MacArthur Sukses Ubah Morotai Jadi Pulau Sibuk

MacArthur Sukses Ubah Morotai Jadi Pulau Sibuk

   Muhlis termasuk yang mengambil jalan berbeda dari warga lain. Dia memilih tidak menjual barang-barang peninggalan yang ditemukannya. Bahkan, dia memiliki museum pribadi untuk menyimpan barang-barang temuannya itu. Koleksi Muhlis juga dipinjam untuk mengisi Museum PD II di Morotai. Museum tersebut didirikan untuk menyambut Sail Morotai dan diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

   Minggu pagi (16/3), bersama dengan Muhlis, saya blusukan ke wilayah di selatan Morotai. Kawasan selatan menyimpan jejak pendaratan pasukan sekutu. Perjalanan kami mulai ke daerah Tanah Tinggi yang berada di dekat pantai. Di semak-semak daerah itu masih tersisa dua tank amfibi LVT-2.

   Kendaraan perang itu berada di semak-semak Tanah Tinggi karena rusak ditembaki saat berupaya masuk ke daratan Morotai. Bekas tembakan-tembakan peluru tersebut masih terlihat di tank amfibi itu. Sayang, hanya tersisa bangkai rangkanya. Mesin, rantai, dan perabot lain sudah hilang.

   Meski sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, masih terkesan pemda setempat tidak melakukan perawatan yang berarti. Itu bisa dilihat dari bangkai tank amfibi yang menjadi sasaran vandalisme. Belum lagi kondisi sekitar tank amfibi yang ditumbuhi ilalang dan berlumpur.

   Balai Pelestarian Cagar Budaya Ternate yang menjadi kepanjangan tangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hanya memasang plang dan membangun cungkup. \"Yang biasa membersihkan amfibi ini ya saya dan paman. Tapi, beberapa hari ini saya repot sehingga belum sempat ke sini,\" terang Muhlis.

   \"Dulu banyak tank serupa yang tertinggal di sini, tapi sekarang tinggal dua saja. Yang lain jadi korban besi tua,\" tambahnya.

   Saat menyeberang ke Morotai, di dalam feri saya bertemu dengan seorang kuli besi tua dari Demak, Jawa Tengah. Dia mengaku bernama Andik Setiawan. Andik lalu bercerita bahwa keluarganya sejak awal 2000 mencari besi tua di Morotai dan Halmahera Utara. Dia menuturkan, tak jarang besi tua itu berupa barang peninggalan perang yang didapatkan dari warga.

   \"Kami belinya seribu, nanti dijual lagi ke pengepul tiga ribu,\" terangnya.

   Pengepul itu memotong-motong besi tua dan mengirimkannya dengan kontainer dari Halmahera Utara kepada pengusaha di Surabaya. Andik mengaku pernah mendapatkan meriam dari warga seberat 1 ton.

   Selain menunjukkan bangkai tank amfibi yang masih tersisa, Muhlis mengajak saya ke beberapa tempat bersejarah lain. Di antaranya, landasan pesawat tempur yang dibangun sekutu, Pitu Strip, di Desa Wawama. Dinamai Pitu Strip karena di sana ada tujuh landasan pesawat.

   Pitu Strip dibangun setelah sekutu berhasil masuk dan menguasai pesisir Pulau Morotai pada September 1944. Sayang, saat itu hanya dua landasan yang bisa dilihat dengan mudah. Satu di antaranya masih difungsikan dan menjadi bagian dari Bandara Leo Wattimena di pangkalan udara TNI-AU.

   Landasan lain sudah tertutup semak belukar karena tidak pernah diurus. Tapi, saya berkesempatan berdiri dan melihat kekarnya landasan tersebut. Muhlis menceritakan, landasan itu dulu bisa digunakan untuk parkir mobil dan wira-wiri tiga ribu pesawat yang diboyong MacArthur.

   Meski beberapa bagian telah ditumbuhi semak belukar, lapisan runway-nya masih utuh. Menurut Muhlis, landasan itu kuat tak lain karena bahan yang digunakan berasal dari batu putih yang diambil dari sekitar laut.

   \"Cerita kakek saya, pembuatan landasan ini dengan batu putih yang digerus dan disirami air,\" ujar Muhlis, lalu mencongkel lapisan batu di salah satu runway.

   Seorang perwira di Lanud Leo Wattimena, Letda Supriyono, mengungkapkan, landasan yang digunakan saat ini cukup panjang dan sangat memungkinkan untuk pendaratan pesawat apa pun. \"Boeing pun bisa mulus mendarat di sini,\" ujar perwira dari Jogjakarta itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: