>

Multiverse Simpang Lima Kota Cinta: “Superstar Setiaji Archandra”

Multiverse Simpang Lima Kota Cinta: “Superstar Setiaji Archandra”

Ary--

AJI sibuk mengipas dirinya sedari tadi, menempelkan dirinya di depan pintu lemari pendingin dengan gaya nestapanya, sedang Jingga tengah memborbardir dirinya sendiri dengan kipas jumbo yang diperuntunkan untuk seluruh audiens yang ada diruangan. Namun, sekali lagi sangat disayangkan sebab Jingga menguasinya untuk dirinya sendiri. Sedangkan, Mama dan Mas Arya duduk tenang di sofa atas panggung yang memang disediakan untuk mereka, sesekali terdengar keluhan panas pada keduanya. Sedangkan Enza dan Sakul tengah menggelepar di atas lantai, menggulingkan diri mereka dari satu arah kearah lain.


yamaha--

“Guys, balik ke tempat masing – masing, entar lagi on air!” Perempuan dengan hijab yang tengah bertugas menjadi Pembina acara sekaligus pengatur acara tersebut mulai menyiapkan tokoh – tokoh yang terlibat dalam cerita Simpang Lima Kota Cinta, “Gila lo miskin banget sumpah, udahlah ngundang kita nggak dibayar, nyediaan ruangan melebihi panasnya nereka jahannam aja!” Gerutu Aji, duduk di samping Mama, tangannya terus mengipasi wajahnya.

“Harap maklum, gue emang miskin. Tapi tanpa gue, lo semua nggak ada.” Pungkas perempuan tersebut kalem, Sakul menggeplak kepala belakang perempaun tersebut, “Sok ente, ingat ada mati, ada siksa, kebanyakan dosa entar!” Ingat Sakul ngawur, Enza mengerut bingung.

“Apa kaitannya bang?” Tanya Enza, Sakul memasang pose berpikirnya sebentar kemudian mengangguk – angguk, “Nggak ada cuma pengen bilang aja.” Ujar Sakul yang langsung dihadiahi lemparan sepatu oleh si perempuan pembawa acara. Keributan terjadi beberapa saat, hingga suara gebrakan meja sontak kompak membuat mereka diam.

“Berisik!” Ujar Jingga, dirinya tengah kepanasan, dan mendengar perdebatan tidak berguna itu sama saja mengulur waktunya untuk berada di tempat super panas itu lebih lama. Jingga mengambil posisi di samping Aji, kemudian menyusul Sakul dan Enza. Perempuan si pembawa acara tersenyum hangat menatap mereka, kemudian mengode dalam lima detik mereka akan segera on air. Keenamnya mengangguk serempak. Dan tak lama, perempuan pembawa acara itu mulai membuka acara mereka hari ini.

“Hai..eng, gue harus nyapa gimana ya? Pake aku? Saya?” Tanya perempuan pembawa acara tersebut, yang jelas langsung di respon tepukan jidat oleh keenamnya. “Gue demam panggung sumpah!” Nada bicara perempuan tersebut gemetar, Aji berdecak, mengambil alih, namun sebelumnya ia sempatkan untuk melayangkan jitakan kuat pada perempuan tersebut. “Gaya lo tadi sok banget anjing!” kesal Aji yang hanya dibalas cengiran oleh perempuan tersebut. Aji menghela nafas pelan, “Oke, supaya nggak lebih lama terkurung di dalam ruangan kecil, sempit dan panas ini. Mari kita segera mulai acara tanya jawabnya, please kalo bisa pertanyaanya super singkat aja dimulai dari gue!” ujar Aji.

Pertanyaan – demi pertanyaan mulai meluncur dari seluruh audiens yang hanya menjadi pengamat mereka sedari tadi, Aji mendengarkan dengan baik seluruh pertanyaan yang ada dan menjawab dengan sebisa mungkin, sebaik yang ia bisa. Tidak ada bahasa yag formal, acara ini terkesan santai yang membuat seluruh orang bebas untuk berekspresi.

“Ji, menurut lo sosok Setiaji Archandra itu gimana di cerita simpang lima kota cinta?”

“Nggak gimana – gimana, kayak anak cowo biasanya, sewajarnya menurut gue. Suka main game, penyuka wanita, nurut sama orangtua, hmm..apa lagi ya? Baik sih menurut gue, eh nggak baik juga. Pokoknya ya biasa aja kayak temen cowo kalian, cuma satu sih yang gue sayangin, kenapa harus sebulol itu sama si Jingga, padahal mah Jingga biasa aja tuh.”

Jingga yang merasa dibicarakan segera menatap Aji tajam, Aji yang mengerti segera mengangkat kedua jarinya, membentuk tanda piece symbol perdamaian mereka, “Canda ayang hehe, lanjut!” Ujar Aji.

“Ji menurut lo apa yang perlu diperbaikin dari simpang lima kota Cinta?”

Aji berpikir sesaat, “Banyak,” Jawab Aji lugas, “Alur cerita yang nggak rampung, plot yang masih aneh, kata kata yang masih berulang – ulang. Bahkan gue masih bingung dengan kematian gue yang tiba – tiba disana, ya maksud gue aneh nggak sih dintara scene bahagia yang ditayangin tiba – tiba gue udah mati, nggak dijelasin lagi gue tu kenapa bisa mati. Tapi….itu semua pantas untuk dihargai menurut gue, dibalik amburadul ceritanya itu kita semua masih belajar, dia juga masih belajar buat menulis dengan sebaik mungkin, kita semua pasti tahu dibalik itu dia pengen menciptakan karya yang dapat membantu banyak orang, namun sekali lagi gue tekanin, proses pembalajaran itu nggak mudah, dan dia juga terus berusaha untuk berkembang, jadi bagaimanapun itu, jelek atau nggaknya itu pantas diapresiasi.”

“Ji, makna simpang lima kota cinta tu sebenarnya apa, gue nggak satupun melihat keterkaitan dengan judul?”

Aji tertawa, “Cerita ini nggak rampung, masih tahap perbaikan. Jadi kalo kalian mau nunggu, cerita yang udah di revisi bakal dipublish di wattpa*, tolong kalo tahu segera kunjungi ya hehe. Harusnya dia bersyukur nggak sih punya tokoh sebaik gue!”

“Ji, makna cerita ini apa?”

Aji menggaruk telinganya, “Tergantung cara orang memandangnyalah. gue berharap kalo itu gue, orang bakal liat gue sebagai sosok yang tulus, yang kalo di dunia ini orang kayak gue itu pasti ada walau seribu satu, jadi jangan takut buat lo merasa sendirian. Kalo lo liat sakul, lo bakal belajar untuk menghargai teman lo dan menerima dengan lapang dada sebaik mungkin keputusan orang lain. Kalo dari Mas Arya, lo bakal belajar untuk buat lebih berani ngambil langkah kedepan, dari mama, wih..pasti banyak belajar dan dari Jingga lo belajar untuk tahu kalo yang lo pengen nggak semua bakal ada, kalo lo bukan manusia yang bisa Menuhin seluruh ekspetasi orang – orang terhadap diri lo.”

“Terus Enza?”

“Kalo Enza…” Aji menggantungkan kalimatnya, menatap Enza sendu, tersenyum kecil, “lo harus tau sendiri dari Enza.” Lanjut Aji. “Oke lanjut!” Ujar Aji lagi.

“Ji, menurut lo—”

“KEBAKARAN! KEBAKARAN!” Suara seseorang berteriak, di belakng panggung membuat seluruh audiens lari tunggang langgang tak menentu arah.

“ARGHHHHH”

“AKKHH”

“KEBAKARAN!”

“LARI LARI!!”

Suara teriak manusia bersahut – sahutan Aji mengehela nafas, dirinya panik, namun menatap sang perempuan yang seharusnya menjadi pembicara acara mereka tadi malah santai memainkan ponselnya.

“Kebakaran woi!” Kesal Aji.

Perempuan tersebut mengehela nafas, “Manusia ya gitu, nggak tau yang teriak tadi orang gila yang liat sampah dibakar sama gue!” Ujar Perempaun tersebut mengehela nafas yang ditatap tidak percaya oleh enam orang yang tersisa diruangan tersebut. (*)

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: