>

Bagian 24: “Rasanya Hampa Bang, Sampai Menangis Saja Susah Rasanya”

Bagian 24: “Rasanya Hampa Bang, Sampai Menangis Saja Susah Rasanya”

Ary--

Rintik gerimis mengundang kekasih di malam ini

Kita menari dalam rindu yang indah

Sepi ku rasa hatiku saat ini oh sayangku

Jika kau disini aku tenang

Sayang kau dimana aku ingin bersama

Aku butuh semua untuk tepiskan rindu

Mungkinkah kau disana merasa yang sama

Seperti dinginku di malam ini


yamaha--

-Melly Goeslaw, Denting

֍♠♠♠♠֍

“Kehidupan itu harus berjalan selayaknya, sepantasnya dan sebaik mungkin. Ada atau tidak ada dunia yang menumpunya.”

-Aji, pengen masuk surge tapi banyak dosa T_T

>>>***<<<

Enza tidak tahu harus bagaimana kini bersikap, disana Aji terbujur kaku, wajahnya pucat, ini pertama kalinya Enza mendapat wajah abangnya itu sepucat itu, biasanya jikapun sakit, Enza masih dapat melihat rona merah di pipi abangnya itu, dan mendengar tawa cempreng abangnya. Namun, hari ini Aji benar – benar berbeda dimata Enza, tidak ada rona merah, tidak ada suara tawa cemprengnya, Enza jadi bertanya – tanya, apakah sakit abangnya kini sangat parah? Padahal Aji pernah bilang pada Enza, jika diantara keluarga Chandra bersaudara, tentang kesehatan fisik Ajilah nomor satu, saat itu Enza tidak menyangkal. Sebab, Abangnya itu memang jarang sakit, sekalipun sakit, paling lama hanya bertahan tiga hari.

Enza berdiri kaku disamping brankar Aji, matanya kosong, ia genggam tangan Aji yang terasa dingin, tidak ada ekspresi apapun di wajahnya selain senyuman tipis yang nyaris tidak terlihat. Tidak seperti Mas Arya dan Mama yang menangis, Enza menatap abangnya penuh gurau. Tawa pelannya terdengar penuh luka.

“Abang kalo bercanda, lucu. Enza sampe nggak tahu harus ngerespon apa?” Suara Enza parau, semua orang menatap Enza khawatir. Ada baiknya Enza menangis, berterik keras bahwa ia tak mau kehilangan Aji, dibanding berusaha terlihat baik – baik saja ditengah titik kehancurannya. Mata Enza berkaca – kaca, sayangnya Enza begitu kerasa kepala untuk tidak menumpahkannya, setidaknya tidak di depan Aji.

“Biasanya abang kalo sakit juga tetap jahil sama Enza, sekarang pasti lagi sakit banget ya bang, sampe abang nggak bisa jahil.”  Enza mengusap lengan Aji, matanya memancar lembut, memberi sinar tenang seolah mengatakan pada Aji bahwa Enza masih sangat baik, tentang apapun itu, Enza dalam kondisi terbaiknya. “Abang capek? Pengen istirahat. Kalo gitu, Enza cuma mau ngucapin selamat istirahat abang, bahagia disana ya abang. Enza sayang abang.” Enza mengecup dahi Aji, ia peluk raga yang sudah tidak bernyawa itu, senyumnya cerita seolah Aji hanya pamit tidur untuknnya  dan besok pagi Enza masih bisa melihat Aji dikamarnya, menjahilinya dan dapat mendengar tawa Aji.

Setelahnya, Enza tidak tahu apa yang dilakukan oleh Mama, Mas Arya dan Orang – Orang berpakain putih itu pada Bang Aji, Enza hanya berdiri, di saku jaketnya ada Macaroni, camilan favorit Bang Aji, Enza tak sengaja membelinya kemarin disekolah, niat hatinya ingin memberi pada Aji, sayangnya setelah malam ini sampai kapanpun Aji tidak akan pernah bisa menerimanya.

“Kak,” Panggil Enza. Enza berdiri di hadapan Jingga, wajah kekasih kakanya itu begitu berantakan, Enza hanya punya selembar tisu, ia berikan pada genggaman Jingga, dan makaroninya ia putuskan untuk berikan pada Jingga. Enza terkekeh, “Kakak tu rapi – rapi dulu sana, kita nggak lagi pesta hallowen sekarang,” Enza masih bicara seperti biasanya, seolah ia tidak mendengar kabar duka sama sekali. Hingga, Enza mendengar derap langkah terburu – buru.

“Enza,” Panggil Mbak Rojer khawatir, Enza melambaikan tangannya tersenyum riang. “Mbak titip Kak Jingga ya, Mas Arya lagi sibuk sama Mama. Enza pengen keluar sebentar.” Ujar Enza. Mbak Rojer menatap Enza khawatir, tidak ada sepatah katapun yang keluar dari belah bibir Kak Rojer, selain anggukan. Enza kembali menatap Jingga, “Kak, makaroninya dimakan. Bang Aji suka itu,” Pesan Enza.

Enza berjalan pelan, angin malam ia biarkan menyapu wajahnya, rasanya dingin dan begitu menggigil. Diantara banyaknya kehilangan, Enza paling tidak ingin merasa kehilangan yang ini. Aji itu dunia, kehilangan Aji sama saja kehilangan dunianya. Tapi Enza juga pernah berjanji pada abangnya itu, jika tanpa Ajipun dunia Enza harus berjalan dengan semestinya, selayaknya dan sebaiknya. Enza menatap rumput liar di sekitar trotoar jalan sepanjang rumah sakit, biasanya akan ada waktu dimana Enza dan Aji duduk berdua mencabuti rumput liar dan berbicara apapun tentang hari yang sudah mereka lalui. Kadangkala, Enza akan mendapati abangnya dengan wajah suram, dan satu – satunya penghibur paling baik diantara mereka hanya kacang rebus, selagi menunggu gerobak kacang rebus lewat Enza hanya akan mendengar misuh – misuh Aji.

“Hari ini abang nggak ada,” Ujar Enza duduk ditrotoar, matanya memerah, “Enza sendirian, Lanjutnya lagi, satu tetes air mata lolos.

“Rasanya hampa Bang, sampai menangis saja susah rasanya.” (Bersambung)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: