Bagian 17: “Gapapa untuk Nggak Keliatan Baik – Baik aja”

Bagian 17: “Gapapa untuk Nggak Keliatan Baik – Baik aja”

Ari Hardianah Harahap--

“Untuk pikiran pikiran yang terus ada, yang kadang berisiknya sungguh membuat ingin menyerah, tolong reda sebentar saja, sebab kini bukan akhir masanya, saya perlu bertahan, sekali lagi, memastikan mereka dan dia baik – baik saja juga bahagia.”

-Kita jadi manusia

>>>***<<<

Jingan punya adik, perempuan manis yang hampir sebagian besar ia habiskan waktunya untuk melihat tawa dan senyum manis princessnya itu. Tak jarang, bahkan Jingan selalu mengambil langkah tumbuh kembang satu – satunya adik yang ia miliki itu. Hari ini, tepat di minggu dimana Jingan banyak merencanakan tentang permainan apa yang akan mereka mainkan, tentang wisata mana lagi yang akan mereka kunjungi, tentang akan makan apa lagi mereka hari ini, banyak tentang diantara mereka, yang bahkan kadang mampu membuat mama dan papa mereka iri, sebab banyaknya waktu yang mereka habiskan hanya berdua.

“Princessnya abang hari ini bahagia nggak sih ketemu abang? Princess abang udah makan? Udah kemana aja hari ini? Tamannya indah ya, sampe princessnya abang nggak mau lagi balik buat liat abang?” Tanya Jingan, terkekeh diantara banyaknya bunga dandelion yang ia kumpulkan sepanjang jalan, sebab adiknya pernah bilang, seandainya ia benar – benar seorang putri di kerajaan, dandelion akan menjadi nama kerajaannya, gaunnya akan penuh dengan bunga dandelion dan di sepanjang kerajaanya akan selalu ada dandelion. Katanya, agar setiap helai yang terbang bisa membawa seluruh mimpi kerajaannya, agar tidak ada lagi gagal yang mengakhiri asa, agar setiap orang percaya, bahwa mereka maih orang yang sama, sekali mereka terus patah dan gagal berulang kali, mereka masih sama baiknya.

Jingan terpekur disana, diam dengan air mata yang menggenang di setiap pelupuk matanya, Jingan tidak pernah ingin lemah, berkali – kali ia berjanji tidak akan pernah meneteskan air mata lagi, janji yang juga selalu ia ingakari pada setiap minggunya, pada setiap kunjungannya. “Maaf ya, lukanya masih sama dek, masih sama sakitnya. Jadi abang nggak pernah bisa nahan air matanya. Adek nih, buru buru amat ninggalin abang.”

Padahal sudah lima tahun, namun rasanya masih tetap sama, rasa kehilangan itu tak pernah tiada, atau sedikitpun sirna dari hati dan pikiran Jingan, tentang tidak ada lagi minggu mereka, tidak ada lagi cemburu yang bisa mereka beri pada orangtua mereka, semuanya habis. Bahkan Jingan tidak pernah tau dimana raganya, tidak ada tempat dimana Jingan pernah tau selain laut lepas yang terus memberi ombak. Hari itu, harusnya Jingan tak turuti kemauan terkasihnya, tidak ada pantai, tidak ada ombak, maka semuanya akan baik – baik saja, Jingan masih untuk dengan adiknya. Masih utuh keluarganya, dan orangtunya tidak akan pernah kehilangan salah satu anak mereka.

“Bang, katanya ke pantai mau liburan, yang namanya liburan tu dimana – mana ketawa, bukannya diam gitu, nggak ngelakuin apa – apa, Cuma bengong aja.” Mama Jingan duduk di sebelah Jingan, turut menopang kepalanya di antara kedua kakinya yang menekuk.

“Tau kesambet hantu lau baru tau!” Suara yang lebih berat, menyahut itu Papa Bian, keduanya duduk menghimpit Jingan, jika ada yang melihat semua orang pasti tahu imej keluarga sempurna nan bahagia. Padahal mereka ada luka sesungguhnya luka.

Jingan membulatkan matanya, saat kedua orangtuanya memeluknya tiba – tiba, tanpa aba – aba, bahkan Jingan dapat merasa tangan mamanya bergetar mengusap kepalanya, begitu juga dengan papanya yang hanya diam namun semakin memeluknya erat. “Bang, gapapa untuk nangis sebentar, anak mama butuh nangis kan, ayo nangis sama – sama, jangan sendirian lukanya bang.” Jingan dapat merasakan nada getir yang terselip diantara nada bicara Mama.

“Sedih bukan berarti abang lemah, nggak apa – apa sesekali untuk nggak terlihat kuat, gapapa sesekali untuk nggak baik – baik aja bang, pura – puranya udah dulu, anak ganteng papa udah capek kan?” Dan Jingan tahu, ia tidak dapat menahan desakan yang ada di pelupuk matanya, dandelion digenggamannya ia lepaskan begitu saja, didalam dua peluk erat orang dewasa itu, Jingan tenggelamkan tangisnya, Jingan ingin lukanya reda, namun rasa selalu begitu sulit, seolah ia terus dihantui untuk terus merasa sakit itu, Jingan terpuruk hanya tak tahu mengapa harus selalu.

“Abang capek, adek nyesal nggak punya abang kayak adek? Adek marah nggak punya abang yang gagal kayak abang pa, abang nggak bisa jagain adek pa? Papa sama mama juga kecewa kan sama abang?” Jingan terseguk diantara bicaranya, air matanya benar – benar tumpah tidak ada yang luka yang tidak terbuka hari itu.

“Udah bertahan sejauh ini, adek pasti bangga punya abang kayak abang. Mama sama papa juga bangga punya abang, tetap jadi anak yang kuat ya bang.” Hari itu diantara tabur pasir dan berisikanya debur air, ada yang memeluk tanpa raga, katanya ia bahagia saat mereka bahagia, sebab sudah berusaha sebaik yang dibisa, namun jika takdir bilang ini akhir, maka manusia tidak bisa apa – apa selain ikhlas. Sudah dulu ya pura – puranya, biar sakitnya reda, dan sembuh sudah lukanya manusia. (bersambung)

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: