Bagian 23: “Rasanya sakit Ji, untuk kehilangan lagi.”
Ary--
I hate to turn up out of the blue, uninvited
But I couldn't stay away, I couldn't fight it
I had hoped you'd see my face
And that you'd be reminded that for me, it isn't over
Never mind, I'll find someone like you
I wish nothing but the best for you, too
"Don't forget me," I beg
I remember you said
"Sometimes it lasts in love, but sometimes it hurts instead"
"Sometimes it lasts in love, but sometimes it hurts instead"
-Adele, Someone Like You
֍♠♠♠♠֍
“Kehilangan itu hal biasa, bisa jadi kita yang merasa kehilangan atau kita yang membuat rasa kehilangan itu ada”
-Aji, no title-lah!
>>>***<<<
Arya tidak tahu bagiamana ia harus mengendalikan dirinya sekarang, mati-matian ia tahan air matanya yang ingin tumpah sejak ia mengangkat telpon miliknya dan mendengar kabar tentang adik pertamanya itu. Derap langkahnya terburu – buru, bahkan tak lagi ia pedulikan sumpah serapah yang dilantarkan oleh orang – orang sebab ia yang tak sengaja menabrak mereka. Gendang telinganya berbunyi penging, nafasnya terputus – putus saat sampai di depan Mama yang tengah menjerit. Arya tidak tahu apa – apa dan jika bisa ia juga tak ingin tahu, sayangnya otak Arya seolah mampu mencerna dengan sendirinya peristiwa yang terjadi di depan matanya. Mama pasti bercanda, mengapa Mengapa Mama harus sihisteris itu saat Aji baik – baik saja, Aji masih baik – baik saja.
“Ma,” Panggil Arya serak, satu kedipan saja derai Kristal yang sudah sedari ia tahan pasti tumpah. “Aji dimana?” Bisik Arya, suaranya nyaris hilang. “Mas pengen ketemu adek,” Akhirnya Arya memanggil Aji dengan sebutan ‘adik’, pernah satu hari Aji mengekori dirinya hanya untuk mendengar Arya memanggilnya Adik, tapi Arya tak pernah mengabulinya, sebab katanya Aji terlalu beringas untuk tipe adik yang Arya inginkan. Saat itu Aji hanya mencebik, yang ditertawakan oleh Arya, namun saat ini sumpah demi tuhan, Arya akan memanggil Aji adik sepuas Aji, asal anak itu berdiri di depannya dan tertawa, bahkan Arya berjanji tidak akan membalas satupun kejahilan adiknya atau memarahi Aji, jika Adiknya itu dapat mengganggunya sekarang.
Mama tidak menjawab, tangisnya histeris, tatapannya kosong seolah setengah jiwanya sudah tak ada lagi, “Aji..anak mama, jangan tinggalin mama. Bangun sayang, abang kuat kan? Abang jangan tinggalin mama.” Mama hanya terus bergumam, disampingnya ada Jingga yang sama terpukulnya, menggengam lengan Mama erat, menahan Mama yang Arya yakin tidak lama lagi pasti tumbang.
Arya mendenger roda brankar yang terputar, Arya menatap gamang brankar yang tertutup kain putih itu, dirinya menatap pria paruh baya yang berjas putih, berharap sinar mata itu menjelaskan bahwa setelah kapten mereka tidak akan lagi mendengar kabar duka. Nyatanya Arya harus siap tidak siap harus melihat kepala itu tertunduk, menyiratkan luka tak kasat mata pada hati setiap orang disini. Arya tertawa pelan, tidak mungkin kan? Konyol rasanya manusia seperti Aji lebih dulu dibanding dirinya, Arya tidak bisa, Arya tidak bisa kehilangan lagi. Roda brankar itu tidak lagi berputar, tadinya nyaris hampir keluar.
Tangan Arya gemetar, kain putih itu ia singkap perlahan, dan Arya dapat merasakan detak jantungnya berhenti sesaat, wajah yang biasa tersenyum kini hanya Aji dapati dengan wajah datar dan mata yang tertutup. Arya berlutut, tak lagi mampu menopang tubuhnya, “Ji, bercanda kan?” Tanya Arya, air matanya mengalir, ia genggam lengan Aji yang kini terasa sangat dingin. “Ji, bilang sama mas kalo kamu bakal bangun.” Ujar Arya lagi, namun Arya tak mendapati suara apapun selain detik jam yang terus berdentang, menyayat hatinya setiap saat. Arya menaruh telapak tangan Aji di pipinya, berharap adiknya itu dapat merasa hangat dengan suhu tubuhnya, “Dek, kamu bakal bangun kan?” Arya menangis pilu di samping brankar Aji, ia genggam tangan adiknya seerat mungkin, berharap sebuah keajaiban jika tangan itu akan menggenggam kembali tangannya.
“Dek, bangun. Mas nggak akan marah kalo kamu cuma bercanda, mas janji buat ngabulin semua permintaan kamu. Tapi bangun, kamu yang bilang kalo mas kerja buat manjain kamu. Kalo kamu pergi, mas kerja buat siapa?” Arya terisak, nadanya gemetar, rasa sakit dan perih menggunung di hatinya, entah sejak kapan Arya mulai merasa semesta sangat tidak adil padanya. Kehilangan kapten saja keluargnya hampir gila, apalagi kehilangan matahari mereka. Aji benar, tidak ada sosok Aji yang seperti Aji, Aji anak mama hanya satu, Aji adik Arya hanya satu, Aji abang Enza hanya satu, hanya Setiaji Archandra.
Arya memeluk Aji, ia menangis hebat, mengapa harus Aji diantara banyak kehilangan yang harus ia rasakan. Arya belum sempat memberikan apa yang adiknya itu inginkan, Arya belum sempat memanjakan adiknya itu, Arya belum mencapai kesuksesannya untuk membuat Aji bahagia, Arya merasa gagal kesekian kalinya. “Kamu nggak suka sama mas ya? Sampe kamu cepet banget pengen ninggalin mas. Mas janji bakal manjain kamu..” Ujar Arya, “Mas janji untuk selalu manggil kamu adik,” lanjut Mas Arya pelan, “tapi tolong bangun,” bisik Mas Arya sepelan mungkin.
Hari itu seluruh tubuh Arya meluruh, tangisnya, jiwanya, hatinya, semuanya hancur berkeping – keping tanpa sisa. Duka itu datang lagi, tanpa aba – aba, menghantamnya begitu saja, hingga rasanya ia sudah mencapi titik batasnya. Dimana ia akan menemukan senyum yang sama, dimana ia akan menemukan tawa yang sama lagi, tidak ada, ternyata kehilangan itu benar terjadi. Diantara pilunya hari itu, Arya berbisik, nyaris tanpa suara.
“rasanya sakit Ji, untuk kehilangan lagi.” (bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: