>

Remaja Peristiwa

Remaja Peristiwa

--

Blrub:

Agana dan Jaya adalah dua remaja yang tidak sengaja terlibat dalam urusan yang sama, pencurian sepeda. Agana mengenal sosok Jaya terasa unik, bagi Agana remaja laki – laki itu istimewa, cara berpikir dan pandangannya seringkali membuat Agana bungkam, menguraikan setiap pertanyaan, kekhawatiran dan kebingungan Agana, Jaya mengajarkan Agana langkah dewasa yang begitu spesial. Berbeda dengan Agana, Jaya selalu memandang Agana itu aneh, bagaimana bisa perempuan yang Jaya temui itu mampu berubah menjadi seseorang dengan kepribadian yang berbanding terbalik, bahkan sesekali Agana tampak tidak seperti Agana, entahlah tapi bersama Agana, Jaya akan selalu tau, langkahnya selalu mampu ia bawa.

Bagian 1: “Agana Sastirana”

Menjadi remaja itu menyusahkan, apalagi dewasa. Namun, terjebak dimasa kanak – kanak juga sama sulitnya, mengapa manusia harus terlahir serumit ini?

-Agana (Remaja beranjak dewasa)

***

Agana berjalan pelan, menikmati angin pagi yang menyapu wajahnya, langit tampak mendung dengan awan biru yang sedikit hitam di sekitaranya, mungkin tidak akan lama lagi akan turun hujan. Matahari belum tampak kedatangannya padahal jam di tangan Agana sudah menunjukkan pukul setengah enam. Udara masih sedingin semalam, membuat Agana lebih merapatkan jaket yang ia gunakan. Harusnya di jam segini, Agana sudah duduk di bangku kelasnya, mengerjakan apapun yang dapat ia kerjakan, menjadi saksi bagaimana sekolahnya yang semula kosong, penuh dengan manusia.

Hari ini tepat hari sabtu, biasanya Agana akan jauh lebih bersemangat dibanding hari biasanya, sebab Sabtu adalah hari favoritnya, karena di hari ini Agana tidak perlu menggunakan rok ketat yang begitu menyusahkannya langkahnya, dan perintilan atribut sekolah yang seringkali ia lupakan. Mata pelajaran di hari sabtu turut menjadi alasan mengapa Agana begitu menyukainya, ia tak perlu menggunkan otaknya memikirkan angka – angka aneh dan rumus rumit yang mampu membakar kepalanya.

“Nggak bang, duluan aja, makasih ya.” Ucap Agana pada supir angkot langgananya. Agana menggengam tali tasanya erat, sebab membiarkan Angkot itu pergi sama saja dengan membiarkan Agana untuk membolos sekolahnya hari ini. Biasanya Angkot dikotanya akan beroperasi di jam 9, dan angkot yang menawarinya tadi memiliki rit tersendiri, sebab rata – rata pelanggannya memang anak sekolah karena itu beroperasi lebih pagi, butuh waktu tiga puluh menit dari terminal untuk sampai ke sekolah Agana. Jika Agana berlari saat ini pun sampai kakinya terasa mau lepas, Agana yakin gerbang sekolahnya sudah di tutup.

Agana mengehala nafasnya pelan, mendudukkan dirinya di bangku taman yang tak jauh dari terminal, hanya berjarak kurang lebih dua ratus meter. Dari tempatnya Agana dapat melihat perlahan, satu demi satu manusia memenuhi terminal tempatnya tadi. Agana menatap sekelilingnya, taman ini masih asri seperti biasanya, walau di tepi – tepinya terdapat sampah kecil yang berserakan, sesekali Agana dapat mencuim busuk dari tumpukan sampah yang masih ada disekitar area taman kala angin berhembus. Padahal jika ditelisik lebih jauh, taman ini tidak akan kalah indah dari taman yang ada di pusat kota, hanya saja masyarakat tidak terlalu perhatian pada sekelilingnya. Agana ingin mencari tempat yang lebih baik, namun untuk saat ini, taman ini adalah tempat paling baik yang bisa ia temui.

Agana membiarkan kepalanya terkulai dengan tas sekolahnya yang ia jadikan tumpuan di depannya, padangannya kosong, sejujurnya Agana tengah menenangkan dirinya, meredam suara – suara yang terus mengecoh di kepalanya, Agana begitu merasa berisik dengan kepalanya, namun  dirinya juga tak tahu cara menghentikannya. Agana menangis, membenamkan kepalanya, hari masih pagi dan Agana sudah terisak saja. Hei! Siapa yang mengawali awal harinya dengan sebuah tangisan, hanya Agana orangnya.

Disisinya, Agana meremas kertas yang menyebabkan tangisnya pagi ini, sebuah kertas panggilan yang dari semalam ia sembunyikan dari kedua orangtuanya. Agana murid teladan di sekolahnya, walau ia bukan siswa yang menyumbang prestasi, namun sesekali Agana masih mewakilkan nama sekolahnya dalam sebuah ajang lomba, walau sampai kini tak satupun yang berhasil ia menangkan, hingga ia duduk di bangku kelas dua belas menengah atas. Agana tidak menyesalinya, ia sudah berjuang sebaik mungkin, melakukan hal terbaik yang ia bisa. Menang dan kalah itu biasa, lebih baik melakukan yang terbaik daripada hanya menjadi yang terbaik.

Agana nakal, namun kenakalannya masih sama seperti remaja umumnya, berkata kasar, bertengkar dengan teman perempuannya, namun Agana tidak pernah sampai harus terlibat dengan aksi kekerasan, termasuk pergaulan bebas. Agana bukan siswi pendiam yang anti sosial, namun Agana juga tidak seterkenall lingkaran pertemanan elit global di sekolahnya. Setidaknya masih ada beberapa orang – orang di sekolahnya yang mengenalinya di luar teman sekelasnya dan guru yang mengajar di kelasnya, itu sudah sangat cukup. Agana meratapi nasibnya kini, matanya memerah dan membengkak, rasanya dibanding anak sekolahan, Agana lebih mirip gelandangan, hanya saja seragam yang ia gunakan masih membenarkan identitasnya sebagai seorang siswi SMA.

Agana masih melanjutkan tangisnya, telponnya berdering sedari tadi, awalnya Agana abai sebab tak mau diganggu sama sekali, namun lama kelamaan Agana kesal sendiri mendengarnya, menambah suasana suram pada diri Agana.

“Sialan banget! Siapa sih yang nelpon?!” Agana melirik sekilas, nama Rayhand tertera di ponselnya. Agana mengernyit bingung, sebab ketua kelasnya yang tidak ada hujan tidak ada badai tiba – tiba menelponnya, tidak biasanya.

“Halo?” Ucap Agana mengangkat telponnya.

“AGANA!! LO NGGAK LUPA KAN KALO HARI INI KITA SUSULAN!!”

***

Agana berlari dengan nafas terputus – putus, kedua kakinya terasa kebas, Agana mengumpati harinya yang begitu sial. Agana merasakan kupingnya yang masih pengang sebab teriakan Rayhand di telpon, matanya berkunang memaksakan dirinya terlalu keras untuk mencapai sekolah, padahal sudah hampir mati seperti sekarang pun, Agana tidak mencapai setengah jarak sekolahnya.

“Sialan, kenapa lo bego banget sih Agana!” Agana mengumpati dirinya sendiri, dengan cara apapun Agana harus sampai ke sekolahnya sebelum jam delapan. Agana mengamati sekitarnya, mencoba mencari sesuatu yang dapat mengantarkannya dengan cepat menuju sekolahnya, nihil, Agana tak menemukan apapun kecuali sepeda usang di sudut jalan.

Agana mencoba mencari peruntungan kepada sepeda tersebut, semuanya masih baik walau terlihat usang, pasti ada pemiliknya, namun jalan yang Agana lalu sepi, kepada siapa Agana harus meminta izin. Oke terserah, siapapun pemilik sepeda itu kini, Agana meminjamnya hanya sebentar hingga ia pulang sekolah siang nanti, setelahnya Agana janji untuk mengembalikannya.

Agana dapat melihat kotak perkakas yang sepertinya baru digunakan, mungkin sepeda ini baru saja diperbaiki. Dari ujung ekor matanya, Agana menemukan kertas tempel pada perkakas tersebut.

“Agas, gue pinjam sepeda lo!” Benar atau tidaknya itu adalah nama pemilik sepeda tersebut, setidaknya Agana sudah meminta izin untuk meminjamnya. Agana tekankan sekali lagi, Agana meminjamnya, bukan mencurinya! (bersambung)

 

 

 

 

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: