Bagian 14: “Tragedi Ayam Jalan”

Bagian 14: “Tragedi Ayam Jalan”

Ary--

Indah

Terasa indah

Bila kita terbuai dalam alunan cinta

Sedapat mungkin terciptakan rasa

Keinginan saling memiliki

Namun bila

Itu semua dapat terwujud

Dalam satu ikatan cinta

Tak semudah seperti yang pernah terbayang

Menyatukan perasaan

Tetaplah menjadi bintang dilangit

Agar cinta kita akan abadi

Biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini

Agar menjadi saksi cinta kita

Berdua

֍♠♠♠♠֍

“Jingga kita nggak pernah tau namanya naas. Jadi tolong jangan putusin aku!”

-Setiaji, Manusia bucin Jingga 2022

“Makanya kalo cinta tu cinta aja, nggak usah sampai bego!”

-Jingga, Manusia benci(cinta) Aji 2022

>>>***<<<

Aji menyambut Jingga dengan senyuman paling manis yang ia miliki, sedang sang empu yang ditatap mencebik kesal dengan wajah sayu setengah mengantuk, alih – alih mengusap dan mengacak rambut Jingga seperti biasa, Aji malah mencubit pipi kekasihnya itu keras, hingga meninggalkan jejak merah disana.

“Aji!!! Pipi aku melar entar!” Kesal Jingga, diusapnya pipinya berkali – kali dan menatap Aji dengan aura permusuhan yang kental. Aji terkiki geli, turut mengusap pipi Jingga, yang sayangnya segera ditepis Jingga dengan kasar.

“Kok bisa sih kamu tiap hari keliatan makin imut, aku gemes jadi pengen gigit.” Jujur Aji, entah sejak kapan pipi Jingga berkembang dengan sangat pesat, pipi tirus itu berubah menjadi chubby hanya dalam waktu beberapa bulan, dengan rona merah alami miliknya, Jingga terlihat semakin cantik dimata Aji. Kapan sih memangnya Jingga tidak terlihat cantik dimata Aji?

“Ngerdus terus! Cepeten berangkat, katanya masih mau beli bubur ayam.” Ujar Jingga cepat, semakin lama dibiarkan Aji memujinya, selama itu pula Jingga tidak dapat menahan rasa gelinya. Bahkan setelah sekian lama bersama Aji, perasaan itu masih sama setiap Aji menggoda Jingga dengan gombalan jayusnya. Bukan berarti Jingga tidak suka, hanya saja Jingga tidak selalu siap untuk debaran jantungnya yang tiba – tiba menggila, atau perasaan mualnya saat rasanya perut miliknya penuh dengan kupu – kupu.

Jingga bersiap naik ke boncengan Brom, namun Aji segera menahan Jingga. “Eits, passwordnya dulu dong!” Tahan Aji yang dibalas putaran bola mata malas oleh Jingga.

“Jingga sayangnya Aji, sayang banget titik nggak pakai komaaaaaa…” Nada bicara Jingga bernada dengan wajah masam. Namun, walau begitu Aji tetap tersenyum lebar. Tidak semata – mata Jingga mengatakannya, Aji akan memperbolehkan Jingga menaiki Brom—motor kesayangannya—begitu saja. Aji memutar arah duduknya, menghadap Jingga yang kini berdiri di hadapannya. Aji mendekap Jingga erat, menyembunyikan wajah kekasihnya yang tingginya hanya sebatas dadanya itu.

“Cewek aku kok pendek banget sih,” Ejek Aji pada Jingga, Jingga tidak membalas apapun perkataan Aji, semakin menenggelamkan dirinya di dalam dekapan Aji, mencari posisi paling nyaman untuk terus menempel pada Aji. Bagi Jingga, Aji itu sudah seperti charger-an untuknya, hanya dengan pelukan sederhana dari Aji, Jingga akan merasa baik dan nyaman. Perasaan hangat itu terus menelusup setiap harinya, tertanam di dasar hatinya, Jingga jatuh sedalam – dalamnya pada Aji.

(Dari bagian ini ke bagian selanjutnya, adegan ulang dari bagian tiga belas, karena aku ngerasa bagian tiga belas agak tidak jelas, aku ulang ya. Happy reading!)

“Ji! Kalo kamu ninggalin aku cuma demi cewe lain, awas aja!” Ancam Jingga tiba – tiba, yang membuat Aji mengernyit heran, alih – alih menenangkan Jingga, Aji malah menggoda Jingga.

“Emangnya kamu berani ngapain?” Tanya Aji menatap Jingga remeh, Jingga terdiam dengan mata melotot. “Ya berani ngelabrak pelakor lah, terus nangis, habis itu aku culik kamu terus aku pukulin sampai mampus!” Aji tidak bisa tidak tergelak mendengar jawaban Jingga.

“Dek, besok kalo ada orang yang ngasih permen jangan mau ya!” Ingat Aji pada Jingga seperti anak kecil, Jingga memukul punggung Aji pelan, bibirnya berkomat – kamit menyumpahi Aji yang tidak dapat didengar jelas oleh Aji sebab kecepatan Jingga berbicara. Aji memeluk Jingga semakin erat, menggerakkan tubuh Jingga ke kiri dan ke kanan, layaknya anak kecil yang senang mendapat hadiah bonekanya.

“Aji pusing!” Keluh Jingga, Aji tersenyum lebar. Tatapan keduanya bertemu, mengunci satu sama lain. Salah satu diantaranya mengulas senyum, tentu yang lainnya tidak dapat tidak mengulas senyum. Aji memperhatikan setiap inci wajah Jingga, kekasihnya ini berapa lama pun Aji pandanga, Aji tidak akan pernah bosan. Entah sejak kapan, jarak wajahnya dan Jingga sangat dekat, bahkan hidung satu sama lainnya bergesakan, dan Aji juga tidak tahu sejak kapan Jingga menutup matanya, meperlihatkan bulu mata lentik nan indah itu. Namun, ini tentang Jingga dan Aji, dimana durasi momen romantis mereka tidak akan pernah lebih dari lima menit. Seperti saat ini, susah – susah Aji membangung momen intim dan romantis diantara mereka, Jingga malah menghancurkannya dengan terus memaju – majukan bibirnya.

“Ji, kapan elah mau ciumnya?” Bisik Jingga pelan, Aji yang berusa menahan tawanya mati – matian sedari tadi, mau tidak mau akhirnya tertawa terbahak – bahak, posisinya masih memeluk Jingga. Jingga membuka matanya, menatap Aji dengan raut bertanya.

Aji menepuk dahi Jingga keras, tawanya segera diganti dengan delikan sebal, jika sudah berubah seperti ini, Aji tidak ada duanya dengan orang yang memiliki kepribadian ganda, “Si eneng minta cium – cium aja, nikah dulu baru boleh gitu!” Pesan Aji kesal dengan wajah sinis.

Jingga terkekeh, “Aduh! Gimana ya, bang Ajinya kelewat ganteng jadinya eneng sering khilaf,” Goda Jingga mengedipkan sebelah matanya. Aji berdehem, masih menampilkan raut wajah tidak pedulinya, padahal dalam hatinya ia berjingkrak senang mendengar pujian Jingga.

Aji memasangkan helm pada Jingga, Jingga menatap Aji intens, sedangkan Aji menghindari pandangan Jingga sebisa mungkin. “Akangnya kalo mau senyum, senyum aja udah!” Goda Jingga lagi, yang berhasil membuat Aji mengulum senyum. Aji segera menstarter Brom, “Apaan sih?! Naik sini, cepeten!” Suruh Aji, Jingga tertawa menaiki Brom, memeluk erat Aji dari belakang.

“Makin sayang deh sama Bang Aji!” Goda Jingga yang kemudian tertawa terbahak – bahak. Walau laki – laki, Aji juga bisa malu, bisa blushing, sekarang dimana Aji harus menaruh wajah memerahnya hah?! Dasar Jingga!

***

“Ji, aku gugup mau ketemu mama kamu, keluarga kamu bakal suka nggak sama aku?” Tanya Jingga sehabis membeli bubur ayam di depan komplek rumah Jingga, sebentar lagi pasti akan sampai dirumah Aji. Semakin dekat dengan rumah Aji, semakin Jingga merasa kematian menjemputnya lebih cepat.

“Kemaren siapa yang diajak ketemu Senja semangat banget?” Tanya Aji melirik Jingga dari kaca spion motornya, mata Jingga berkaca – kaca, “Aku takut Aji!” Pekik Jingga, Aji tertawa.

“Apa sih yang harus kamu takutin Jingga? Keluarga aku tuh baik – baik kok, nggak ada tuh mau makan manusia yang lain.” Balas Aji terkikik pelan, Jingga menatap Aji kesal.

“Jingga kamu nggak perlu takut apapun, gitu – gitu mereka semua didikan kapten Chandra, orang yang paling mencintai kedamaian dan kesahjetraan antar sesama hehe. Kamu tau Senja kan? Walau Senja nyeleneh begitu, dia adik aku yang paling nurut. Kalo dia nggak nurut, dia nggak akan mau itu setiap hari harus ngelakuin tiga syarat yang aneh – aneh itu, bisa aja kan dia langsung minta ke mama tanpa aku. Tapi, dia tetap biarin aku ngelakuin itu buat dia. Mas Arya, begitu – begitu Mas Arya tu orangnya pemalu banget, coba kalo seandainya kejadian malam itu nggak terjadi, yakin nih aku Mas Arya nggak akan sama Rojer, tetap aja tuh jadi jomblo manahun. Mama, apalagi Mama. Mama itu udah kayak bidadari, walau aku sering jahilin mama dan Mama selalu marahin aku, mama tu paling seneng kalo ada cewek main ke rumah, kata mama lebih enak ajakin teman mainnya ke rumah dibanding nongkrong – nongkrong di luar.”

“Aku makin takut, akunya yang nggak baik.” Jingga membalas pandangan Aji, melalui kaca spion yang menangkap banyangan mereka.

“Kamu tau Jingga, satu kebaikan aja yang kamu lakukan, maka kamu itu manusia baik. Ingat, manusia itu nggak ada yang jahat, kadang dunia ngebuat mereka untuk melakukan hal yang nggak mereka inginkan. Walau dengan alasan apapun, kejahatan itu nggak dibenarkan. Tapi, nggak ada manusia yang benar – benar pengen jadi manusia jahat. Jadi kamu harus percaya diri, selama kamu masih mau melakukan kebaikan walau satu dan kecil, kamu udah jadi sebaik – baiknya manusia.”

Jingga menangis, “Aji jangan bijak – bijak dong, kan aku jadi terharu dengernya,”

Aji tertawa, pandangannya jatuh sepenuhnya pada Jingga. Naasnya, terpesona dengan Jingga lama – lama juga sama tidak baiknya, didepan sana seeokar ayam tengah melenggang dengan cantiknya, mengibaskan bulu – bulunya ke kiri dan kekanan.

“AJI AWAS!” Teriak Jingga kuat, membuat Aji terkejut, karena tidak bisa menahan keseimbangannya, Aji dan Jingga menyeruduk pohon kemudian nyungsep di tengah got besar yang tak jauh dari rumah Aji. Aji sepenuhnya penuh dengan bubur hitam sedangkan Jingga setengah badannya. Jingga menatap nyalang Aji, dapat ia rasakan beberapa bagian tubuhnya perih dan nyeri.

“SETIAJI ARCHANDRA SIALAN!” Pekik Jingga keras. (Bersambung)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: