Spesial Part Simpang Lima Kota Cinta: “Aji dan Bus Istimewa”
Ary--
BANYAK alasan mengapa Jingga tidak pernah bisa melupakan Aji dengan mudah, sesingkat apapun kisahnya jika itu tentang duka dan kehilangan, maka itu tidak akan pernah menjadi hal yang mudah. Waktunya bersama Aji memang tidak lama, namun jika ditanya, Jingga akan menjawab dengan lantang bersama Ajilah Jingga merasa sebuah kesan kehidupan, entah tentang apapun itu dalam hidup, mau itu hal yang paling sederhana, hingga hal tak berguna sekalipun, jika itu bersama Aji, maka disetiap halnya selalu ada yang membuat Jingga untuk terus belajar.
Jingga menguncir rambutnya, tidak ada yang berubah darinya sejak kepergian Aji kecuali tentang genggaman biasa yang ia rasakan di tangannya, atau atensi Aji yang tak lagi ia temui dengan senyum bodohnya. Namun, bukan berarti Jingga tidak mampu menjalankan hidupnya dengan baik, ada atau tidaknya Aji, hidupnya harus berlangsung sebaik mungkin, Jingga masih punya keluarganya, mamanya menantinya untuk sebuah kesuksesan yang mereka dambakan bersama.
“Ji, hari ini aku kangen kamu lagi,” Bisik Jingga, tidak ada ojek pribadi yang senyaman Aji, yang memberikan gombalan dengan bonus kecupan manja di keningnya, atau sebuah pelukan hangat di punggungnya. Ternyata setelah dipikir – pikir, hampir delapan puluh persen hidup Jingga, Aji berkonstribusi didalamnya dengan sangat baik. Jingga menyandarkan kepalanya di kaca bus, sengaja ia habiskan waktunya lebih lama di angkutan umum itu, mendengerkan alunan lagu – lagu dangdut yang diputar secara acak oleh supir, obrolan orang – orang didalamnya, atau desak – desakan yang terjadi di antara mereka. Jika itu Jingga yang dulu, maka kalian hanya akan menemui, Jingga yang terus menggerutu sepanjang hari.
“Ji enakan naik taxi kalo gini, gapapa mahal dikit, yang penting nyaman.” Sebuh percakapan lama kembali menyeruak dalam benak Jingga, tentang Aji dan sebuah bus istimewa, katanya. Jingga dapat kembali melihat Aji tertawa dalam kerumanan orang – orang yang berdiri di bus, terlibat percakapan antah barantah yang sampai kini tak pernah Jingga pahami, sesaat mereka bisa saja membahasa tentang hasil pertandingan bola tadi malam, dan sesaat kemudian Jingga akan mendengar mereka membahas konspirasi dunia yang paling kontrovesional kini. Dulu Jingga tidak mendapati maksud Aji membuat menghabiskan harinya didalam bus yang panas.
Bayangan itu duduk di sampingnya, tersenyum hangat, mengusap kepalanya, sosok yang sangat mirip dengan Aji, “Aji,” Bisik Jingga pelan, matanya memanas, bahkan sebelum bening itu tumpah ia dapat merasakan tangan itu mengusap pipinya lembut, “Nggak malu ya nangis banyak orang gini? Padahal kan aku nggak ngapa – ngapain kamu,” wajah itu mencebik kesal, membuat Jingga menyiratkan senyum ketir. Rasanya sudah seperti gila, namun jika iya Jingga tidak pernah ingin sosok itu hilang bagai angina nantinya.
“Aku kangen tau,” Jingga tidak pernah mengakui perasaanya, selalu Aji yang lebih dulu dan Jingga yang membiarkan kata – kata Aji nanti terbawa angina tanpa pernah ada balasan darinya. Namun, saat ini, Jingga ingin memberitahu Aji, bahwa ia mencintai laki – laki itu dengan sangat dalam, sepenuh hatinya. Aji tertawa, “Udah jangan kangen mulu, kan rame orang, eh baru sadar…cie yang udah mau naik bus,” Goda Aji, Jingga mengusap air matanya, “Ternyata lumayan juga,” Komentar Jingga yang dibalas anggukan oleh Aji.
“Kamu tau kenapa aku sering bawa kamu naik bus ketimbang naik taxi?” Tanya Aji, Jingga menggeleng.
“Kenapa?” tanya Jingga.
“Itu supaya kamu tahu, kalo kamu nggak hidup sendirian,” Ada jeda diantara kalimat Aji, “Coba deh kamu liat ibu hamil yang lagi duduk disana, bisa jadi ia nggak kenal satupun orang yang ada disini, tapi liat berapa banyak orang yang mendoakan dia supaya lancar nanti pas lahiran, liat betapa banyak orang yang ngebuat dia senyaman mungkin dengan posisinya, itu biar kamu bisa tau, manusia baik itu masih ada, bahkan disaat kamu nggak mau percaya. Jingga kamu nggak perlu takut, diantara sulitnya hidup, tuhan pasti selalu ngasih uluran tangan buat ngebantu kamu, bahkan sekalipun kamu hamba paling nggak tau diri yang ia punya.”
“Sekarang liat cowo dan bapak tua disana, mereka nggak kenal satu sama lain. Tapi kamu tau, bapak itu ngasih petuah yang bijak seolah ia lagi ngeliat anaknya yang juga ada di kota orang, dan pemuda itu seolah lagi sama ayahnya yang takut dia kenapa – kenapa, mereka dua orang asing yang saling nggak kenal, tapi dalam waktu sesaat mereka bisa ngelepas rindu, walau sedikit setidaknya mereka juga dapat rasa lega yang sedikit kan. Rindu itu bukan harus kamu liat orang itu, kamu bisa berharap kalo orang itu baik – baik saja dengan ngirim doa, atau kamu bisa ngelakuin apa yang pengen kamu lakuian ke orang yang kamu rindu, setidaknya kamu bisa berharap ada orang baik juga yang memperlakukan orang kamu rindu seperti kamu memperlakukan orang lain.”
“Sekarang dengerin lagu dangdut yang diputar sama si supir, menurut kamu apa semua orang di bus ini suka sama playlist si supir? Nggak, Jingga. Cuma mereka diam aja, dan sebagian malah ada yang menikmati, sebagian lagi, bisa jadi, dia yang nggak suka jadi suka. Dari hal sedasar ini kamu bisa belajar artinya menghargai, kadangkala ada masanya untuk kita diam tanpa protes apapun, karena kita nggak pernah tahu batas bahagianya orang lain.” Aji menatap Jingga teduh, “dan kamu harus tau, kamu nggak akan pernah kesepian selama kamu nggak membatas diri kamu untuk selalu sendiri, Jingga.” Aji mengakhiri kalimatnya, menarik Jingga dalam peluknya. Peluk yang sudah lama tak Jingga rasakan, hangat dan nyaman.
“Mbak, maaf ya tapi saya beneren bingung harus gimana, mbak nangis saya jadi nggak enak ditapapin sama penumpang lain,” Suara itu berbisik, membuat sebuah alarm dikepala Jingga sadar, ini bukan suara Aji, Jingga melepas pelukannya, pria yang duduk disampingnya menatapnya khawatir, bahkan Jingga tidak tahu sejak kapan pria itu duduk disampingnya.
“Kamu siapa?!” Tanya Jingga kaget dengan wajah basah, pria itu gelagapan, wajah paniknya tampak lucu, bola matanya melebar kaget dengan tangan yang menyilang seolah berusaha mengatakan ia tidak bersalah, dan sedetik kemudia ekspresi itu berubah menjadi bingung, menimbulkan beberap kerutan di dahinya, menggaruk kepalanya lucu. Sesaat tingkah bodohnya mirip dengan Aji menurut Jingga.
“S-sa…saya..A- Aji Mbak.” Ujar pria itu menunjuk dirinya, dan detik itu juga Jingga menjatuhkan rahangnya. (Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: