Pendidikan di Belanda Mengutamakan Keterampilan dan Proses

Pendidikan di Belanda Mengutamakan Keterampilan dan Proses

Menara Eiffel telah menunggu kami. Dari kejauhan tampak gagah dan indah manara itu hingga memaksa kami mengeluarkan kamera digital masing-masing. Sopir pun terpaksa melambatkan perjalanan untuk kepentingan pengambilan gambar. Ha.ha. padahal, kami akan kesana, masuk, naik, memegang.

Memang mempunyai daya tarik yang luar biasa. Antri dan tertip, meskipun ribuan pengunjung menara itu, namun tidak begitu gaduh, atau macet. Kesadaran berantri memang sangat bagus. Namun sayang, di sini kami baru bertemu dengan yang namanya copet. Padahal beberapa negara sebelumnya tidak kami jumpai. Bagaimana saya akan melukiskan keindahan menara itu?

Saat kami berdiri di bawahnya, lalu saat berdiri di tengah tengah ketinggian menara, milihat sekeliling kota paris berbaris-baris, bangunan-bangunan, dan jalan tertata, kembar-kembar, tersusun simetris. Alangkah eloknya pemandangan kota itu.

Mengunjungi KBRI Prancis sampai keliling tiga kali. Sopir yang mengemudi belum menemukan alamat yang dicari atau bendera Indonesia sebagai kode. Wajar saja karena bangunan disana umumnya kembar dan kota tersusun simetris, menjadikan sedikit bingung, akhirnya kami mengalami sedikit keterlambatan tiba di KBRI.

Ini juga mengakibatkan pertemuan dengan Atase Pendidikan di KBRI tidaah dapat menemui kami lama, karena telah ada jadwal kegiatan di kampus. Dalam waktu singkat tersebut Atase memberikan mandate kepada stafnya untuk memberikan informasi kepada kami, diantaranya bahwa sekolah di Prancis,  tingkat SD 5 tahun, SMP 4 tahun, SMA 3 tahun, S1 3 tahun, S2 2 tahun. Sudah dilaksanakan UN sebegai criteria kelulusan, dan untuk masuk perguruan tinggi, tes dilakukan dengan sistem online.

Luxembourg, negara kecil diantara negara Eropa yang kami kunjungi. Namun penataan kota tetap indah seperti yang lainnya, bersih, pasti. Tenang di kota, karena transportasi tertata rapi. Sepeda seperti halnya negara Eropa lainnya juga menjadi transportasi yang banyak di gunakan di negara ini.

Daerah yang rata-rata datar secara geografisnya, memungkinkan sekali transportasi sepeda. Seperti hanya lewat saja di Luxembourg,  tiba-tiba kami telah sampai di Aachen, Jerman. Jerman? Ingat B.J. Habibi, ya, memang di sini. Tapi kami tak bertemu beliau. Usai rehat sejenak di hotel, kami menyempatkan menikmati malah hari di Aachen Jerman, terperanggah kami mendengar bahasa Indonesia di tengah keramaian orang Jerman.

Ternyata mahasiswa Indonesia sedang pulang dari kampus.  Syarat utama adalah mampu berbahasa Jerman, untuk menguasai  bahasa itu bisa melalui berbagai  kursus, jawab mahasiswa Indonesia itu. Haru dan bangga bertemu anak-anak Indonesia yang belajar dan kuliah di Jerman. Setelah pintar, selesai, pulang ke Indonesia ya, bangun Negara kita, kata kami.

                Dari Amsterdam, Bergia, Paris, Luxembourg, sampai Jerman. Tidak terasa waktu berlalu, izin perjalanan luar negeri dan Visa hampir habis. Saatnya bergegas, berkemas kembali menuju Bandar udara Schipool Amsterdam, Belanda. Untuk mengisi tenaga, menjelang perjalanan pulang yang panjang, penerbangan yang lama, kami istirahat satu malam lagi di Amsterdam, sambil mengujungi kota belanda sekali lagi.

Sebelum kami benar-benar meninggalkan benua biru ini, Eropa yang dingin, yang telah memberi warna dan kenangan hidup para Guru Favorit yang diberangkatkan Study Banding dan tour oleh Jambi Ekspres. Dan Garuda Indonesia, yang gagah pun membawa kami terbang menuju Indonesia tercinta.  (Penulis adalah Guru Favorit Jambi Ekspres 2013 dan Kepala SMPN 30 Kabupaten Tebo)

Wasit Wicaksono saat berbagi pengalaman dengan guru Lyceum Ypenburg, Den Haag.

Wasit saat bercerita di depan siswa Lyceum Ypenburg, Den Haag tentang pendidikan di Jambi.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: