>

BEBERAPA CATATAN PILPRES 2014

BEBERAPA CATATAN PILPRES 2014

Oleh Abdul Bari Azed

DUA peristiwa ketatanegaraan pada tahun 2014 ini yaitu Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden telah dilaksanakan dengan relatif lancar dan tertib, meskipun masih terdapat
beberapa kekurangan di sana sini.
Seperti diketahui bahwa Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 tetap menggunakan UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang telah dipakai sebagai acuan dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009 yang lalu.
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 hanya diikuti dua pasangan calon, yakni pasangan
Prabowo Subianto dan M.Hatta Rajasa yang didukung oleh Koalisi Merah Putih (Partai Golkar,
Partai Gerindra,Partai Keadilan Sejahtera,Partai Amanat Nasional, Partai Demokrat,Partai Persatun Pembangunan, dan Partai Bulan Bintang) dan pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang didukung oleh PDI Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Nasional Demokrat (Nasdem),Partai Hati Nurani Rakyat(Hanura) dan PKPI. Format pemilu Presiden dan
Wakil Presiden yang hanya diikuti dua pasangan calon baru terjadi pada pemilu Presiden dan
Wakil Presiden kali ini, pada dua pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebelumnya, yakni 2004 dan 2009, pasangan calon yang ikut pemilu lebih dari dua pasangan calon.

Paling panas

Pemilu Presiden dan Wakil Presiden kali ini dipandang berbagai kalangan dipandang sebagai
pemilu paling dinamis, paling panas, dan paling ketat dalam sejarah pemilu Presiden dan
Wakil Presiden di tanah air kita. Pemilu pilpres tersebut juga melibatkan emosi dan pemihakan
yang jelas bahkan terjadi pembelahan di masyarakat. Berbagai komponen masyarakat seperti
tokoh masyarakat, ulama, pers, akademisi/pakar, ormas dan LSM, bahkan lembaga survei,
terbelah menjadi dua kelompok, antara pendukung Prabowo-Hatta dengan pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla. Pembelahan yang jelas dan keras ini mungkin disebabkan karena hanya
ada dua pasangan calon yang bersaing sehingga pemilih dan warga masyarakat hanya mempunyai dua alternatif pilihan, mendukung Prabowo-Hatta atau menjadi pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Akhirnya setelah melalui persaingan keras dengan menggunakan semua potensi yang dimiliki
masing-masing pasangan, pasangan nomor dua, Joko Widodo-Jusuf Kalla memenangkan pemilu dengan memperoleh suara sebanyak 70.997.833 (53,15%), sedangkan pasangan
Prabowo-Hatta mendapatkan suara sebanyak 62.576.444 (46,85%). Pasangan Prabowo-Hatta
mengajukan gugatan hasil pemilu pilpres ini ke Mahkamah Konstitusi. Adapun yang menjadi
dasar gugatan pasangan Prabowo-Hatta adalah karena ada dugaan kecurangan dalam penyelenggaraan pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014. Setelah menggelar sidang berkali-kali dalam rentang waktu sekitar satu bulan, Mahkamah Konstitusi kemudian menggelar sidang
pleno dengan agenda pembacaan putusan pada tanggal 21 Agustus 2014. Dalam Putusan
Nomor 1/PHPU-Pres-XII/2014 tertanggal 21 Agustus 2014, Mahkamah Konstitusi menolak
untuk seluruhnya permohonan pasangan Prabowo-Hatta.
Selama pelaksanaan pemilu pilpres 2014 ini di lapangan tidak terjadi tindak kekerasan atau
konflik fisik antarpendukung yang bersifat massal atau terjadi meluas di berbagai daerah.
Situasi keamanan dan ketertiban umum di tanah air terkendali dengan baik, berkat kematangan
emosi para pendukung dan kehandalan aparat penegak hukum Polri dibantu TNI. Padahal ada
perkiraan akan terjadi kekerasan bahkan kerusuhan setelah diumumkannya hasil penghitungan
suara oleh KPU atau setelah dibacakannya putusan Mahkamah Konstitusi, tetapi kekhawatiran
itu tidak terjadi. Elit dan pendukung Prabowo-Hatta walaupun sangat kecewa dengan keputusan
KPU dan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mampu mengendalikan diri dengan baik sehingga ikut memberi konstribusi terwujudnya keamanan dan ketertiban umum pasca putusan Mahkamah Konstitusi. Sebagai respon atas putusan MK tersebut, Koalisi Merah Putih yang mengusung pasangan Prabowo-Hatta mengeluarkan \"Sikap Koalisi Merah Putih Terhadap
Putusan Mahkamah Konstitusi \" yang antara lain berbunyi : Sistem dan proses persidangan MK
ternyata tidak mengindahkan pembuktian secara mendalam, demikian pula tidak dapat mengungkap keterangan saksi yang jumlahnya jauh lebih banyak dari yang disetujui. Atas proses itu, putusan MK meskipun bersifat final dan mengikat, belum tentu mencerminkan kebenaran dan keadilan substantif bagi rakyat Indonesia. Kami menilai putusan MK terhadap
gugatan Tim Prabowo-Hatta tidak mencerminkan keadilan substantif, sebuah esensi yang selama ini menjadi dasar pertimbangan putusan MK. Padahal keadilan substantif  ini merupakan
hakekat penting dalam demokrasi. Kejadian ini menunjukkan masih banyak perjuangan kita
untuk memperbaiki sistem pemilu ke depan.
Dari sikap Koalisi Merah Putih tersebut nampak ada kelecewaan yang mendalam terhadap MK,
khususnya terhadap hukum acara MK yang sangat dibatasi waktu sehingga berbagai alat bukti dan para saksi yang diajukan Tim Kuasa Hukum Prabowo-Hatta tidak dapat disampaikan secara
leluasa dan optimal dalam sidang. Di sisi lain, sembilan hakim konstitusi beserta para pegawai
MK niscaya juga mengalami kendala karena keterbatasan waktu yang disediakan UU sehingga
kemungkinan besar tidak dapat memeriksa dan melakukan check and recheck terhadap seluruh
alat bukti yang disampaikan Tim Kuasa Hukum Prabowo-Hatta yang jumlahnya sangat banyak
tersebut.

Penutup

Atas dasar itu, pada masadatang, perlu dilakukan penyempurnaan berbagai ketentuan dan pelaksanaannya terkait penyelenggaraan pemilu Presiden dan Wakil Presiden selanjutnya
(2019 dan seterusnya), antara lain mencakup : a. Penetapan data pemilih agar akurat dan
benar serta menutup kemungkinan seorang pemilih, terutama pemilih yang tidak memilih di
domisilinya menggunakan haknya lebih dari satu kali, b. Pengawasan peralihan perhitungan
hasil perolehan suara dari tingkat yang lebih rendah ke lebih tinggi. Ada dugaan terjadi perubahan perolehan suara yang menguntungkan satu pasangan dan merugikan pasangan
lainnya ketika terjadi peralihan perhitungan suara ke tingkat yang lebih tinggi. c. Peningkatan
persyaratan standar kinerja, transparansi, dan akuntabilitas petugas pemungutan suara dan
aparat KPU  sejak di tingkat TPS hingga ke KPU, d. Peningkatan kapasitas dan kewenangan
Bawaslu sehingga termasuk untuk langsung dapat menindak dan menjatuhi hukuman kepada
aparat/petugas KPU dan peserta pemilu yang melakukan pelanggaran hukum pemilu, selama
ini putusan Bawaslu bersifat rekomendasi kepada berbagai pihak, termasuk KPU dan Kepolisian,
sehingga kurang efektif dan tidak banyak membawa perbaikan ke arah lebih baik.,e. Diberikannya waktu lebih lama kepada DKPP untuk mengadili dan memutus aparat KPU dan
Bawaslu yang diduga melanggar Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Sidang putusan DKPP hendaknya dilakukan beberapa minggu sebelum sidang pembacaan putusan MK agar putusan DKPP dapat menjadi salah satu dasar pengajuan gugatan oleh Pemohon, f. Diberikannya waktu
yang lebih lama kepada peserta pemilu untuk mendaftar gugatan ke MK sehingga berkas dan
dokumen yang dibutuhkan dapat lengkap. Apabila sekarang tiga hari agar diubah menjadi sekitar tujuh hari, g. Diberikannya waktu yang lebih lama kepada MK untuk bersidang sehingga berkas
dan dokumen yang masuk dapat diperiksa oleh petugas MK, dengan secara cermat dan mencakup keseluruhan, saksi-saksi yang diajukan dapat lebih banyak (mengingat jangkauan
perkara mencakup seluruh wilayah tanah air).Ketentuan selama ini MK mendapat waktu selama
30 hari, pada masa mendatang agar dapat ditambah menjadi sekitar 45 hari, h. Peningkatan kapasitas Kepolisian dalam menegakkan ketentuan pemilu, termasuk tahapan penyelidikan dan
penyidikan dugaan tindak pidana pemilu agar dapat disimpulkan sehingga dapat segera ditindaklanjuti ke pengadilan.Demikian pula pengadilan dapat bekerja lebih cepat dan ditingkatkan kapasitasnya agar terdakwa yang diduga melanggar ketentuan pemilu dapat segera diputus sebelum berakhirnya penyelenggaraan pemilu, h. Penegakan hukum yang efektif dan kuat oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers terhadap media pers yang diduga
melakukan pelanggaran kode etik, termasuk dugaan pemihakan yang terang benderang, tidak
berimbang dalam pemberitaan, serta mencampur-adukkan antara berita dan opini redaksi, atau
bahkan melakukan pembohongan publik. Apabila dipandang perlu terhadap kesalahan yang berat, pers tersebut agar ditutup dan pengelolanya dilarang aktif atau bekerja di lingkungan
pers selama kurun waktu tertentu, umpama lima tahun.

-Abdul Bari Azed adalah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Ketua Program Magister Ilmu Hukum Universitas Batanghar

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: