Bagian 13: “Makasih untuk Bertahan Sejauh Ini”

Bagian 13: “Makasih untuk Bertahan Sejauh Ini”

Ary--

Duduk sama rata, berdiri tanpa raja

Inilah kami yang s'lalu bersama

Suka dan duka, kami lewati

Canda dan tawa, kami lalui

-Arul, Duduk Sama Rata Berdiri Tanpa Raja

֍♠♠♠♠֍

“Bertahan di dunia yang sok lucu, suka maksa, dan bajingan gini sulit. Jadi, sebagai manusia udah bertahan sejauh ini, Lo pantas diapresiasi. Jangan merasa kecil dari orang yang baru nginjek tai ayam udah merasa jadi manusia yang paling sial!”

-Aji, bijak bertahun – tahun.

>>>***<<<

Apa Aji pernah bilang, bahwa mencintai Jingga itu sungguh indah dan nikmat, rasanya seperti Aji tengah haus di tengah gurun dan Jingga datang dengan segelas air ditangannya. Pagi ini, saat langit masih biru dan matahari masih sembunyi – bunyi, Aji sudah siap dengan Bromnya, dan di boncengannya ada Jingga dengan pading tebalnya sibuk menggerutu dan wajah setengah mengantuknya yang sangat imut menurut Aji.

“Misuh – misuh mulu dari tadi beb? Semangat dikit dong, masih pagi kale!” Ujar Aji, mengusap lengan Jingga yang melingkar di perutnya. Jingga semakin membenamkan wajahnya di punggung Aji, ditengah paginya yang masih mengantuk, Jingga dapat merasakan debaran jantungnya yang menggila, dan perutnya yang terasa penuh seperti kupu – kupu. Padahal sudah berbulan – bulan yang lalu, tapi rasanya masih sama, masih sama mendebarkannya, masih sama menyenangkannya.

“Rumah kamu sejauh apa memang sampe sepagi ini aku harus udah bangun?” Tanya Jingga kelewat malas, mandi di saat air di kamar mandinya begitu dingin cukup membekukan otaknya di pagi ini. “Kenapa juga Jakarta udah sedingin ini pagi – pagi? tumben.” Lanjut Jingga berkomentar.

Aji terkekeh, menatap sekitarnya dengan senyuman tanpa jeda, suasanya sedikit lembab dan basah sebab hujan yang mengguyur semalaman. Biasanya, ditengah – tengah suasanya seperti ini, Aji akan menghabiskan waktunya bergelung di tempat tidur, jika sekiranya ia bosan, ia akan merocoki Enza. Jika tidak, kegiatannya stuck hanya akan mengbabui Mas Arya, entah menyuruh Arya untuk membuat mie atau menempeli Mas Arya seharian guna mencari kehangatan.

“Namanya Indonesia, Yang. Kalo nggak panas ya dingin.” Balas Aji.

“Tolong itu bahasanya diralat lagi, yang yong yang yong, tolong nama aku Jingga!” Ujar Jingga memutar bola matanya malas. Namun, tak urung ia menerbitkan senyumnya selebar mungkin, salah tingkah dengan panggilan manis dari Aji untuknya.

“Dih sok nggak mau padahal seneng, ngaku aja!” Bantah Aji, Jingga menepuk pundak Aji pelan, “Nanti jadi beli bubur nggak? aku juga sekalian mau make up biar nggak pucat.” Kata Jingga. Aji mengangguk, menjalankan Brom lebih kencang, “Pegangan yang erat!” suruh Aji memekik senang.

***

“Ma,”

“Ma,”

“MAMA!!” Rengek Aji, berteriak memanggil Mama. Mama menatap Aji nyalang, mengusap telinganya panas. Di depannya Mama ada Jingga yang luka – lukanya tengah diobati oleh Enza, sedangkan di samping Mama, Aji tengah berdiri dengan kaki yang terangkat sebelah, kedua tangan yang terangkat dan telinganya yang dijepit dengan jepit jemuran. Sejujurnya, jika saja Jingga tidak ada di hadapannya, Aji ingin merengek dan menangis di depan Mama.

“Kak masih sakit?” Tanya Enza meniup luka yang ada di punggung tangan Jingga, Aji mencebik kesal. “Ma, luka Aji yang belum diobati,” Adu Aji, kali ini matanya berkaca – kaca.

Mas Arya mengetok kepala Aji dengan sendok ditangannya, “Makanya, kalo bawa cewe tu hati – hati. Itu udah luka – luka anak gadis orang, mau lo apain? Udah capek – capek skincarean sama jaga badan. Eh, lo lecetin gitu aja!” Nasehat Mas Arya, dengan nampan yang berisi bubur ayam ditangannya.

Mama menjewer kuping Aji kuat, “Mama tu kesel banget ya liat kamu nggak bisa jaga menantu mama baik – baik. Ini mama mau bilang apa ke orangtuanya hah?!” Kesal Mama pada Aji, mengusap wajahnya kasar. Mama menatap Jingga kasihan dengan penuh rasa bersalah. “Noh, Liat! Kamu liat nggak gara – gara kelakukan kamu.” Mama semakin menjewer telinga Aji kuat.

Aji meringis, namun tak bisa membantah Mama sedikitpun karena semua perkataan Mama benar. Niat Jingga yang datang dengan manis dan cantik untuk bertemu Mama, harus berubah sakit dan asem sebab Aji yang tak sengaja menyerempet jalan di persimpangan kompleknya. Bubur yang sudah di beli pun sebagian pecah, menyatu dengan tanah. Untungnya. Mas Arya masih berbaik hati untuk membelikan mereka semua sarapan, masih bubur yang sama.

Sakul dan Rojer yang juga bertandang ke rumah keluarga Chandra hanya cekikan geli melihat nasib sial Aji, menikmati bubur mereka dengan khidmat. Walau ditengah marahnya Mama, Aji masih sempat mengirim sinyal pada Sakul dan Rojer untuk diam, mendelik kesal dengan wajah kelewat masam.

“Tan, makan dulu. Si Aji nggak akan kemana – mana, nanti maag tante malah kambuh.” Suruh Rojer pada Mama, Mas Arya tersenyum melihat perhatian Rojer pada Mama.

(Diantara semua ini cuma mau bilang, maaf kalo ceritanya nggak ngefeel. Makasih udah baca sampai sejauh ini, dan semoga hari ini lebih baik, lebih bahagia dari hari – hari yang udah lalu, author)

“Duh…calon istri aku perhatian banget deh!” Puji Mas Arya yang langsung dibalas Rojer dengan cubitan maut di perut Arya. Walau begitu, semburat merah masih menjalar di pipi Rojer.

Mas Arya terkekeh, Mama masih memberengut kesal, namun tak urung ia mengikuti suruhan Rojer, “Kul, ambil P3K sana, obatin Aji ya tolong.” Suruh Mama yang langsung disikapi Sakul dengan gerak hormat, “Siap, Tante-Mama.” Balasnya.

“Jingga, ayo makan nak. Atau mau Mama suapin? Masih sakit lukanya?” Tanya Mama perhatian, Jingga menggeleng pelan dengan senyuman lembut, “Nggak kok Ma, udah baik – baik aja.” Sejujurnya Jingga cukup canggung memanggil Mama Aji dengan sebutan Mama, namun melihat keluarga Aji begitu menyambutnya dengan hangat dan tangan terbuka, sedikit demi sedikit Jingga merasa nyaman dengan keluarga kecil ini. Bahkan, Jingga cukup kaget dengan Sakul yang ternyata sahabat Aji yang bertitel Sahabat Sehidup Semati Aji titik nggak pakai koma. Padahal sudah berbulan – bulan hubungannya dengan Aji, bodohnya Jingga baru tahu sekarang. Belum lagi, status Jingga sebagai mantan kekasih Sakul cukup membuatnya untuk terasa sangat tidak nyaman saat pertama kali bertandang di rumah Aji. Untungnya, tidak satupun dari mereka yang membahasnya.

“Duduk My bro!” Suruh Sakul, menarik lengan Aji untuk duduk di sebelahnya, Jingga sudah menyantap buburnya. Sakul membantu Aji melepaskan jepitan jemuran yang menggantung di telinga Aji, warna telinga Aji sangat merah. “Sakit nggak?” Tanya Sakul.

“Tanya lagi gue tempeleng nih!” Kesal Aji, “Ya jelas sakitlah!” Sambung Aji kemudian. Sakul terkekeh, “Ternyata Tante-Mama kalo marah serem juga ya.” Bisik Sakul pelan yang dibalas putaran bola mata malas oleh Aji dan Mas Arya yang mendengarnya.

“Tolong kalo mau ngegibahin mak gue suaranya lebih dipelanin, kedengeran nih bisikannya ampe komplek sebelah!” Sindir Mas Arya. Sakul mengangkat kedua bahunya acuh, kembali fokus dengan kegiatannya membantu Aji mengobati lecet di tubuhnya.

“Tante-Mama?” Setelah sekian lama. Akhirnya Jingga bersuara, semua orang yang mendengar pernyataan Jingga diam mematung, sebabnya tidak ada yang pernah membahas panggilan Sakul untuk Mama. Bukan karena mereka tidak mau, namun membahas panggilan itu sama saja dengan membuka luka lama Sakul. Aji berkilah, “Biasa si Sakul orangnya suka rada kagak bener,”

Jingga hanya manggut – manggut, “Lucu dengernya Tante-Mama,” Komenar Jingga tertawa pelan, yang diikuti tawa seluruh manusia yang ada dirumah Chandra. Bukan karena perkataan Jingga lucu, melainkan tawa Jingga memang semenular itu. Suasana mulai menghangat, Jingga dan Mama banyak bertukar cerita, Enza bermanja – manja dengan Rojer yang terus saja dikeluhi oleh Mas Arya. Sedangkan Aji dan Sakul diam menikmati momen mereka, Aji yang kesakitan dan Sakul yang sibuk dengan luka Aji.

“Kul.” Panggil Aji

“Hmm?” Dehem Sakul menjawab seadanya.

“Bertahan di dunia yang udah kek bajingan ini sulit. Perjuangan lo pantes untuk diapresiasi. Makasih udah bertahan udah sejauh ini.” Bisik Aji pelan. (bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: