Bagian 9: “Tidak Boleh Lagi Sia – Sia”

Bagian 9: “Tidak Boleh Lagi Sia – Sia”

Ari Hardianah Harahap--

“Ada yang bilang, lebih baik malu sekali dibanding menyesal berkali-kali”

-Arisa, serius malu banget!-

>>>***<<<

Tidak ada kata yang tepat untuk menggambarkan suasana yang terjadi diantara Arisa, Sandra, Sundra dan juga Sadap, keempatnya sepakat untuk berkumpul bersama dengan rencana mengembalikan memperbaiki hubungan Sundra dan Arisa yang disusun oleh Sadap dan juga Sandra dengan dalih membahsa perkembangan HIMA, mengingat keempatnya merupakan pejabat HIMA. Dua orang yang ingin membuat suasana romantisme harus terjebak dengan dua orang yang tengah perang dingin, sup yang tersaji di depan keempatnya pun kini tak senikmat biasanya. Sandra menatap Sadap bingung, memberi kode lewat matanya seolah bertanya, haruskah mereka pergi atau tidak? Sadap yang juga sama bingungnya, mengangkat bahunya tanda juga ia tak tahu harus berbuat apa yang dibalas hela nafas oleh Sandra. Arisa dan Sundra masih setia saling diam satu sama lain, bahkan tatapan keduanya tampak berlawanan satu sama lain, satu dengan mata penuh dendam membara, dan satunya dengan tatapan penuh permohonan, layakanya anak kucing yang tak ingin ditinggalkan. 

“Hmm…gue makan duluan ya, ini sup kita beli bukan buat ditatapin doang loh.” Sandra berusaha mencairkan suasana, yang sayang tidak membantu apa – apa selain membuat Arisa dan Sundra bergerak untuk mengambil makanan mereka.

“Ini lama – lama mereka aku bom juga deh, greget banget liatnya.” Bisik Sandra pada Sadap, posisi duduk kedunya yang saling berhadap tentu membuat Sundra dan juga Arisa mendengar bisikan Sandra, karena tidak mungkin juga Sadap mampu mendengar volume bisikan yang kecil mengingat adanya meja yang menjadi jarak mereka.

“Gapapa sayang, biarian aja. Nggak mungkin pisah, soalnya dua – duanya cuma bisa hidup kalo ada satu sama lain.” Sadap berbicara dengan volume normal, seolah tak ada Arisa dan Sundra diantara mereka. Bahkan, Sadap dengan enteng menyuapi Sandra dihadapan Arisa dan Sundra, membuat Arisa dan Sundra yang tadinya saling diam kompak muntah bersama.

“Sayang?!” Ucap Arisa dan Sundra bersamaan, keduanya menatap sesaat, Arisa dengan wajah sinisnya dan Sundra dengan tampang watadosnya. Namun, tak berlangsung lama, sebab kini pusat perhatian keduanya kembali pada Sandra dan Sadap yang super cringe, seumur pertemanan mereka, baru kali ini Arisa dan Sundra melihat keduanya terlihat…aneh mungkin?

“Be a normal please!” Potong Sadap sebelum Arisa dan Sundra memberi komentar, “Kita nggak aneh, wajar dong gue manggil pacar gue sayang, wajar kalo kita mau berubah, soalnya kita mau hubungan kita awet, dan afeksi kayak gini lumrah buat kita. Dibanding lo berdua, 24/7 kemana – mana tapi nggak dalam status apa – apa tu gimana? Anehan kita apa lo pada?”

Sandra menepuk jidatnya mendengar kalimat Sadap, Sandra mencintai Sadap sungguh apa adanya, lagi pula laki – laki kini yang menyandang status sebagai kekasihnya itu tak terlihat kurang kecuali dengan mulut lemasnya yang kerap kali membuat suasanaya yang tadi retak kian memecah. Arisa bersiap membalas perkataan Sadap. Namun, suara mendayu dari arah sampingnya membuat dirinya tertahan.

“Kak Sundra?” Panggilan tersebut tidak hanya membuat Sundra menoleh. Namun, juga turut membuat Sadap, Sandra dan juga Arisa untuk melihat siapa yang datang. Wajah Arisa kian menekuk, Sundra dan Sadap menampilkan wajah dengan ekspresi kaget dan juga tak menyangka, kompak seolah kedunya memberi telepati satu sama lain ‘Drama apalagi nih?!’ karena yang memanggil Sundra adalah oknum yang menjadi sumber pertengkaran Sundra dan Arisa.

“Iya…Aya? Kenapa?” Tanya Sundra gugup, dirinya melirik Arisa gugup. Entah mengapa rasanya kini Sundra seolah tengah merasakan menjadi kekasih yang terciduk selingkuh oleh Arisa. Sundra tidak pernah ingin mengumpati perempuan. Namun, kedatangan adik tingkatnya ini membuat Sundra ingin mengumpat mati – matian, kedatangan yang tidak tepat dan juga tidak diinginkan.

Aya tersenyum manis pada Sundra, tatapannya terlalu jelas untuk seseorang yang tengah mendamba. Dan entah mengapa melihatnya Arisa semakin panas, hatinya panas dan otaknya tak menerima sedikitpun tindak tanduk perempuan yang mendatangi Sundra ini. Terlebih perempuan tersebut melihat dengan tatapan meremehkan, Arisa tentu tidak lupa perempuan tersebut yang ada di boncengan Sundra kemarin sore.

“Boleh gabung kak? Aku sendirian, kebetulan tadi liat kakak, meja juga nggak ada yang kosong.” Aya bertanya dengan suara yang lembut, terasa seperti sengaja dilembut – lembutkan yang membuat Arisa dan Sandra kompak berdecih. Arisa dan Sandra boleh terlihat tidak peduli dengan sekitar mereka. Namun, keduanya tidak buta dan tuli untuk menyerap informasi. Siapa yang tidak mengenal Ayasa Amanda? Manusia haus validasi yang pernah ada.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: