Oleh Musri Nauli

Putusan MK mengenai permohonan pengujian UU No. 31 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Kabupaten Lingga Provinsi Kepri yang biasa dikenal dengan perkara “Pulau Berhala” telah usai dijatuhkan. “Pulau Berhala” termasuk kedalam wilayah administrasi Kabupaten Lingga. Artinya “perdebatan” Pulau Berhala telah usai di MK.

Dalam berbagai tayangan di media massa baik yang disampaikan oleh para pengambil kebijakan, para pakar, belum mampu menjawab rasa “kegelisahan” publik. Dalam terminologi ilmu hukum biasa dikenal dengna istilah “Suasana kebathinan (geistlichen hintergrund) belum mampu dijelaskan dengan baik sehingga masih ditemukan rasa “kesal” terhadap “lepasnya” Pulau Berhala.

Penulis sedikit tersentak “walaupun” bisa menduga akhir ending terhadap putusannya. Rasa tersentak selain karena didalam pertimbangan putusan MK yang memuat putusan “memberikan” pelajaran penting terhadap proses hukum yang tengah digulirkan di MK, pertimbangan yang “diberikan” oleh MK membuat kita harus menggali lagi informasi yang penting sehingga kita mendapatkan “pelajaran utuh” tanpa harus saling menyalahkan antara “dahaga” publik dengan penjelasan yang telah diberikan oleh para pengambil keputusan.

Berangkat dari rasa “dahaga” untuk mencari rumusan “sesungguhnya” mengapa permohonan “ditolak”, maka penulis mencoba urun rembug terhadap pandangan MK putusan mengenai “Pulau Berhala”.

 

Kekuatan Pembuktian

Sebenarnya dilihat dari Putusan Mahkamah Agung Nomor 49 P/HUM/2011, pertimbangan MA harus dijadikan landasan penting untuk “mempersiapkan” berbagai bahan untuk persidangan di MK.

Didalam berbagai pertimbangan, MK sebenarnya sudah mengingatkan. MK tetap mendasarkan kepada pertimbangan MA yang berpatokan, Pulau Berhala masuk kedalam Kabupaten Lingga baik dilihat dari histori maupun penguasaan terhadap wilayah. Atau dengan kata lain, Kabupaten Lingga atau Propinsi Kepri “lebih berhak” karena sudah terbukti “memang berkepentingan” terhadap Pulau Berhala dengan mempersiapkan berbagai infrastruktur yang lebih nyata.

Dengan pelajaran yang telah diberikan oleh MA yang kemudian “diperkuat” oleh MK, “penguasaan wilayah” tidak sekedar “statement politik”. Tapi perbuatan nyata yang tidak terbantahkan oleh hukum.

Pertimbangan ini sering dipergunakan dalam sidang-sidang di Pengadilan Umum terutama yang dalam sengketa keperdataan. Dan fakta-fakta yang tidak terbantahkan kemudian menjadi bahan pertimbangan hakim untuk menilai “apakah” penguasaan wilayah merupakan salah satu bukti, apakah permohonan terhadap “sengketa hak” merupakan bukti kongkrit yang tidak terbantahkan.

Namun di sisi lain, tanpa melihat ke belakang baik sebelum putusan MA maupun di MK, penulis menyesalkan, bukti-bukti surat baik peta-peta maupun berbagai bukti lainnya “tidak mampu” diimbangi dengan “bukti-bukti” yang kita hadirkan. Sehingga “anggaplah” permohonan kita ditolak, karena bukti-bukti yang kita hadirkan sama sekali tidak “didukung” oleh pembuktian yang kuat. Daftar bukti surat yang dihadirkan oleh Pemprov Kepri atau Kabupaten Lingga “tidak mampu” diimbangi oleh bukti-bukti surat yang dihadirkan oleh Propinsi Jambi ataupun Kabupaten Tanjung Jabung Timur.

Padahal bukti surat yang disampaikan Kabupaten Lingga yaitu bukti surat yaitu peta Residentie Riouw en onderhoorigheden tersebut tahun 1922, overzi chskaart van Sumatera blad 17 dan peta Singkep (first edition) Tahun 1743, sejak masa Kesultanan Lingga Riouw tahun 1957, Pulau Berhala merupakan wilayah taklukan Sultan Lingga, dan pada masa penjajahan Belanda tahun 1922- 1944 Pulau Berhala masuk wilayah Resident ie Riouw.

Bukti surat ini harus dibantah berdasarkan peta Schetskaart Residenntie Djambi. Peta-peta ini justru menunjukkan nyata-nyata Residentie Riouw tidak memasukkan Pulau berhala masuk kedalam wilayah administrasi Riau. Didalam peta dengan jelas menggambarkan Straat Berhala masuk kedalam wilayah residentie Jambi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: