>

Buka Klinik Kopi untuk Ajari Pengunjung Menikmati

Buka Klinik Kopi untuk Ajari Pengunjung Menikmati

Tak banyak orang seperti Firmansyah. Saking cintanya kepada kopi, dia membuka klinik kopi yang mengedukasi peminumnya bagaimana berinteraksi antar sesama penggemar kopi. Menariknya, klinik itu tidak ber-AC, tidak menyediakan gula, dan tidak boleh ada asap rokok.

 

  KARDONO SETYORAKHMADI, Jogjakarta

 

  FIRMANSYAH mendapat tantangan berat Jumat sore lalu (6/12) di klinik kopinya di kawasan Gejayan, Jogjakarta. Dia diminta membuat seorang pengunjung yang tidak suka minum kopi jadi tertarik minum racikannya.

  Setelah berpikir sejenak, Pepeng \"panggilan Firmansyah\" meraih stoples berisi kopi Wamena. \"Saya memang tidak bisa mengubah Anda jadi peminum kopi. Tapi, saya bisa membuat kopi yang bakal membuat Anda menjadi rileks,\" ujar Pepeng kepada pengunjung itu.

  Dia lalu meracik kopi jenis full french roast (merujuk kadar kematangan biji kopi saat digoreng). \"Kopi ini paling enak dinikmati tak lebih dari sepuluh menit. Begitu suhunya tinggal 40 derajat, rasanya akan pahit sekali dan tak begitu enak dinikmati,\" katanya.

  Beberapa pengunjung, termasuk Jawa Pos,  yang penasaran dengan klinik kopi Pepeng dibuat melongo melihat aksi lajang 34 tahun itu beraksi. Begitu kopi Wamena selesai diracik dan disajikan di cangkir, pengunjung diminta mencium aromanya. Pepeng juga menyiapkan kopi sachet-an yang biasa dijual di pasaran. \"Sekarang rasakan perbedaan aromanya,\" ucapnya.

  Benar saja, aroma kopi racikan Pepeng terasa sangat khas. Sedangkan aroma kopi sachet-an terasa apak. Sejurus kemudian, pengunjung diminta menyeruput kopi Pepeng. Rasanya memang nendang banget. Awalnya terasa pahit di mulut. Tetapi, begitu seruputan kedua, tekstur rasa khas kopi terasa di rongga-rongga mulut.

  Suasana seperti itu hampir selalu terjadi di klinik kopi milik Firmansyah yang terletak di belakang Pusat Studi Lingkungan Universitas Sanata Dharma, kawasan Gejayan, Jogjakarta. Klinik kopi itu berupa bangunan sederhana dua lantai seluas sekitar 150 meter persegi yang bagian luarnya dikelilingi pohon-pohon jati yang belum terlalu besar. \"Saya beruntung karena pihak universitas (Sanata Dharma) membolehkan saya memakai tempat ini begitu saja. Tanpa uang sewa,\" paparnya.

  Pepeng mengaku awalnya bukan ahli meracik kopi. Bahkan, latar belakang pendidikannya jauh dari dunia kuliner. Dia lulusan STM Penerbangan Jogja dan Institut Penerbangan Nurtanio Bandung.

  Setamat kuliah, Pepeng bukannya menjadi pilot atau bekerja di bidang penerbangan. Tapi menjadi karyawan di perusahaan ekspor furnitur. Pekerjaan yang membuatnya bisa menjelajahi Nusantara. Dari perjalanannya keliling Indonesia itulah, dia berkenalan dengan dunia kopi secara serius. \"Indonesia ternyata surganya kopi. Tiap daerah punya kopi khasnya sendiri-sendiri,\" imbuhnya.

  Hingga dua tahun lalu seorang importer kopi asal Australia mengajarinya meracik kopi. \"Dia bilang kasihan orang Indonesia, tidak bisa membuat kopi enak. Padahal, Indonesia surganya kopi,\" kenangnya.

  Pepeng mencontohkan petani kopi di Sumatera Barat yang malah minum seduhan daun kopi yang rasanya tak seberapa. Sedangkan biji kopinya dijual ke para tengkulak dengan harga kurang menguntungkan. \"Ini kan seperti anak ayam mati di lumbung padi,\" tambahnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: