Bagian 9: “Duka yang Terlalu Bahagia”

Bagian 9: “Duka yang Terlalu Bahagia”

--

“AYAH!! KAKAK GILA!!” Jaya berlari keluar kamarnya dengan wajah merah, karena Jaya memiliki kulit yang terlampau putih, tentu orang –orang dengan mudah mengetahui bahwa wajah Jaya kini sudah merah sepenuhnya. Matanya berair dengan nafas tersengal, berdiri di belakang Ayahnya yang tengah membersihkan meja ruang tamu, Ibu yang dibalik wajan penggorengan, hanya terkekeh, masalah setiap pagi yang akan dialami keluarganya.

“JAYAAA~~~” Rena—kakak Jaya memanggil Jaya dengan suara mendayu, membuat Jaya yang dibelakang Ayahnya memandang horror.

“Ayah, marahin kakak dong. Jaya udah gede masa diketekin. Ketek kakak itu bau!” Jaya bersungut – sungut bertahan dengan posisi bersembunyinya. “Ketekin balek dong, Ya!” Suruh Ayah jahil pada Jaya, yang dibalas Jaya dengan gelengan cepat. Membalas Kakaknya sama saja dengan cari mati, Jaya tidak sanggup.

“Masa anak cowo kalah sih sama cewe!” Komentar Rena, Jaya mendelik sebal, “Itu cuma karena kakak ya, kalo nggak kakak udah Jaya balas sampe mampus!”

“Memangnya kakak kenapa?” Tanya Rena mengangkat sebelah alisnya. Yang diikuti oleh Ayah dan Ibunya dengan raut bertanya. Jaya menaikkan bola matanya, menghindari pandangan semua orang. Namun, semakin dihindari, Jaya semakin mendapat tatapan lebih Intens.

“Hmm,” Jaya bergumam pelan, masih di balik tubuh Ayah, “Banyak utang budi,” Bisik Jaya teramat pelan, yang masih dapat di dengar tiga orang dirumahnya, sontak tertawa. Sedangkan Jaya menyembunyikan wajahnya yang semakin memerah di belakang punggung ayah.

Jaya tidak akan pernah membalas Rena, seusil apapun kakak satu – satunya itu. Sedari kecil Jaya selalu bersama Rena, bahkan Jaya masih mengingat kala kakaknya harus babak belur dan masuk rumah sakit hanya karena membelanya dari teman laki – lakinya yang terus membully-nya. Jaya menyesali, mengapa dulunya ia begitu lemah, padahal kan Jaya laki – laki, seharusnya Jaya yang melindungi kakaknya, bukan sebaliknya. Rena pula lah yang merawat Jaya sedari kecil, sebab saat itu Ayah dan Ibunya harus bekerja siang malam demi memperbaiki keadaan ekonomi keluarga mereka.

“Rena, adeknya jangan dijahilin mulu, kasian.” Peringat Ibu pada Rena yang kini tengah mencomot kentang dan memakannya.

“Jaya tuh bu, makin gede, makin imut. Rena nggak tahan buat nggak usil!” Jawab Rena senang, karena pagi ini ia kembali berhasil menjahili Jaya. Sejak memasuki bangku SMA, Jaya tidak lagi suka dipeluk oleh kakaknya, itulah mengapa Rena sangat berhasrat memeluk Jaya setiap paginya, mengapit kepala Jaya diantara ketiaknya. Rena sedikit tidak rela, adik kecil manisnya tumbuh dewasa dengan sangat cepat, dulunya Jaya hanya sebatas pinggangnya, kini dirinya yang hanya sebatas dada Jaya.

“Siapa bilang Jaya imut?! Jaya nggak ada imut ya!” Protes Jaya duduk di dekat Ayahnya, Rena tidak akan pernah berani menganggu Jaya jika didekat Ayahnya, karena Ayahnya tidak akan segan untuk mencubit Rena. Berbeda dengan ibunya yang sesekali masih mendukungnya menjahili Jaya.

“Imut banget nih anak ibu!” Ujar Ibu mencubit pipi Jaya sebelah, Jaya mencebik kesal. “Yah, Jaya ganteng kan?! Nggak ada imut – imutnya.” Jaya mencari pembelaan dari Ayahnya.

Ayah menangkup wajah Jaya, memperhatikannya dengan seksama, “Jaya ganteng kok, kan anak ayah, mirip ayah gantengnya!”

Jaya mendengus, “Ayah mah jelek!” ucap Jaya yang dihadiahi tawa oleh Ibu dan Kak Rena. Serta wajah masam Ayah.

“Terus kalo ayah jelek, kamu dapat gantengnya dari mana coba? Karena kamu mirip ayah, makanya ganteng!”

“Dapat gantengnya ya dari tuhan, Ayah tuh jelek mirip Kak Rena, kalo Jaya mirip mama. Mama cantik, Jayanya ganteng!”

“Ini kalo nggak Ayah maafin, kamu nggak masuk surge loh!” Ancam Ayah.

“Kayak Ayah bakal masuk surga aja!”

Balasan Jaya mengundang tawa lebih keras dari Rena dan Ibunya, perdebatan Ayah dan Jaya tidak akan pernah bosan untuk didengarkan, bahkan Jaya dan Ayah pernah mendebatkan Ayam tetangga siapa yang paling bagus, padahal Jaya dan Ayah tinggal dirumah yang sama, artinya mereka memiliki tetangga yang sama. Pernah satu hari lagi, Jaya dan Ayah berdebat tentang siapa yang paling aneh diantara mereka. Padahal Jaya dan Ayah itu benar – benar copy paste, dari wajah hingga selera humor. Ibaratnya jika mendengar Jaya dan Ayah berdebat itu seperti mendengar monyet ngatain monyet.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: