>

Oneshoot: “Gedang, Pisang, Banana”

Oneshoot: “Gedang, Pisang, Banana”

Ari Hardianah Harahap--

Yani membasuh wajahnya kuat, ia usap wajahnya sedikit kasar dengan handuk yang tergantung dibahunya. Wajahnya kusut, begitupula dengan bajunya yang tak kalah kusut, hari yang sial, pekerjaan yang menumpuk, dan rekan yang menyebalkan, tidak bisa Yani jabarkan betapa hari ini remuk redam perasaanya, dan lelahnya ia. Terlebih cuaca dingin yang bersalju, Amsterdam memang kota yang indah, hanya saja Yani tidak pernah menyukai saat ibu kota belanda ini tertutup dengan gumpalan putih yang dingin dimana – mana, sebab imunitas tubuhnya yang lemah dan berkahir ia yang terus bersih sepanjang musim dingin.

“YANI, PERGILAH KAU KEPAJAK! KAU BELI LAH ITU DURIAN, LAMA TAK KUMAKAN. TAK PERNAH KUTENGOK KAU KELUAR! MAU JADI APA KAU?! VAMPIR?!” Butet, teman seperjuangan Yani yang turut menempuh studinya di Amsterdam bersama, berterika dengan logak batak kentalnya. Yani malas rasanya menyahuti. Namun, jika didiamkan Butet tidak akan pernah berheti berteriak, “KAU PIKIR INI DI INDONESIA HAH?” Kesal Yani, “Durian – durian pala bapakmu!” Misuh Yani, kemudian mendudukan dirinya disamping Butet, mencomot satu buah pisang yang tersaji di depan mereka.

Suara televisi sahut menyahut diantara keterdiaman Butet dan Yani, hingga derit pintu rumah mereka terdengar, kedunya kompak menoleh, dan tampaklah tiga orang kedinginan dengan setumpuk salju di beberapa bagian tubuh mereka. “Pulang kalean, aku pikir betah kalian membeku diluar sana, ambilkan lah aku air dulu!” Suruh Butet tiba – tiba, Yani yang mendengarnya hanya memutar bola malas, tidak paham dengan jalan pikir Butet yang selalu tidak terduga – duga, selalu ada – ada saja tingkah dan perkataanya.

Kalo orang tibo tu suruh duduak, buekan lah minum untuk awak. Iko baru tibo awak alah disuruah suruah se[1]menyaut, perempuan berdarah minang kental itu berbicara lancar dengan Bahasa daerahnya. Disampingnya ada Anne, pribumi asli yang tinggal bersama mereka, “C’mon guys, why do you guys keep using difficult language?![2] Protes Anne yang dibalas tawa cekikikan oleh Peti. “Indonesia is a unique country, the more languages ​​the more beautiful, the more you don't understand the more you love that country."[3] Ujar Yani, Anne terus saja penasaran dengan perkataan mereka bertiga yang terus saja terdengar bebeda setiap harinya, Yani dengan bahasa jawa medoknya, Butet dengan logat keras bataknya dan Peti dengan Bahasa rancak banah-nya.

Tidak ada sosok yang mampu melupakan tanah dimana tempat mereka lahir pertama kali, dimana ia diajarkan tentang kebanggaan akan jati diri mereka telah terlahir dari berbagai suku bangsa. Tanah leluhur mereka adalah tanah air mereka, ada diantara negeri tercinta mereka, Indonesia. Tanya pada butet tentang tanah asalnya, akan Butet jabarkan betapa bangganya ia pada tanah leluhurnya, Pulau Samosir. Akan ia banggakan marga Siagalan yang mengikat keleluhurannya itu sampai darah terkahirnya. Tanya pada Yani, betapa ia mencintai seluruh budaya dan adat jawa, Bahasa yang diksi dan aksaranya yang sulit juga indah, tanah asalnya yang ia cinta dengan segenap jiwa dan raganya. Tanya pada Peti, akan ia nyanyikan lagu daerah – daerah asalnya, indahnya tiap lantunan dan melodi, destinasi dan ikon tanah asalnya, leluhurnya yang ia junjung bersama martabatnya, minang mengental di darahnya.

Anne menghele nafasnya pelan, melepaskan mantel bulunya, turut bergabung bersama Yani dan Butet yang tengah menikmati buah pisang mereka, “Where did you get the bananas?” [4]Tanya Anne, mengambil satu buah pisang, Yani mengangkat kedua bahunya, melirik Butet, turut bertanya walau tidak berkata melalui ekspresi wajahnya, Butet menatap kedunya, “Makan sajalah, banyak kali protes kalian ini!” Suruh Butet, Yani mengangguk, Anne turut mengangguk, terbiasa hidup dengan tiga orang Indonesia yang mencintai bangsa dan tanah air mereka dengan sangat, membuat Anne mau tak mau, bisa tak bisa, harus memahami Bahasa yang ketiganya gunakan.

“Peti, Kowe arep menyang ngendi? ora gelem mangan gedhang?”[5] Tanya Yani pada Peti yang tampak sibuk dengan rak sepatunya sedari tadi, “Gedang?” Perjelas Peti yang dibalas anggukan oleh Yani, “Ho’oh gedhang!” Jawab Yani. Peti meninggalkan pekerjaan sebentar, “Sajak bilo lo gadang jadi makanan, gadang tu di bukit tinggi, ba’a lo caronyo kasiko” [6]Bingung Peti, ekspresi wajahnya kontras bertanya, bahkan ia menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Mendudukan dirinya persis disamping Anne, menatap raut wajah temannya satu persatu dengan serius.

“Jham Gadang? What it is Jham Gadahang?” [7]Bingung Anne, Peti mencubit paha Anne gemas, “Gadang not Gadahang, one of the icons where i come from”[8] jelas Peti lagi.

“sing ngomong Jam Gadang? Aku nawani kowe arep mangan gedhang apa ora?[9] Ulang Yani. Peti segera meyahut tiba tiba, “Nah itu, kamu nawarin aku makan gadang kan, maksud kamu jam gadang? Jam gadang nggak bisa dimakan Yan,” Jelas Peti yang dibalas tepuk jidat oleh Butet dan Yani kompak.

“Gedhang bukang gadang!” Kesal Yani. “Dalam Bahasa Jawa Gedhang tu pisang!” Balas Yani keras, Peti mencerna sesaat maksud Yani, kemudian tertawa tepingkal – pingkal sebab miss-komunikasi Bahasa mereka. Butet menimpali, “Memang benarlah orang batak jadi pempin dunia ini, tegas, kalo ngomong EYD, Bahasa Indonesia baku, taka da kayak kalean kalean ini, pisang ya pisang.”

Yani dan Peti kompak menyumpal mulut Butet dengan pisang ditangan mereka, “Yang nggak diajak jangan nimbrung!” Kesal Kedunya, Anne tiba – tiba menyahuti mereka bertiga, “Not Gedhang or Gadang, also not Pisang, but it is banana!” Balas Anne tersenyum puas.

Yani tertawa pingkal, “Anne, you want to know how in my area bananas are called gedhang?" Tanya Yani, Anne menanggukan kepalanya dengan semangat, diikuti dengan Butet juga Peti.

there is a story about a platoon who was grateful to find a banana garden because it had not eaten for days during the Diponegoro War in Eastern Indonesia. They then shouted "God dank" which means 'thank God' because they were happy that they had got food. eh, the locals had a wrong perception, and thought that the banana was gedhang.[10] Jelas Yani.

“Tapi tetap saja ini namanya pisang kawan!” Ujar Butet.

“Benar, pisang ini namanya!” Dukung Peti.

“Ini Gedhang” Ujar Yani.

“No guys, it’s banana’s” Timpal Anne.

“Pisang!”

“Gedhang”

“Banana!”

Masing – masing dari mereka tidak ada yang mau mengalah, cinta mereka tentang tanah luhur mereka adalah darah mereka, dimanapun kita, kemanapun kita, tanah leluhur adalah aset bangsa, budaya yang dijaga segenap jiwa raga, oleh karena itu, cinta nusantara adalah cinta mereka.


[1] Kalo orang datang itu disuruh duduklah, dikasih minum, bukan disuruh suruh.

[2] Ayolah kawan, mengapa kalian terus menggunakan bahasa yang sulit?

[3] Indonesia adalah negeri yang unik, memiliki banyak Bahasa yang indah, semakin kamu tidak mengerti semakin kamu mencintai negeri itu.

 

[4] Dari mana kalian mendapatkan pisang?

[5] Peti, mau kenama? Nggak mau makan pisang?

[6] Sejak kapan gadang jadi makanan? Gadang di bukit tinggi, bagiamana caranya kesini?

[7] Jam Gadang? Apa itu Jam Gadang?

[8] Gadang bukan Gadahang, salah satu ikon tempatku lahir

[9] Siapa yang ngomongin jam gadang? Aku nawarin kamu mau makan pisang nggak?

[10] ada cerita tentang sebuah peleton yang bersyukur menemukan kebun pisang karena sudah tidak makan berhari-hari dalam Perang Diponegoro di Indonesia Timur. Mereka lalu berseru “God dank” yang berarti ‘terimakasih Tuhan’ karena senang mereka telah mendapatkan makanan. eh, malah salah presepsi oleh penduduk sekitar, dan mengira pisang itu adalah gedhang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: