>

Bagian 15: “Jauh Di Lembah Rasa Manusia”

Bagian 15: “Jauh Di Lembah Rasa Manusia”

Ari Hardianah Harahap--

“Segala rasa itu ada batasnya, jangan jatuh terlalu dalam juga jangan menetap terlalu tepi, karena manusia itu selalu ada yang namanya konsekuensi

>>>***<<<

Jinan tidak pernah berharap menjadi seseorang yang dipandang begitu sempurnya, seseorang yang dielu – elukan dari ujung rambut hingga kakinya. Yang saat ia memejamkan mata, akan ia dapatkan segalanya.

Jinan tidak pernah ingin menjadi seseorang yang jenius, andai saja, jika bisa, ia akan memilih menjadi siswa yang biasa – biasa saja. Jinan memang bisa segalanya, hampir tidak ada celah dalam dirinya. Namun, sekali lagi, jika Jinan bisa, setidaknya untuk memilih berhenti salah satunya, Jinan ingin berhenti, untuk segala hal yang terus ada padanya asal ia bisa bahagia dengan selayaknya, layaknya manusia yang tengah tertawa diantara penatnya dunia yang begitu riskan terhadap kehidupan.

Tidak ada Jinan san jenius matematika, hanya Jinan siswa biasa dengan masa remaja yang begitu bahagia, tidak ada Jinan yang serba bisa segalanya, hanya ada Jinan dengan segala kekurangan dan keterbatasannya.

“Kamu punya orangtua baik, keluarga yang supportif, lingkungan yang mendukung, teman yang senantiasa ada, dan tak ada yang cacat dalam dirimu sedikitpun, lalu apa yang ingin kamu tangisi lagi, Jinan?” Diantara sambungan ponsel yang terhubung malam itu, Jinan terkekeh. Ia tatap langit yang sepi, diseberang sana, dihadapannya, seseorang yang kini tengah menatapnya mengerut bingung, masih dengan nada ponsel yang tersambung diantara mereka.

“Orangtuaku baik, tapi jika ditanya, aku tak ingin menjadi ayah yang seperti ayah, dan semoga nanti tidak ada lagi ibu yang harus selalu menahan sabar, sebab aku takut, nanti anakku nggak sekuat aku, untuk luka – luka yang nggak pernah datang tanpa jeda.” Jinan mengungkapkan segalanya, bahwa diantara sempurna yang ada pada dirinya adalah sebenar – benarnya kecacatan manusia. Apa membandingkan satu sama lain antar sesame itu menjadi keluarga yang supportif, apa punya teman yang hanya ingin didengarkan tanpa mau didengar itu disebut teman yang senantiasa ada? Dimana letak sempurna dalam kehidupan Jinan yang dimaksud?

“Bergaul sama mereka, ngebuat kamu banyak berubah ya, Nan. Kamu jauh lebih…” Kalimat itu menggantung begitu saja, seolah sang empu yang berbicara tidak menemukan kata mana yang tepat untuk mendeskripsikan perasaannya menyaksikan sosok Jinan yang begitu dewasa, seorang anak laki – laki yang dulunya menangis kencang, kini mampu berdamai dengan luka – lukanya.

“Kamu tau Al, mereka ngajarin aku untuk mandang dunia jadi aneh haha…” Kekek Jinan, mengingat Sandi, Bian dan Jingan, sahabat amburadulnya. “Hubungan kita satu sama lian terlalu konkret sekaligus rancu untuk dijelaskan.” Mata Jinan jauh menerawang, “Saat sama Bian, kita sadar untuk nggak negliat dunia jauh lebih detail, untuk berpikir jauh lebih dalam, untuk nggak terlalu bodo amat sama apa yang ada di sekitar kita. Bian, orang yang mengajarkan kita untuk lebih peka, bahkan saat rasa peka itu membawa sakit, karena katanya, sakit sama manusia itu wajar, tanpa sakit, kamu nggak pernah tau namanya bahagia dan tawa.”

“Kalo sama Sandi, kamu nggak akan pernah nyangka kalo anak itu selalu punya pikiran yang unik di setiap peristiwa dan momen, pernah dipinggir jalan, saat aku kasihan liat maskot yang panas – panasan bagiin brosur, Sandi malah ketawa sampe si orang dalam mascot juga ketawa. Dan kamu tahu apa katanya, dia kerja bukan untuk dikasihani Nan, dibanding alih – alih kamu merasa simpati dan membuat dia rendah diri, ketawa sama – sama itu udah paling baik, setidaknya risau dan sedih diantara kita sempat hilang, walau sesaat. Untuk sesaat, kita bisa lepas tentang kehidupan yang rumitnya ngalahin algoritma matematika haha.”

“Dan sama Jingan, kamu harus liat orang paling tulus dalam memberi kasih, yang paling pandai menyembunyika luka diantara tawa. Bahkan saat kamu mengenalnya, kamu nggak akan pernah nyangka, kalo ternyata dia nggak seperti yang kamu bayangkan, bahkan terlalu riskan perbedaanya, Al.” Mengingat sahabatnya, Jinan tertawa kecil, rasa bahagia itu meletup – letup, ada banyak rasa syukur yang ia ucapkan dalam hatinya, tentang ia yang sangat berterimakasih kepada tuhan dipertemukannya ia dengan orang – orang seperti mereka.

“Kamu bahagia, Nan. Aku turut suka,” Balas seseorang yang ada di balkon seberang melalui sambung telepon, “Selamat bertemu rumah yang kini terasa nyaman dan aman ya, Nan.” Jinan tersenyum tulus.

“Al, semoga bertemu pulang yang lebih hangat nanti.” Balas Jinan.

“Pasti, tunggu kabar bahagianya.” (bersambung)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: