidak berubah bahkan saat waktu sudah berjalan sangat jauh.

“Nyatanya ketemu mereka itu kayak anugrah, Cipta yang lucu dan Magenta yang…aneh?” Baca Magenta dalam hati. Magenta ingin mengutuk Jeje sebab mengatainya aneh, namun tak ayal senyum geli tetap terbit di bibirnya, buku Nada yang dimaksud Magenta ini bukan lagi buku nada.

Magenta membalik lembaran seterusnya, ada banyak foto kecil mereka yang ditempel dengan tulisan – tulisan lucu dibawahnya, rata – rata menyebut Cipta lucu, menyenangkan, dan pujian kecil lainnya, namun saat itu tentang Magenta, Jeje selalu susah mendeskripkannya. Magetan tidak tau sudah lembar berapa ia membuka buku nada itu, foto itu beranjak remaja dan Magenta menemukan kalimat pujian pertamanya.

“Disini Magenta cantik sekali ya?” Mageta bersemu, tulisan itu masih dibawa foto mereka bertiga saat ia dan Cipta pertama kalinya memenangkan kompetisi musik. Halaman berikutnya, foto – foto itu masih berisi masa remaja mereka bertiga, tulisan dibawahnya kebanyak perihal Magenta. Hingga Magenta ada pada halaman dimana ada fotonya tengah tersenyum sembari menatap langit, Magenta ingat itu difoto oleh Cipta, saat ditunjukkan Jeje mengejeknya habis – habisan. Magenta berdicih pelan, ternyata Jeje menyimpannya.


Ari Hardianah Harahap--

“Magenta itu…perempuan yang mandiri, cantik, menawan, saking susah dideskripsikannya, gue jadi ragu, pantas nggak ya untuk jatuh cinta?”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: