Bagian 13: “Ada Nggak Ya Yang Bisa Nerima Kita Apadanya?”

Bagian 13: “Ada Nggak Ya Yang Bisa Nerima Kita Apadanya?”

Ari Hardianah Harahap--

“Semakin kita dewasa, semakin kita paham bahwa hidup selalu memberikan pilihan yang sulit, bahkan disaat rasanya kita tak mampu memilih salah satunya, tanpa jeda dan terus datang setiap saatnya”

>>>***<<<


yamaha--

Bian pernah mengumpati dirinya sendiri habis – habisan, hari itu ia caci maki dirinya sepuasnya, bahkan kata yang paling pantang Bian ucapkan, hari itu ia ucapkan untuk dirinya sendiri, sebelum ia kembali tenggelam dalam kubang kesedihan yang ia ciptakan. Tidak ada yang menyakitinya, hari itu Bian bahkan dapat dikatakan terlalu baik – baik saja,  semua orang bahkan bersikap selayaknya pada dirinya, hari itu Bian ciptkan lukanya sendiri.

“Kenapa nggak pernah bersyukur sih jadi manusia? Padahal tuhan ngasih lo dua mata, dua telinga, lo itu mahkluk sesempurnya makhluk ciptaan tuhan, apa yang ngebuat lo nggak nerima lo apa adanya!” Sandi menasehati, bibirnya sedari tadi tak berhenti untuk komat kamit, melihat Bian yang merendam dirinya di tengah malam bahkan di hari hujan, padahal dingin adalah musuh terbesar Bian, sebab rasa dingin mampu membunuh Bian.

“Kenapa sih harus lo?” Kesal Bian, laki – laki itu pantang menangis, terutama manusia yang bersatus remaja sepertinya, imej menjadi utama yang terus mereka jaga hingga masa transisi ini habis. Sandi hanya membiarkan Bian menangis, sejak kapan terkahir kali mereka menghabiskan malam sepanjang ini, kapan terakhir kali Sandi bergerak menjadi kakak yang seharusnya menopang adiknya.

“Lah gue kana bang lo, yakali lo nangis mau gue panggilin pak rt.” Ujar Sandi, siapa bilang hatinya tak sedih, ia sedih hanya saja Bian si anak tunggal yang serba bisa segalanya dan terkabulkan segala maunya tak akan pernah mengerti rasa menjadi kuat bahkan disaat kamu benar – bener hancur dan remuk redam hingga ke palung jiwa paling dalam.

“Mereka nggak pernah jadi apa adanya untuk diterima, sosialisasi itu bukan ilmu ekonomi Yan, bukan usaha yang seminimim mungkin dengan laba sebanyak mungkin. Kalo lo mau jadi sebesar itu, lo juga harus menerima perubahan sebanyak itu, bahkan untuk kehilang diri lo sendiri.” Tidak ada lagi selain tangis Bian, semakin kita dewasa, semakin kita bahwa setiap waktunya selalu ada pilihan sulit yang akan dihadapakan. Selalu banyak peluang dan kesempatan namun takdir tak selalu membuat kita terus terasa serakah bahkan disaat kita tak pernah menyentuh. Bian lelah, hanya saja menyerah bukanlah jalannya, katanya yang namanya manusia, sudah kodratnya sana – sani, pontang – pontan kesana kemari, untuk mengais sesuap bahagia, bahkan jika nantinya tidak terasa nyata.

Kamu….yang bahagia ya menjalani hidupnya :)  (bersambung)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: