Oneshoot Simpang Lima Kota Cinta: “Kue Bawang, Mama dan Tante Rina”
Ary--
“Cewek jangan diajak debat, salah dikit, terungkit deh aib lo dari zaman ke zaman. Paling bener udah diam aja, yang diam bukan berarti kalah.”
-Kapten Chandra, Bulol Mama 2022
>>>***<<<
Enza kini tengah duduk di meja makan dengan mata yang memerah, wajahnya basah akibat air matanya yang terus tumpah. Ini semua karena abang sialannya, siapa lagi jika bukan Aji. Aji tengah menahan tawanya disamping Mama yang kini tengah menggunting gunting adonan. Sedangkan Aji tengah mengaduk – aduk adonan. Minggu pagi ini, Mama mengajak anak – anaknya untuk membuat kue bawang, katanya dapat resep baru dari pegawai toko pakaiannya. Aji yang memang bucinnya Mama itu tentu saja tidak sanggu menolak, sedangkan Enza diseret paksa oleh Aji. Jangan bertanya dengan Mas Arya, karena Mas-nya itu masih tidur. Seluruh orang di rumah memakluminya, sebab Mas Arya yang memang baru bisa tidur, karena proyek pengembangan jalan yang sedikit bermasalah. Ya, Mas Arya bekerja sebagai kontraktor. Dulu di singapura, Mas Arya juga bekerja sampingan menjadi design interior, dan saat ini Mas Arya menekuni bisnis kontraktornya.
“Nja, katanya yang nangis waktu motong bawang orangnya pencemburu. Lo nggak malu cowok cemburuan?” Tanya Aji terkekeh, melihat laut tersiksa Enza. Enza membanting pisaunya, “Lo kalo nggak nolong mending diem!” Kesal Enza, bersungut – sungut.
Mama melototi Enza, “Heh! Sejak kapan mama ajarin ngomong sama abang begitu!” Enza ciut, “Abang tu ma! Enza nggak mau motong bawang lagi, perih mata Enza ma!” Enza mengadu, merengek pada mamanya.
“Ihh…nggak malu banget! Udah gede masih aja manja.” Goda Arya yang turun dengan wajah bantalnya. Rumah Aji bersaudara ini memiliki dua tingkat dengan empat kamar, dua di lantai atas, dan dua di lantai dasar. Mama dan Aji menempati lantai dasar sedangkan Aji dan Mas Arya di atas.
Enza mencebik kesal, “Ma, kenapa sih Enza harus punya dua saudara kayak mereka, Enza pengen jadi anak tunggal aja deh!” Kesal Enza, “Nggak bersyukur lo!” balas Aji sengit.
“Memang! Bakal lebih bersyukur kalo abang nggak ada!” Kesal Enza, Mama dan Mas Arya terkejut mendengar omongan Enza, bahkan Mas Arya sampai memuncratkan minumannya, “Heh mulutnya dek!” Peringat Mama dan Mas Arya serentak. Aji tertawa geli, mengusap kepala Enza lembut, “Hilih! Nanti nggak ada gue nangis! Ngomong kangen, gayaan banget lo!” Aji tampak tak tersinggung sama sekali dengan perkataan Enza.
Enza mencebik seolah – olah dia tak peduli dengan perkataannya, padahal dalam hatinya Enza merasa sangat bersalah pada Aji. “Nggak ya! Mager banget ngangenin orang kayak abang,” Aji memiting kepala Enza, menciumi wajah Enza brutal, “Abang, jigong lo bau neraka!” dan setelahnya gelak tawa Mama dan Mas Arya terdengar keras pagi itu.
“Dihias gitu mau dikasih ke siapa bang?” Tanya Mama pada Aji yang asyik menghias dua toples milik Mama dengan pita – pita, didalamnya sudah terisi kue bawang buatan Mama, Aji dan juga Enza. Aji tersenyum, “Mama nanya toples yang mana dulu?” Tanya Aji balik.
“Yang pink buat siapa?” Tanya Mama, Aji terkekeh, “Yang ini buat calon menantu mama besok,” Jawab Aji.
“Yang satu lagi?”
“Yang hitam buat ya siapa lagi kalo bukan…..” Aji menggantungkan kalimatnya, Mas Arya dan Enza yang sudah paham maksud perkataan Aji segera berdiri di belakang Aji.
“Buat Tante Rina tercintah!” Ujar Mereka bertiga kompak sambil tertawa.
***
Jika kalian bertanya siapa tante Rina sulit dijelaskan. Karena di keluarga kapten Chandra, perempuan dengan Nama Arina Sarjanji itu pandangan dan kesan yang berbeda pas setiap anggota keluarga. Jika menurut Aji, Tante Rina adalah sosok kedua Mama. Maka menurut Mas Arya dan Enza tentu berbeda. Bagi Mas Arya dan Enza, Tante Rina itu penjahat sejati untuk mereka, tentu mereka punya alasan masing – masing mengatakan Tante Rina penjahat. Namun, apapun itu semoga mereka benar – benat tidak membenci Tante Rina. Berbeda dengan tiga bersaudara, di mata Kapten Chandra, ayah mereka, Tante Rina adalah sosok sahabat sejati yang sayangnya dianggap musuh oleh Mama, katanya pesaing Mama nomor satu dalam merebut perhatian Kapten Chandra dulu.
Mama tengah misah misuh di depan rumah Tante Rina dengan setoples kue bawang yang sudah dihias oleh Aji, dibelakangnya Aji dan Enza berdiri setia, membawa toples lainnya yang akan dibagikan kepada tetangga sekitar mereka nanti. “Ini Rina lama banget kenapa sih? Nggak tau apa orang sibuk?!” Gerutu Mama, pasalnya sedari tadi memencet bel, mengetuk pintu rumah dan memanggil Tante Rina keras, Mama hanya mendengar jawaban tunggu sebentar namun pintu tak kunjung dibuka.
“RINA!!!” Teriak Mama lagi, Aji dan Enza kompak menutup mata mereka, terkejut mendenger teriakan Mama yang super keras. Dari arah dalam pintu keluar, Tante Rina tampak manis dalam balutan dress rumahannya.
“Sabar dikit kenapa sih?!” Ujar Tante Rina.
“Heh! Janda! Nggak usah banyak cingcong ya ente. Kurang sabar apa lagi coba aku nunggu kamu?! Lama banget!” Kesal Mama, Tante Rina melotot kearah Mama, jika sudah membahas status Tante Rina sangat sensitif, dan sialnya setiap bertemu Tante Rina, mau dipasar sampe ke bojonggede juga Mama akan terus membahas status Tante Rina.
“Idih….itu yang ngomong kagak janda juga?” Ujar Tante Rina sarkas, Mama memutar bola mata malas, “Dah ah! Males aku liat kamu! Nih, kue bawang sisa bahan aku tadi!” Kesal Mama memberi toples kue bawang pada Tante Rina. Aji dan Enza kompak meringis, Mama benar – benar tidak pandai dalam berbohong. Bagaimana bisa Mama mengatakan itu kue sisa, sedangkan Tante Rina adalah orang pertama yang Mama temui untuk ia bagikan, bahkan Mama memasukkan Kue Bawang yang paling baik dalam toples Tante Rina, dan jika Tante Rina sadar, tangan Aji dan Jaya masih penuh dengan toples kue bawang lainnya.
Tante Rina mengulum senyum sebentar, namun tak lama ia kembali menunjukkan wajah julidnya, melemparkan sebuah totebag sedang yang untungnya sempat Mama tangkap, “Itu aku juga punya sisa oleh – oleh dari Thailand kemaren, orang kayak kamu mana pernah ke luar negri!” Ujar Tante Rina.
“Itu mulut minta di slepet ya! Gini – gini aku mantan model majalah forbes! Thailand mah gak ada apa – apanya buat aku!” Mama membuat, Aji dan Enza kompak meringis, malu pada Tante Rina. Mama segera mengapit mulut Tante Rina dengan tangannya saat Tante Rina ingin membalas perkataanya, “Aku sibuk, nggak kayak kamu!” Setelahnya Mama segera berlari keluar dari halaman rumah Tante Rina yang segera diikuti oleh Enza.
“Tante sama Mama nggak bosan apa berantem mulu?” Tanya Aji masih diam di tempatnya, Tante Rina tergelak mendenger pertanyaan Aji, “Memangnya Tante sama Mama kamu keliatan kaya lagi berantem?” Tanya Tante Rina balik. Aji menaikkan kedua bahunya, tanda tak tahu.
“Itu love languangenya kita,” Ujar Tante Rina.
“Hah?” Aji bingung menatap Tante Rina tak mengerti.
Tante Rina kembali tergelak, “Physical attack,” setelahnya Tante Rina meninggalkan Aji. Namun, sebelum menutup pintu seutuhnya Tante Rina menyempatkan mengusap kepala Aji lembut, “Kalo Saka dan Renjani masih hidup,” Ujar Tante Rina sendu, “Renjani pasti udah sebesar kamu, dan Saka pasti senang banget liat kamu, karena kamu beneren mirip Chandra, Ji.” Hal yang selalu sama Tante Rina katakana setiap pertemuannya dengan Aji. Aji hanya tersenyum maklum, bukan ranahnya untuk bicara.
“Aji anak tante, kalo rumah Tante terlalu rapi, calling Aji.” Ujar Aji seraya mengedipkan sebelah matanya.
“Hilih, anak muda ngerdus mulu!” Balas Tante Rina.
“Oh iya, tua – tua kayak tante mah bisa apa selain nontron sinetron india.” Aji tergelak diikuti oleh Rina. Terik siang kala itu terasa hangat, hanya karena guyonan Aji, setelah sekian lama, Rasa itu kembali ada pada Tante Rina, rasa hangat tentang arti sebuah keluarga.
***
“Ma, Mama kenapa deh kemusuhan gitu sama Tante Rina?” Tanya Enza membuka topik obrolan malam itu, ada Aji yang tengah bermain PS bersama Mas Arya, sedangkan Mama dan Enza menjadi tim sorak dengan cemilan di tangan mereka, tentu saja kue bawang buatan mereka tadi pagi.
“Nggak tau, lihat tante Rina bawaannya pengen Mama buang ke laut afrika aja.” Jawab Mama santai, “Memangnya Mama punya masalah apa sama tante Rina?” Tanya Enza penasaran yang turut mengundang telinga Aji dan Mas Arya untuk mendengar dengan seksama.
Mama tergelak, “Kita ituuuu….” Mama seolah sengaja mempermainkan tiga putranya yang sudah kelewat penasaran, menggantungkan kalimatnya lama.
“Apa ma?” Tanya Aji tidak sabaran menatap Mama lekat yang diangguki oleh Mas Arya dan Enza.
“Kepo!” Jawab Mama tertawa puas, meninggalkan tiga putranya yang tengah tercengang dengan wajah pias, menatap Mama penuh aura permusuhan. Mama memasuki kamarnya, diluar sana masih terdenger suara Aji dan Mas Arya yang bersahut – sahutan tentang siapa pemenang diantara mereka mala mini, sedangkan Enza sibuk menjadi pemandu sorak dengan berkali – kali menyebutkan nama Aji. Mama terkekeh, mengabaikan anak – anaknya sebentar, pertanyaan Enza membuat Mama kembali mengkilas balik masa lalunya, dirinya, Rina, Saka, dan Chandra, suaminya.
Mama tidak akan pernah tahu jika dunia begitu sempit, Rina yang dulu menjabat sebagai posisi sahabat Chandra terus saja membuat Mama cemburu buta, kecemburuan mama memang tidak beralasan, bahkan hingga Rina menikah dengan Saka, rasa cemburu itu terus ada. Mama hanya takut suatu saat nanti ia akan kehilangan satu – satunya lilin hidupnya, Chandra, suaminya, ayah dari anak – anaknya. Saat mendengar kehamilan Rina, hari itu hari pertama kali ia mampu berteman baik dengan Rina walau diantara mereka masih sering terlontar kata pedas saling sindir menyindir bahkan hingga kini, mengingat kejadian tadi pagi mau tak mau, Mama tertawa pelan.
Mama kehilangan kontak Rina saat Rina pindah tanpa permisi karena bisnis suaminya, Saka, yang berkembang lebih pesat. Awalnya Mama ingin marah. Namun, meningat Rani meninggalkan sebuah surat untuknya, Mama mengerti, Rina juga ingin bertemu, namun situasi dan kondisi mereka sama – sama tidak memungkinkan. Kabar duka tentang Chandra, membuat Mama tak sanggup untuk tinggal lebih lama di kota bandung, setiap sudut kota itu selalu penuh kenangan dengan kekasih hatinya itu, Chandra terus membelunggu hatinya. Kedatangannya ke Jakarta membuatnya bertemu kembali dengan Rani, yang sialnya mereka kini seolah adu nasib tentang luka – luka mereka, sama – sama ditinggalkan dan sama – sama terbelenggu.
Air mata Mama meluruh, entah sejak kapan. Karena tak ingin berlarut, Mama mengambil totebag pemberian Tante Rina, sebuah album foto. Mama menahan tangis mati – matian, mala mini Rina membuka luka – luka lamanya lebih lebar. Disana tertulis sebuah catatan tangan, tulisan Rina.
Dulu, Chandra pernah bilang ke aku. Nanti, satu – satunya yang pantas punya ini cuma wanita yang ia cintai sampai akhir hayatnya. Kamu, Anjani.
Itu semua tentang Mama, tulisan tangan Chandra, foto – foto mereka, bahkan hingga betapa bahagianya Chandra kala tau sahabat baiknya mampu bersahabat dengan istrinya pula.
“Anjani, nanti akan kita buat sebuah keluarga yang hangat, akan kita jelajahi dunia hingga palung terdalam, setelahnya kita hanya menunggu, melihat kembali jejak – jejak anak kita tumbuh dewasa”
Perkataaan Chandra kembali mengulang layaknya kaset rusak di pikiran Mama, “Bukan kita, Mas. Hanya aku, lalu kamu dimana?” Mama bertanya pelan memeluk album foto itu erat.
“Chandra pulang, Anjani ini rindu,”
Mama tidak menangis sendirian, ada Aji yang setia berdiri dibalik pintu kamar Mamanya, Aji mencebik, ingin menyalahkan Tante Rina sebab membuat Mamanya menangis. Seandainya tadi, Aji tidak menuruti Mama, mungkin malam ini tidak akan terjadi.
Hanya karena setoples kue bawang, hari ini berubah drastis, bagi Aji juga bagi Mama. Takdir sangat senang bermain – main, rasanya kini Aji sedang berada di puncak tertinggi komedi kehidupan.
“Weleh, Weleh, Ruwet tenan jadi manungsa, rada salah obah, salah geser, kaye ngene iki. Yang kaya ngene, aku mung pengin dadi watu” (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: